Oleh: Siorus Degei
Pasca ditetapkannya Gubernur Papua Lukas Enembe (LE) sebagai tersangka korupsi pada 15 September 2022, maka kasus Ferdy Sambo, mutilasi 4 warga sipil Nduga di Timika, dan penganiayaan di Mappi tenggelam dalam hingar-bingar debat kusir di ruang publik dan media massa.
Pasalnya, banyak rakyat sipil hingga pucuk pimpinan agama dan pemerintahan di Papua berbondong-bondong unjuk gigi, pasang badan dalam rangka menjadi pahlawan kesiangan. Mereka rupanya hendak menjadi “pencuci dan pembersih” bagi para koruptor di Papua.
Sebuah fenomena sarat ambiguitas politic of interest and identity of the police terpampang ke permukaan publik ketika pada Senin, 19 September 2022, menjelang aksi Save Lukas Enembe (20/9/2022) atas nama Dewan Gereja Papua (DGP), Pdt. Dr. Benny Giyai moderator DGP dan dedengkot suara kenabian Gereja Papua mengeluarkan Surat Gembala Resmi dengan nomor: 06/DGP/IX/22.
Dalam surat Gembala Resmi itu, Pdt. Giyai dan anggota DGP lainnya secara berjamaah tampil sebagai pahlawan bagi Lukas Enembe. Para petinggi Gereja Papua itu mati-matian membela LE sebagai korban kriminalisasi KPK, polri, presiden, BIN, menkopolhukam, dan lainnya di Jakarta.
Ada tiga poin penting yang menjadi dasar argumentasi Pdt. Giyai dan pendeta lainnya. Penulis hendak meringkas percikan-percikan dari tiga poin tersebut:
Pertama, bagian ini berisi tentang kronologis penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi dan responsif masyarakat Papua atasnya. Ada dua bagiannya lagi: a) Berita demo terkait LE; b) Surat dari masyarakat Nusantara; ada tiga rinciannya lagi–Bersiaga di masjid, liburkan anak-anak sekolah, dan anak muda laki-laki siapkan benda tajam.
Kedua, berisi bagaimana DGP sendiri merespons fenomena penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi. Bahwa menurut DGP, LE adalah simbol perlawanan rakyat Papua hitam yang sudah 59 tahun dilihat dengan sebelah mata (kasus rasisme dan protes tolak rasisme 2019).
Ada dua poin yang menjadi tantangan DGP pada bagian ini. Berisi bagaimana DGP menyentil beberapa aktor nasional yang menjadi dalang di balik penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi, semisal KPK, Menkopolhukam (Mahfud MD), BIN (Budi Gunawan), Presiden Jokowi, Kapolri, Mendagri (Tito Karnavian), dan mantan Kapolda Papua Paulus Waterpauw, sebagai pemain lapangan.
Ada empat ihwal pada bagian ini, a). Hari ini aktor-aktor tadi sedang mengkriminalisasi Lukas Enembe; b). Kembali ke masalah di depan kita (negara dan kebangkitan milisi Nusantara efek demo protes rasisme 29 Agustus 2019), c). Pihak lainnya (Parpol lawan politik LE, Demokrat versus PDI Perjuangan), d). Calon Gub. Papua 2024.
Poin berikutnya adalah para korban di belakang Lukas Enembe, di antaranya, a) Para aktivis Papua (dan kerabatnya); b) Kerabat dari 67 ribu pengungsi (Intan Jaya, Nduga, Kiwirok, Maybrat, Yahukimo, dan Puncak; c) Kerabat 4 korban mutilasi di Timika; d) Kerabat dari warga Mappi yang dibunuh, dan lainnya.
Ketiga, ajakan mengedepankan damai, dialog dan komunikasi, TNI-Polri mesti kawal aksi dukung LE, Selasa, 20 September 2022 (Sumber: Dewan Gereja Papua (West Papua Council Of Churches), Surat Gembala No:06/DGP/IX/22, Senin, 19 September 2022. Disadur pada Kamis, 21/09/22).
Apa bedanya KPK, Mahfud MD, DGP, dan Pdt. Socratez Yoman dalam kasus LE?
Penulis melihat ada kesamaan antara KPK, Mahfud MD, DGP, dan Pendeta Socratez Yoman dalam konteks kasus korupsi Lukas Enembe.
Pertama, sebenarnya kasus Lukas Enembe murni kasus hukum dan politik. Sehingga tidak perlu ada intervensi berlebihan dari pihak Jakarta, Mahfud MD selaku Menkopolhukam tapi juga pihak Papua, dalam hal ini Dewan Gereja Papua dan Pendeta Socratez Yoman.
Kedua, akan sangat logis dan perlu dibutuhkan intervensi dari pihak Menkopolhukam jika memang kasus ini benar-benar berkaitan dengan kasus politik. Katakanlah semisal kasus status politik Papua, dan atau kasus rasisme, pelanggaran HAM dan semua kasus yang sudah disentil oleh Dr. Benny Giyai dalam surat gembalanya, tapi toh tidak ada modus dan motifnya bukan?
Berikut teruntuk DGP, Pdt. Benny Giyai dan Pendeta Socratez Sofyan Yoman yang sampai menulis dua artikel kritis ke Jakarta, yakni “Ada Apa KPK, Budi Gunawan Kepala BIN, Partai PDIP Dengan Gubernur Papua Lukas Enembe” dan “KPK dipasung atau dilumpuhkan penguasa (Jubi.id, 21/9/2022).
Menurut penulis yang punya kebebasan komunitas dan tanggung jawabnya hanyalah KPK. Kasus Lukas Enembe ini bukan ranahnya, domain dan zonanya Mahfud MD, DGP, Pdt. Dr. Benny Giyai dan Pdt. Dr. Socratez. Bahwa sama sekali tidak ada bedanya antara Mahfud MD, DGP, Pdt. Dr. Benny Giyai dan Pdt. Dr. Socrates Sofyan Yoman. Semuanya sama-sama “salah masuk kamar”, hanya tahu mengurus masalah yang sama sekali bukan masalah mereka.
Mari kita uji. Apakah kasus Lukas Enembe adalah murni kasus hukum atau politik? Yang jelas bahwa ini murni kasus hukum. Biarkan hukum yang berbicara. Toh jika memang LE benar pasti ia akan terbukti benar, tapi kenapa LE semacam ditahan untuk tidak menjalani proses hukum? Sekali lagi ini ranahnya aparat yudikatif, dalam hal KPK. Jadi, benar juga poin yang disampaikan oleh Pdt. Socratez Yoman kepada Mahfud MD dan KPK, bahwa KPK dipasung dan dilumpuhkan penguasa, bahwa dengan demikian KPK sudah “mati”. Senada dengan Nietzsche, “KPK Is Dead”.
Namun, saat bersamaan Pdt. Benny Giyai, Pdt. Socratez dan DGP juga ibarat menggali kuburan kritisme suara kenabian dan sikap kemartiran yang memanifestasi wajah Kristus sebagai nabi selama ini. Sebab kasus Lukas Enembe ini bukan kasus iman, agamis, dan teologis-biblis.
Kira-kira di mana letak koordinatnya jika ini murni kasus iman dan atau agama, sehingga DGP dan Pendeta Yoman mau berpartisipasi aktif dan mengintervensinya? Jadi, sekali lagi sama saja, Pdt. Benny Giyai, Pdt. Yoman tidak ada bedanya dengan Mahfud MD yang suka ikut campur urusan oknum dan pihak lain sambil bawa-bawa nama lembaga (Mengkopohumkam, Gereja, DGP).
Berikutnya penulis melihat dan merefleksikan bahwa dalam surat gembala yang dikeluarkan oleh DGP ini, terutama pada poin kedua terlihat jelas sekali upaya irasionalitas dari DGP untuk mencampuradukkan masalah Lukas Enembe, masalah mutilasi, pengungsian, rasisme dan masalah lainnya. Penulis, heran dari inspirasi semacam ini datang dalam naluri dan nurani DGP.
Kita respek jika memang Lukas Enembe dikriminalisasi sesuai pandangan DGP, tetapi langkah untuk mencampurbaurkan kasus LE dengan kasus LE lainnya, apalagi dengan mengatakan Lukas Enembe sebagai simbol perlawanan rakyat Papua hitam, sungguh ini sangat mengerdilkan kesucian dan keluhuran perjuangan bangsa Papua.
Cobalah ditimbang dengan akal sehat, hati nurani dan iman, apakah Lukas Enembe pernah mengalami secara langsung apa yang dialami oleh kerabat dan korban mutilasi 4 warga sipil di Timika? Apakah Lukas Enembe pernah bersolidaritas dengan 67 ribu pengungsi? Apakah Lukas Enembe pernah bersolidaritas dengan Victor Yeimo? Apakah Lukas Enembe pernah bersolidaritas dengan 8 tapol Papua?
Sejak kapan LE mengalami penindasan, penderitaan dan penjajahan orang kecil, miskin, tertindas dan aktivis HAM murni di Papua? Sejak kapan? Buktinya hingga detik ini LE masih mapan, mantap dan hidup berfoya-foya di atas hingar-bingar kekayaan dan kekuasaan.
Buktinya nominal hasilnya korupsinya mencapai 500-an miliaran. Sungguh sebuah pseudo-intelektual yang nyaris sempurna dari DGP demi membalas beban moral kepada LE hingga rakyat kecil dan kebenaran bangsa Papua menjadi tumbal. Bersambung. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua