Oleh: Thomas Ch Syufi*
Kebanyakan dari kita barangkali telah mendengar idiom yang cukup menarik dan populer ini, “When in Rome, do as the Romans do” (ketika di Roma, lakukan seperti orang Romawi).
Ini bukan pepatah Inggris, tetapi sebenarnya adalah pepatah Kristen kuno dan dikaitkan dengan surat yang ditulis pada tahun 390 M oleh Santo Agustinus (345-430)—filsuf, teolog, dan pujangga gereja, yaitu, “Romanum venio, ieiuno Sabbato, hic sum, non ieiuno: sic etiam tu, ad quam forte ecclesiam veneris, eius morem serva, si cuiquam non vis esse skandalum nec queamquam tibi” (ketika saya pergi ke Roma, saya berpuasa pada hari Sabtu, tetapi di sini [Milan], saya tidak berpuasa. Apakah Anda mengikuti kebiasaan gereja mana pun yang Anda hadiri, jika Anda tidak ingin memberi atau menerima skandal).
Memang idiom tersebut dikaitkan dengan Aurelius Ambrosius atau Santo Ambrosius (sekitar 340-4 April 397) adalah seorang uskup Milan yang menjadi salah satu tokoh gerejawi paling berpengaruh abad ke-4, sekaligus sebagai filsuf, teolog, pujangga, guru, dan penulis, serta menjadi orang pertama yang mencetuskan gagasan hubungan gereja-negara yang menjadi sudut pandang Kristen Abad Pertengahan.
Dalam suratnya, Agustinus menceritakan kisah tentang gagasan puasa pada hari Sabtu. Surat itu sendiri adalah wacana teologis yang sangat panjang dan menjemukan, yang sebagian besar mengedepankan poin bahwa mereka yang tinggal di keuskupan harus mengikuti praktik uskup lokal mereka.
Kala itu uskup dan kongregasi (ordo) cukup bebas. Praktik dan tradisi keagamaan sangat bervariasi di berbagai wilayah (atau bahkan komunitas di wilayah).
Namun, menjelang akhir ia menceritakan sebuah kisah yang akan menjadi asal mula frasa seperti yang digunakan saat ini. Santu Agustinus dan ibunya, St Monica, tinggal di Milan saat itu—pusat pemerintahan dan agama Romawi, di mana St. Ambrosius yang terkenal menjadi uskup—(sebelumnya sebagai Gubernur Romawi atas wilayah Liguria dan Emelia yang berpusat di Milan). Roma pada waktu itu memiliki tradisi puasa pada hari Sabtu, yang tidak dilakukan di Milan.
Kebetulan St. Agustinus dan St. Monica berencana mengunjungi Roma dan bingung apakah mereka harus menjalankan puasa selama berada di Roma. Santo Agustinus bertanya kepada St. Ambrosius, yang telah membaptisnya, apakah mereka harus menjalankan puasa?
Santu Ambrosius menjawab bahwa mereka harus melakukan seperti yang ia lakukan. Santo Agustinus berpikir bahwa itu berarti tidak berpuasa –seperti yang ia tahu Ambrosius makan pada hari Sabtu, tetapi kemudian Ambrosius mengklarifikasi, “Ketika saya di sini (Milan) saya tidak berpuasa pada hari Sabtu, tetapi ketika saya di Roma saya lakukan (berpuasa): Gereja mana pun yang Anda datangi, sesuaikan dengan kebiasaannya, jika Anda ingin menghindari menerima atau menghina” (Robert Maxwell: 2018).
Pada dasarnya, apa yang mereka sebutkan itu sekarang disebut inkulturasi dan mendorong beragam tradisi yang sah, yang tidak mengancam persatuan. Kemudian disederhanakan menjadi “ketika di Roma, lakukan seperti orang Romawi”. Dan diubah dari saran Ambrosius untuk mengikuti praktik keagamaan di suatu tempat menjadi perintah umum untuk mematuhi praktik budaya umum ke mana pun Anda pergi. Agustinus mengamati kehidupan orang Kristen di Milan memiliki kebiasaan berbeda, termasuk hari puasa yang berbeda dari orang Kristen di Roma. Tentu karena pengaruh dari kebudayaan dan tradisi hidup bangsa Romawi di Roma yang berbeda dengan kebiasaan hidup orang-orang di Milan.
Barbara Ann Webber, mantan analis kredit dan keuangan pada kantor hak di pemerintah Kanada (1979-2001) menulis, ungkapan yang menarik ini sering disingkat menjadi “Ketika di Roma” mungkin karena itu adalah ungkapan yang sangat terkenal. Menurutnya, asal-usul idiom “Ketika di Roma” lakukan seperti yang dilakukan orang Romawi pertama kali terlihat di media cetak pada tahun 1777, dalam surat menarik Paus Klemens XIV: “Siesta atau tidur siang di Italia, Bapa saya paling terkasih dan terhormat, tidak akan membuat Anda sangat khawatir, jika Anda ingat, bahwa ketika berada di Roma, kita harus lakukan seperti yang dilakukan orang Romawi—cum Romanus eris”.
“Penggunaan ini menunjukkan bahwa idiom itu sudah terkenal, dan variasinya dapat dilihat pada contoh-contoh yang berasal dari awal tahun 1500-an,” tulis Barbara.
Mengapa orang selalu berkata “Rome was not built in a day” (Roma tidak dibangun dalam sehari), “When in Rome, do as the Romans do (jika berada di Roma, lakukan seperti orang Romawi), dan “Many roads lead to Rome (banyak jalan menuntun seseorang ke Roma) atau dalam bahasa Latin“Mille viae ducunt homines per saecula Romam” (seribu jalan membimbing orang selamanya ke Roma)? Mengapa Roma, dan bukan kota-kota lain, seperti Liverpool, Buffalo, Philadelphia, Dublin, Tabriz, Alexandria, Ephesus, Tokyo, dan Seoul?
Semuanya adalah kota-kota besar, tetapi tidak semua orang akrab seperti Roma. Ataukah karena banyak orang tidak kenal Oliver Cromwell (mantan pemimpin militer dan politikus Inggris), Abraham Lincoln (presiden Amerika Serikat ke-16), Martin Luther King Jr (aktivis kemanusiaan AS), atau Miyamoto Musashi (seorang samurai dan ronin atau serdadu Jepang pada Abad Pertengahan), tetapi mereka mengenal Julius Caesar (pemimpin militer dan penguasa Romawi) yang lahir pada 12 Juli 100 dan wafat 15 Maret 44 SM.
Marcellus Palingenius Stellatus (1500-1545), penyair Italia abad 16 menulis sebuah buku berjudul “Zodiacus Vitae” (1536)—buku filosofis tentang bagaimana menjalani hidup sendiri dengan benar. Dalam buku dua belas, ia menulis: “Non still una cavat marmor, neque protinus uno est codita Roma die” (tidak satu tetes saja yang menggali marmer, juga tidak diragukan lagi Roma dibangun dalam satu hari).
Sangat mungkin bahwa itu menjadi cukup terkenal mulai dari sini, meskipun Palingenius juga bisa menulis sesuatu yang dia dengar (Lucia Ciminelli, tinggal di Roma, Italia, kurun 1972-1999).
Kini Roma menjadi salah satu peradaban terbesar dunia, dan salah satu kota dengan destinasi wisata terbaik di Eropa dan dunia, dengan warisan sejarah dan bangunan zaman antik yang indah dan eksotik, hingga setiap tahun dikunjungi ribuan sampai jutaan wisatawan asing. Karena Roma dibangun dalam waktu yang sangat lama, sejak Remus dan Romulus membangun kota tersebut tahun 753 SM, sampai runtuhnya Kekaisaran Romawi tahun 27 SM, hingga sekarang tahun 2022, usianya menjadi sekitar 2.773 tahun. Bahkan ada beberapa bangunan yang telah mengalami perubahan fisik, karena direnovasi dan ada yang tinggal reruntuhan (colosseum, roman forum, circus maximus, kuil saturnus, kuil venus, dan castel Sant Angelo).
Bangsa Romawi kuno memiliki infrastruktur publik yang berfungsi dengan baik. Beberapa di antaranya masih berfungsi sampai saat ini, misalnya jalan dan sistem drainase Cloaca Maxima.
Cloaca maxima adalah salah satu sistem pembuangan limbah dunia yang paling awal, untuk mengeringkan daerah-daerah rawa dan menghilangkan limbah dari dari salah satu kota di dunia yang paling padat penduduknya, dengan membawa limbah ke Sungai Tiber, yang menyusuri samping kota Roma. Jalan ini memiliki jaringan yang luas dan saling terhubung, membentang sepanjang 320 ribu kilo di daratan Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Bersambung. (*)
Penulis adalah advokat muda Papua