Oleh: Thomas Ch. Syufi*
Papua merupakan negeri yang tak pernah sepi dari gejolak dan kekerasaan yang berujung pada pelanggaran HAM sejak Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961. Termasuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang menolak pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di Tanah Papua. Penyampaian pendapat rakyat Papua secara damai di depan umum—sebagai keharusan dalam negara demokrasi, justru direspons dengan represi militer.
Rakyat Papua memang berada dalam anomali demokrasi, setelah sekian lama terhimpit oleh tangga kekuasaan otoritarianisme, dan tenggelam dalam lumpur budaya bisu. Mereka hidup bersama dalam negara hukum dan demokrasi bernama Indonesia. Namun, keadilan hukum dan kebebasan berpendapat di muka umum sukar didapatkannya.
Yang baru saja terjadi adalah serangkaian demonstrasi damai menyoal pemekaran DOB di Tanah Papua, yang disikapi oleh aparat keamanan secara arogan dan vulgar. Demo penolakan terhadap pemekaran DOB Papua di Yahukimo berakhir ricuh 15 Maret lalu menewaskan dua demonstran, Yakob Deal (30) dan Erson Weipsa (22).
Demonstrasi lanjutan untuk menolak pemekaran DOB Papua kemudian digelar 10 Mei di seluruh Tanah Papua. Polisi bertindak represif dan membubarkan secara paksa para demonstran yang ber-long march di kawasan Waena dan Abepura, Kota Jayapura.
Para demonstran dipukul, ditendang dan diinjak dengan sepatu lars, serta ditembak gas air mata (water canon), meriam air, dan melepaskan pentungan karet untuk membubarkan pendemo. Juga sejumlah eksponen, termasuk juru bicara sekaligus penanggung jawab umum Petisi Rakyat Papua (PRP) Jefry Wenda dan juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ones Nesta Suhuniap, ditangkap di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jayapura.
Para aktivis itu digelandang ke kantor Polresta Kota Jayapura dan diperiksa. Namun, mereka tidak terbukti bersalah secara hukum dalam memelopori demonstrasi penolakan DOB Papua, hingga akhirnya mereka dipulangkan.
Demonstrasi anti pemekaran Papua juga kembali digelar di seluruh Tanah Papua 3 Juni 2022. Para demonstran juga mengalami perlakuan yang sama.
Di Jayapura polisi bertindak represif terhadap para demonstran. Polisi membubarkan secara paksa dan memukul para demonstran dengan rotan dan popor senjata. Akibatnya ada yang mengalami sobek dan darah pada pelipis, kepala, dan kening.
Pengunjuk rasa yang menjadi korban kekerasan aparat kepolisian di Jayapura, antara lain, Epi Murib, Edison Pigai, Melki Tebai, Eginus Tebai, Weti Tabuni, Gandi Wanena, dan Nontenus Kogoya. Termasuk Mikelda Tekege (23) dan Amidon Edoway juga ditangkap polisi.
Di Nabire 22 demonstran ditangkap secara sewenang-wenang oleh polisi. Sedangkan di Sorong, Papua Barat polisi menembak demonstran dengan gas air mata. Seorang demonstran bernama Rita Tenau mendapat kekerasan oleh aparat keamanan, hingga pelipisnya sobek dan mengucurkan darah.
Tindakan koersif aparat keamanan terhadap pengunjuk rasa menolak pemekaran DOB Papua ini, dinilai sangat mencederai amanat reformasi. Aparat keamanan seperti sengaja reaktivitas rezim totalitarianisme Orde Baru yang tengah membujur sekarat di lorong panjang politik di negeri ini.
Tindakan anarkistis aparat kepolisian di Tanah Papua benar-benar merobek-robek dinding demokrasi, yang telah dianyam begitu mapan pascareformasi Mei 1998.
Padahal menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak fundamental setiap warga negara, dan telah diatur dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional.
Hal itu dikemukakan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, serta Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Implementasi Standar dan Pokok-pokok HAM dalam Tugas Kepolisian.
Kemerdekaan berpendapat juga sudah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB 10 Desember 1948. Pasal 19 DUHAM secara eksplisit menyatakan, setiap orang berhak atas berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, dan menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun tanpa memandang batas.
Selanjutnya pada pasal 20 ayat (1) DUHAM, dengan gamblang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
Maka, tidak ada alasan pembenar atas niat jahat (dolus manus) aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dan bertindak brutal terhadap rakyat Papua yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum. Apalagi aparat kepolisian memakai alasan klasik bahwa pengunjuk rasa tidak mengantongi surat izin, maka aksi demonstrasi dapat dihalangi, dilarang, atau dibubarkan oleh aparat keamanan.
Aparat kepolisian keliru memahami terminologi surat izin dan surat pemberitahuan, karena dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menegaskan, bahwa pengunjuk rasa hanya bisa mengajukan surat pemberitahuan, bukan surat izin.
Setelah menerima surat pemberitahuan dari penyelenggara aksi, polri diwajibkan untuk segera memberi surat tanda terima pemberitahuan yang disampaikan kepada pihak kepolisian, berkoordinasi dengan penanggung jawab aksi, berkoordinasi dengan pimpinan instansi atau lembaga yang akan menjadi tujuan aksi, mempersiapkan pengamanan, lokasi, dan rute yang akan ditempuh aksi massa.
Namun, selama ini aparat keamanan cenderung bertindak deviatif terhadap rakyat Papua yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum secara damai. Polri keliru menginterpretasi isi pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang ‘surat pemberitahuan’.
Benar bahwa hukum adalah seni berinterpretasi (law is the art of interpretation). Namun, itu tetap merujuk pada asas hukum yang mengatakan, Interpretatio cessat in claris (jika teks atau redaksi undang-undang telah terang-benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali menghancurkan (interpretatio est perversio).
Atau yang dirumuskan oleh Publius Juventius Celcius (AD 67-130 M), ahli hukum Romawi, Scire leges non hoc est verba aerum tenere sed vim ac potestatem (mengetahui hukum tidak berarti mengetahui kata-kata mereka, tetapi maksud dan tujuannya), hingga jangan salah gunakan hukum kita (male enim nostro iure uti non debemus).
Maka, Polri harus profesional dalam penegakan hukum, terutama dalam menangani kegiatan pawai dan unjuk rasa yang dilakukan oleh rakyat Papua, agar penyalahgunaan tidak kebiasaan (abusus non tollit usum). Sebab kekuasaan bukan sarana untuk memamerkan kekerasan. Juga bukan instrumen untuk memonopoli kebenaran, dengan mengutamakan kepentingan negara di segalanya (etatisme), tetapi untuk menegakkan keadilan dan demokrasi, demi perdamaian dan kemanusiaan.
Sikap etatisme hanya dikenal dalam negara berpaham fasisme dan komunisme yang bernapaskan totalitarianisme, yang oleh Hannah Arendt sebut bahwa totalitarianisme, imperialisme, dan rasisme sebagai bentuk kekerasan negara.
Di sisi lain, kekerasan menurut Arendt dapat selalu menghancurkan kekuasaan. Di luar laras bedil tumbuhlah komando paling efektif, yang menghasilkan ketaatan paling instan dan sempurna (Jurnal Etika Sosial, Penderitaan Ayub dan Kekerasaan Massa; Refleksi Rene Girard dan Hannah Arendt oleh C. Iman Sukmana, Unika Atma Jaya, Juli 2009).
Pandangan Hannah Arendt hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh aktivis kemanusiaan Amerika Latin, Dom Helder Camara (1909-1999), tentang spiral kekerasan, yakni ketidakadilan memicu pemberontakan, lalu pemerintah melakukan represi.
Tentu maksud aparat keamanan melakukan represi terhadap pengunjuk rasa yang menolak pemekaran DOB Papua, agar rakyat Papua terjungkal dalam lorong gelap demarkasi atau pemasungan kebebasan. Bersambung. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua
Discussion about this post