Oleh: Thomas Ch Syufi
Kesetiaan Johanes Kaprimi Jambuani dalam perjuangan kemerdekaan Papua, dapat diperlihatkan sebagai pemimpin OPM yang paling terakhir bersama pasukannya yang menyerah kepada pemerintah Indonesia di kampung Senopi, bagian barat Kebar pada tahun 1971, setelah digelar Pepera 1969.
Keabsahan Pepera 1969 masih digugat oleh mayoritas rakyat Papua, karena dinilai penuh kecurangan dan manipulatif. Pepera tidak dilaksanakan menurut Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yakni satu orang satu suara (one man one vote).
Penyerangan di Arfai dan Kebar juga merupakan akumulasi kekecewaan atas aneksasi Indonesia terhadap hak kemerdekaan rakyat Papua yang diberikan oleh Belanda pada 1 Desember 1961. Hal itu disabotase oleh pemerintah Indonesia melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961, hingga peralihan dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority/UNTEA) yang berkuasa sejak 1 Oktober 1962 ke pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963.
Bahkan rumusan instrumen hukum tentang pelaksanaan Pepera 1969 yang dilakukan secara sepihak di New York, AS, 15 Agustus 1962 juga tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik “Bumi Cenderawasih” yang berhak menentukan masa depan politiknya sendiri.
Kurun 1960-1963, militer Indonesia makin represif dan melancarkan operasi militer di seluruh Tanah Papua. Orang Papua tidak memiliki kebebasan untuk menyuarakan hak kemerdekaannya yang sedang diinspirasikan oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat.
Ini sebagai buah diplomasi Soekarno yang mengobral isu komunisme yang kian merebak di Asia Tenggara kala itu kepada Presiden AS John F Kennedy, agar membantu menekan Belanda untuk menuruti kemauan Indonesia merebut Papua. Orang Papua dilarang mengibarkan bendera bintang kejora, menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua”, dan membungkam segala aktivitas politik orang Papua.
Kebebasan berekspresi rakyat Papua direspons dengan kekerasan militer, baik pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan semena-mena.
Padahal Indonesia tidak memiliki kewenangan resmi untuk melakukan berbagai praktik kenegaraan, apalagi tindakan kekerasan dan pembunuhan di luar hukum terhadap orang Papua. Hingga tidak dapat dibenarkan dan itu merupakan skandal kemanusiaan yang menjadi sejarah kelam dalam memoria passionis orang Papua ke depan, sebab sejarah itu mengajarkan (historia docet).
Alasan inilah yang membuat tokoh-tokoh Papua yang berpendidikan mulai bersekutu dan membangun kesadaran politik kepada masyarakat Papua, dengan mencetuskan OPM di Manokwari tahun 1963. Dua tahun kemudian, 26 Juli 1965, untuk melawan berbagai konspirasi, intrik, dan manuver politik pemerintah Indonesia untuk menguasai Tanah Papua, pasukan OPM menyerang Markas TNI di Arfai, Manokwari, termasuk Kebar, Manokwari, Irai, Anggi, dan.Manokwari (4-6 Maret 1968), Sausapor, Sorong /Tambrauw (2 Februari 1968), dan Makbon, Sorong (21 Januari 1968), untuk merampas senjata dan terus melancarkan perang yang lebih masif di seluruh Tanah Papua. Sekaligus menunjukkan eksistensi perlawanan rakyat Papua kepada pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional, bahwa orang Papua menolak segala upaya pemerintah Indonesia untuk mengokupasi Papua, termasuk rencana pelaksanaan Pepera 1969.
Setelah menyerah tahun 1971, Jambuani yang di zaman Belanda adalah seorang inspektur polisi (1959-1962) yang ditugaskan di detasemen kepolisian Sorong ini tetap konsisten dalam perjuangannya untuk kemerdekaan Papua. Ia bersama kawan-kawannya dikirim ke Jawa untuk mengikuti latihan militer dan kembali bertugas sebagai anggota TNI di Batalyon 753 Sentani, Jayapura, tetapi ia membelot.
Pada tahun 1984, Jambuani dan rekan-rekannya membentuk wadah taktis bernama Sonek 84 yang dipimpin oleh mendiang Mayor Marthen Luther Prawar, untuk menyerang dan menduduki Jayapura. Hingga pada tahun yang sama, 1984, Jambuani mengungsi dengan berstatus sebagai asylum (pencari suaka politik) ke Papua Nugini (PNG) dan menetap di Kamp Blackwara.
Setelah 17 tahun tinggal di PNG, Jambuani akhirnya memilih pulang ke kampung halamannya di Kebar, Manokwari atas kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melalui gelombang repatriasi pengungsi ke Papua yang disponsori oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Jambuani tahu bahwa hujan emas di negeri orang tidak sama dengan hujan batu di negeri sendiri.
Kepulangannya ke Papua, bukan karena ia menghitung hari di masa tuanya dan jiwanya disandera ringkikan badani, bukan lelah, bosan, atau ciut nyalinya dalam berjuang. Akan tetapi, Jambuani ingin mengubah perjuangannya yang dahulu berorientasi kekerasan dengan pendekatan dialog konstruktif yang adil, damai, dan demokratis.
Artinya, perjuangan zaman dahulu yang mengedepankan metode kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan tak relevan lagi di zaman sekarang. Juga pendekatan kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Itu justru memperpanjang rantai kekerasan, mendatangkan destruksi, dan meninggalkan reruntuhan kemanusiaan di Tanah Papua.
Meski sudah sepuh dan berstatus repatrian, Jambuani tetap aktif dalam memberi penyadaran politik kepada generasi muda Kebar dan Manokwari. Ia juga sudah beberapa kali menghadiri forum pertemuan Masyarakat Adat Sedunia (Indigenous People) di Jenewa, Swiss (2012), dan tahun 2016 di New York, AS (meski tengah sakit, didorong dengan kursi roda).
Sebagaimana dikatakan oleh seorang pengungsi tahun 1984 dan tokoh pejuang Papua di Port Moresby, PNG, Constantinopel Ruhukail, bahwa Jambuani adalah orang hebat. Ia cakap berbahasa Belanda dan merupakan seorang penembak jitu yang sangat disegani oleh pihak musuh ketika ia mengangkat perang di hutan wilayah Kepala Burung, tepatnya di daerah Kebar hingga Ayawasi, dan bagian utara di Sausapor, serta Amberbaken.
Kemahirannya dalam menembak juga dibuktikan saat bertugas sebagai anggota TNI Yonif 753 Sentani Jayapura. Ia adalah penembak misterius dari Bumi Cenderawasih yang diikutsertakan dalam lomba tembak nasional di Jawa Barat, dan Jambuani keluar sebagai pemenang juara satu dalam lomba tembak benang.
Tidak sampai di situ. Jambuani juga merupakan salah satu tokoh nasionalis Papua yang sangat serius dan tegas menolak kebijakan Otonomi Khusus Jilid II dan pemekaran di Papua jika tidak diawali dengan jalan dialog Jakarta-Papua yang adil, damai, dan bermartabat.
Menurut Jambuani, konflik Papua bukan persoalan kesejahteraan atau pembangunan semata. Akan tetapi, persoalan Papua adalah persoalan sejarah penyatuan Papua ke dalam Indonesia yang penuh dengan rekayasa, manipulatif dan pemaksaan, serta kekerasan yang berakhir pada pelanggaran HAM.
Jadi, pemerintah Indonesia harus membuka ruang dialog untuk pelurusan sejarah status politik Papua dalam NKRI, sekaligus menyiapkan jalan bagi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua sejak Trikora 19 Desember 1961 hingga sekarang. Sebab dialog tidak membunuh siapa pun.
Dialog dilakukan agar tidak ada lagi beban sejarah dan konflik yang dapat menginterupsi berbagai akselerasi pembangunan yang terus digenjot oleh pemerintah Indonesia untuk kesejahteraan orang Papua, juga mewujudkan Papua tanah damai. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan advokat muda Papua