Opini  

Dialog versi Komnas HAM: Mustahil pelaku mengadili pelaku

Komnas HAM RI
Ilustrasi - Dok. Jubi

Oleh: Siorus Degei

Ikhtiar pemerintah pusat untuk berdialog dengan rakyat Papua dengan cepat direspons oleh tokoh-tokoh di Papua. Pasalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI siap memfasilitasi dialog antara pemerintah pusat dengan orang Papua, khususnya Organisasi Papua Merdeka atau OPM (CNNIndonesia.com, 9/3/2022).

“Meskipun ini lembaga negara, istilahnya Indonesia, mereka masih sangat menghormati. Tim kita di sana sering bertemu dan saling kontak. Dan mereka bersedia, kalau difasilitasi Komnas HAM, mereka katakan bersedia,” kata Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik.

Lantas bagaimana respons orang asli Papua (OAP), terutama petinggi OPM dan tokoh-tokoh kunci Papua lainnya?

Pertama, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda menegaskan, Komnas HAM RI tak punya kapasitas untuk menyelenggarakan atau menjadi mediator dialog Jakarta-Papua. Komnas HAM, menurut Wenda adalah bagian dari negara Indonesia (Jubi.co.id, Maret 2022);

Kedua, OPM dengan tegas menolak dialog usungan pemerintah melalui Komnas HAM, yang seakan-akan hendak menasionalisasi konflik Papua. Organisasi Papua Merdeka (OPM) hanya mau dialog berstandar internasional (Honaigubahan.com, 10/3/2022).

“Dialog dalam koridor NKRI akan terus mengorbankan kami rakyat Papua, kami OPM TPNPB meminta perundingan internasional melibatkan kerangka hukum internasional secara adil dan demokratis karena masalah Papua adalah masalah internasional,” kata Ketua OPM, Jefri Bomanak.

Ketiga, Koordinator Jaringan Doa Untuk Pemulihan Papua (JDRP2), Selpius Bobii juga menolak dialog imparsial yang mau dimediasi oleh Komnas HAM.

“Apa target Jakarta? Rupanya Jakarta punya kepentingan untuk membendung arus sorotan dari negara negara dan pemerhati HAM di dunia atas pelanggaran HAM atas nama NKRI di Tanah Papua yang tak kunjung berakhir. Tujuan utamanya mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI hingga etnis Papua musnah,” kata Bobii dilansir Kabarkedegado.com, 7 Oktober 2022.

Keempat, imam Diosesan Timika, Pastor Rufinus Madai, kepada penulis, 10 Maret 2022, mengharapkan agar pemerintah–Jokowi sebagai kepala negara, serius mengawal wacana dialog ini. Presiden diharapkan mampu bertemu dengan aktor-aktor konflik di Papua yang murni, bukan gadungan–yang memang sudah dipersiapkan oleh negara sendiri.

Apakah Komnas HAM RI berniat baik untuk berdialog guna mencari solusi konflik Papua? Kalau benar berniat baik, maka mereka akan mengikuti mekanisme dialog bermartabat dan damai, dan mendengarkan harapan dan kerinduan orang Papua. Dan mencari pihak-pihak yang tepat untuk berdialog. Dengan demikian, tujuan yang akan tercapai dari dialog itu adalah menyelesaikan semua akar masalah dan akan ada win-win solution antara Jakarta dan Papua.

Bila Komnas HAM berdialog dengan niat memusnahkan orang Papua, maka berdialoglah dengan pihak-pihak “gadungan” di Papua.

Kelima, Presiden Gereja Baptis Papua, Dr. Socratez Sofyan Yoman, dalam laman facebook mengatakan, dialog yang diusulkan Komnas HAM RI itu dialog tipu-tipu, sehingga rakyat Papua jangan percaya dialog semacam itu.

Jika negara RI mau dialog dengan Papua, maka dialog itu harus difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dengan melibatkan AS, Belanda, Vatikan-Roma, dan PBB sebagai aktor yang menganeksasi bangsa Papua secara sepihak ke dalam NKRI, karena akar masalah Papua adalah status politik bangsa Papua. Bangsa Papua tentu sangat menolak dialog imparsial, yang difasilitasi oleh lembaga negara RI seperti Komnas HAM dan sejenisnya.

Dialog Papua
Pemimpin kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda – Jubi/RNZI-Koroi Hawkins

Penegasan atas diskursus dialog

Dari respons beberapa tokoh di atas, khususnya Ketua ULMWP dan OPM, penulis hendak menegaskan beberapa hal.

Pertama, agenda dialog yang sedang didorong oleh pemerintah pusat, khususnya Komnas HAM, nyatanya ditolak oleh bangsa Papua umumnya, dan OPM khususnya, sehingga penulis merasa bahwa upaya Komnas HAM RI itu akan sia-sia;

Kedua, jika pemerintah hendak berdialog, maka pemerintah terlebih dahulu mengizinkan kunjungan Dewan Tinggi HAM PBB ke Papua. Orang Papua hanya mau berdialog secara internasional melalui hukum internasional– yang dimediasi oleh pihak ketiga yang independen dan otonom;

Keempat, Indonesia, PBB, Belanda, Amerika, dan Vatikan adalah aktor-aktor kunci dialog internasional dalam rangka menyelesaikan konflik Papua;

Kelima, proses/tahapan, metode dan mekanisme dialog damai itu bersumber dari pemikiran mendiang Pater Dr. Neles Tebai, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP). Sebab esensi dan substansi konflik Papua hanya bisa diselesaikan melalui dialog, yang dituangkan Pater Neles Tebai dalam buku “Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” (2009: SKPKC Jayapura).

Semua pihak–orang Papua dan Jakarta, serta Amerika, Belanda, Vatikan dan PBB, mesti membedah pemikiran Pater Neles dalam buku tersebut secara kompleks dan komprehensif, untuk menciptakan Papua tanah damai. Sebab buku tersebut adalah roadmap menuju Papua tanah damai.

Tanpa pandangan dan panduan buku tersebut (bahkan karya tulis peninggalan Pater Neles Tebai lainnya), maka dialog damai itu nihil, sama seperti kita merebus batu.

Konflik Papua
Mendiang Pater Neles Tebay, mantan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP). – Jubi/Sesawi.net

Pelaku mengadili pelaku

Pelanggaran HAM di West Papua merupakan akibat dari akumulasi kekerasan NKRI terhadap rakyat Papua yang menuntut hak politik kemerdekaan.

Terbukti selama 61 tahun (1 Desember 1961 – 1 Desember 2021), NKRI tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan status politik Papua. Malahan memaksakan paket politik otonomi khusus dan pemekaran sebagai “win-win solution”.

Upaya dialog nasional yang hendak dimediasi oleh Komnas HAM RI ini terbilang sangat irasional secara hukum positif atau secara akal sehat. Sebab baru kali ini dalam sejarah peradilan dunia: pelaku (negara) yang hendak mengadili dirinya sendiri. Atau ada pelaku yang hendak menghukum dirinya sendiri dengan hukum dan sistem peradilannya sendiri, seraya memanipulasi, mendistorsi, mengkapitalisasi dan mengkriminalisasi eksistensi HAM dari korbannya.

Pelanggaran HAM di West Papua telah menjadi sorotan MSG (Melanesian Spearhead Group), PIF (Pacific Island Forum atau Forum Kepulauan Pasifik), ACP (African, Caribbean, and Pacific) dan dunia internasional, sehingga Dewan HAM PBB harus berkunjung ke West Papua. Akan tetapi, hingga kini Indonesia belum memberikan izin. Kini Komnas HAM RI mendorong dialog Jakarta-Papua versinya, untuk penyelesaian status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum dan HAM NKRI.

Hemat penulis, itu merupakan strategi pertanggungjawaban NKRI di mata dunia. Sebab, Indonesia akan menggunakan dialog versi Komnas HAM untuk beberapa tujuan:

Pertama, menunjukkan kepada Komisioner Dewan HAM PBB bahwa persoalan West Papua sudah diselesaikan melalui mekanisme dialog (versi Komnas HAM);

Kedua, menunjukkan kepada Forum KTT G20 di Bali, 15-16 November 2022, bahwa konflik di West Papua sudah ditangani melalui dialog. Di sinilah rakyat Papua berhak menentukan sikapnya: menerima atau menolak dialog versi Komnas HAM RI.

Karena mustahil pelaku mengadili pelaku.

Kunjungan KT HAM PBB ke West Papua adalah kesempatan yang baik bagi orang Papua. Maka Papua perlu mendesak Jakarta dan kaki tangannya di Papua, untuk menghentikan dialog versi Komnas HAM RI.

Pemerintah juga didesak agar orang Papua tidak terlibat dalam dialog versi Komnas HAM itu, dan Jakarta segera mengizinkan KT HAM PBB ke West Papua, dan segera menggelar referendum di West Papua. (*)

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250