Jayapura, Jubi – Papua Football Academy (PFA) dibentuk untuk melahirkan generasi-generasi emas Papua di masa depan, baik dari lapangan hijau maupun di kehidupan mendatang. Namun, hal itu tak ingin dijadikan beban kepada para siswa.
Dalam masa pendidikan dan pelatihan berbasis asrama, siswa-siswa PFA dididik dan dibimbing dengan tetap menyesuaikan pada usia mereka, yang rata-rata berusia 13-14 tahun.
Para pengajar, pelatih dan staf di PFA menerapkan metode latihan dan belajar yang tidak berpotensi membuat para siswa jenuh atau pun masalah psikologis yang rentan dialami pada usia mereka, seperti homesick.
“Sekarang ini transisi antara fase kesenangan dan perkembangan, artinya kita harus juga tetap seimbang mengatur mereka agar tetap bahagia, senang, dan menghindari dari tekanan yang membuat mereka mungkin punya potensi untuk layu sebelum berkembang,” kata Program Officer PFA, Rifky Aidi dihubungi Jubi, Selasa (28/3/23).
Meski digembleng untuk menjadi pesepakbola handal di masa depan, para siswa PFA tetap diberikan kebebasan berekspresi untuk menghadirkan kenyamanan selama berlatih.
“Sesederhana yang kita tampilkan di youtube akademi dengan judul kereta, itu adalah bagian dari pengalaman pertama mereka naik kereta yang mereka sebut besi panjang. Itu buat kita orang dewasa mungkin biasa, tapi bagi anak-anak itu kesan pertama kalinya dan harus kita antisipasi juga, ibaratnya jangan sampai mereka pergi tapi secara mental tidak siap untuk pergi dan tampil,” ujarnya.
Dengan latar belakang para siswa yang berbeda-beda, membuat para pengajar, pelatih dan staf harus memahami cara menangani, dan mendekatkan diri, agar para siswa tetap bisa merasakan nyaman.
“Kita harus tahu bagaimana cara kita bersikap untuk membuat mereka tetap merasa nyaman, karena semua anak punya karakter yang berbeda,” ucapnya.
Aidi menuturkan, dari tur mereka di Pulau Jawa telah mengundang ketertarikan dari pihak lain, termasuk klub-klub di Liga 1. Akan tetapi, PFA sendiri tak mau membebankan para siswanya dengan masa depan. Kegembiraan dan kenyamanan para siswa tetap menjadi prioritas.
“Tidak hanya klub-klub Liga 1, banyak pihak lain yang tertarik. Tapi balik lagi, mereka ini masih anak-anak, artinya mereka harus punya kesempatan untuk bertanding, harus punya waktu yang cukup, naluri mereka sebagai anak-anak untuk tetap bermain, tetap gembira sesuai dengan kurikulum yang kita adopsi yaitu filanesia,” bebernya.
“Program ke luar negeri juga pasti ada, tapi kami harus secara internal menyiapkan dan mengevaluasi anak-anaknya dulu sehingga mereka tidak cepat down dan syok. Di usia begini mereka alami fase pertama kalinya dalam hidup,” tutupnya.
PFA merupakan akademi sepak bola pertama di Indonesia yang menerapkan standarisasi FIFA, Children Safeguarding, atau perlindungan terhadap anak.
Children Safeguarding bagian dari kampanye FIFA untuk mempromosikan permainan sepak bola, melindungi integritasnya, dan membawa permainan tersebut ke semua orang. Menetapkan komitmen FIFA untuk mempromosikan olahraga yang aman sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk melindungi hak asasi manusia.
Salah satu landasan dari komitmen ini adalah program pengamanan FIFA Guardians. Program FIFA Guardians menyediakan kerangka kerja untuk membantu 211 anggota asosiasi (MA) untuk mencegah segala risiko yang membahayakan anak-anak dalam sepak bola dan merespons dengan tepat, seperti yang disebutkan dalam pasal 3 Statuta FIFA dan sejalan dengan pasal 23 Kode etik FIFA.
“Setiap orang di sepak bola berhak atas perlindungan dari pelecehan, pelecehan, dan eksploitasi baik secara fisik, emosional atau, seksual, pengabaian, atau perundungan. Ketika anggota keluarga sepak bola, seperti pemain, pelatih, ofisial, sukarelawan, atau anggota staf, menjadi sasaran atau terlibat dalam, perilaku kasar atau pelanggaran, hal itu merusak misi FIFA dan tidak sejalan dengan mempromosikan integritas sepak bola dan nilai-nilai keselamatan olahraga.”
“Anak-anak (semua yang berusia di bawah 18 tahun) memiliki hak perlindungan khusus, sebagaimana diartikulasikan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak (1989), karena kebutuhan mereka untuk diasuh dan karena ketergantungan mereka pada orang lain. FIFA juga mengidentifikasi anak muda di atas usia 18 tahun, wanita dan penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan yang harus dilindungi.” (*)