Jayapura, Jubi – Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Iriana Joko Widodo meluncurkan Papua Football Academy (PFA) di Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura pada Rabu, 31 Agustus 2022. Presiden mengapresiasi terbentuknya akademi tersebut guna melahirkan talenta-talenta berbakat lainnya dari Tanah Papua yang dikenal telah melahirkan banyak talenta sepak bola.
“Tadi Pak Dirut sudah menyampaikan, Rully Nere, ada yang kenal? Kita ingat juga Yohanes Auri, betul? Ada juga kita ingat Aples Tecuari. Ada juga yang saya ingat, Alexander Pulalo, ada juga Boaz Salossa, ada juga Elie Aiboy, kalau ke sini lagi ada Ramai Rumakiek dan Ricky Kambuaya,” ujar Presiden dalam laman resmi Presiden Jokowi Luncurkan Papua Football Academy | Sekretariat Negara (setneg.go.id).
Papua Football Academy merupakan sekolah bagi putra Papua dengan rentang usia 14-15 tahun untuk mengasah bakat dalam bidang olahraga khususnya sepak bola. Menurut Presiden Jokowi, dalam akademi tersebut anak-anak akan dilatih tentang kedisiplinan dengan latihan rutin yang didampingi oleh para pelatih dengan reputasi yang baik.
“Di sini nanti untuk meraih prestasi anak-anak digembleng kedisiplinan, digembleng latihan-latihan yang rutin, dan terus didampingi oleh coach yang memiliki reputasi yang baik,” katanya.
Presiden menjelaskan bahwa anak-anak yang telah masuk dalam PFA merupakan talenta berbakat yang telah melalui serangkaian proses seleksi dengan baik. Untuk itu, Kepala Negara berharap anak-anak dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menimba ilmu sepak bola di PFA.
“Tadi Pak Dirut sudah menyampaikan ada 477 anak yang diseleksi dan sekarang hanya tinggal 30 anak. Ini adalah bibit-bibit, talenta-talenta yang diseleksi dengan baik, talenta-talenta yang berbakat,” lanjutnya.
Selain sepakbola, Presiden Jokowi menuturkan bahwa anak-anak yang tergabung dalam PFA juga tetap mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Pesepak bola Papua mulai dari Johanes Auri, Rully Nere, Alexander Pulalo, dan kawan-kawan termasuk produk pemain yang bukan dilahirkan dari sekolah sepak bola. Mereka lahir dari sekolah sepak bola jalanan yang dikenal dengan sebutan “sepak bola patah kaleng.”
Todd Ferre walau pun lahir dari sekolah sepak bola Imanuel Sentani, tetapi paham betul tentang permainan sepak bola patah kaleng. Todd bilang patah kaleng itu sepak bola yang memakai kaleng sebagai gawang dan setiap pemain harus berjuang untuk menjatuhkan kaleng.
“Dan kemudian mendapat poin atau disebut gol,” kata Todd dalam film pendek produksi FIFA tentang bintang sepak bola Papua, Boaz T Solossa.
Pemain-pemain muda seperti generasi Todd Ferre, Ramai Rumakiek, David Rumakiek, Patrcik Womsiwor, sampai dengan Muhammad Iqbal Gwijangge adalah pesepak bola Papua produk sekolah sepak bola. Sebut saja misalnya David dan Ramai Rumakiek dari SSB Batik Kotaraja binaan Thomas Madjar dan istrinya juga pelatih sepak bola, T Iba, adik kandung Erol Iba.
Begitupula Patrick Womsiwor jebolan SSB Emsyik dan juga Terens Puhiri dan Yanto Basna dari SSB Numbay Star. Pemain muda Papua kapten timnas U-16, Iqbal Gwijangge. Iqbal kemudian masuk sekolah sepak bola. Iqbal dari SSB terus ke Swasco dan Bandung Pro United, hingga akhirnya ke Bhayangkara FC.
Beruntung selama ini ada festival sepak bola Danone untuk usia 12 tahun dan melalui festival ini telah melahirkan pesepak bola berbakat. Yanto Basna, Terens Puhiri sampai dengan Todd Ferre merupakan alumni festival sepak bola anak anak Danone. Termasuk David dan Ramai Rumakiek dari SSB Batik pernah beberapa kali juara Danone zone Papua.
Prestasi tertinggi yang pernah diraih SSB Papua dalam Danone adalah SSB Emsyik, waktu itu mereka masuk final dan kalah dalam festival sepak bola anak-anak Danone 2007. Dalam final itu Emsyik melawan SSB Karang Gayam dan kalah lewat adu penalti dengan skor 4-2.
Sejak itu ada pula SSB Grime FC, SSB Nafri Abe Pantai binaan Christ Leo Yarangga, dan masih banyak lagi.
Mendiang Usman Fakaubun, mantan Sekretaris PSSI Wilayah Papua, mengakui menjamurnya SSB di Kota Jayapura menandakan warga sangat peduli dengan perkembangan dan pembinaan sepak bola. Hanya saja Fakaubun mengingatkan agar kualitas dan pembinaan sepak bola usia dini harus memiliki standar dan kualitas yang baik.
Memang harus diakui kalau PSSI di Papua jarang sekali melakukan kompetisi. Ricardo Salampessy, pemain Persipura Jayapura, mengaku kalau tumbuh dan berkembang dalam turnamen Hari Listrik PLN, saat memperkuat tim Hamadi Putra FC. Begitupula dengan Priska Womsiwor dilirik pelatih Persipura karena mengikuti turnamen Bank Papua.
Kompetisi berjenjang sangat penting sejak anak anak mengikuti Danone U-12 harus pula meningkat ke kompetisi U-16 yang dikuti Gwijangge dan kawan-kawan hingga berlanjut ke U-19 dan U-23 sampai bermain di timnas senior.
Pendeta Rainer Scheunemann pernah beberapa kali melakukan kompetisi antar mahasiswa, baik antar laki-laki maupun perempuan, di Kota Jayapura. Namun kompetisi antar usia mahasiswa terpaksa dihentikan dan waktu itu hanya berkonsentrasi pada U-10, U-12, dan U-15.
Menurut Rainer, pemegang lisensi kepelatihan sertifikasi A dari Jerman itu, pendidikan disiplin sebaiknya ditanamkan pada anak-anak usia dini lebih tepat. “Anak-anak kalau sudah terbiasa kompetisi sejak usia dini akan membentuk mental mereka semakin bagus,” ujar Rainer dalam buku berjudul “Yosim Samba Sepak Bola dari Timur,” terbitan Yayasan Sombunen, Februari 2010.
Lebih lanjut pencipta lagu “Indahnya Persipura” itu mengingatkan bahwa mencetak pesepak bola handal suatu proses panjang dan bukan instan.
“Tidak ada pemain bagus yang turun dari langit,” kata Rainer. (*)