Jayapura, Jubi – Mengakui Persipura Jayapura turun kasta memang sangat sulit. Tapi, degradasi adalah sebuah kenyataan yang harus diterima oleh sang juara empat kali di Liga Indonesia. Perjalanan selama 28 tahun akhirnya selesai.
Terdegradasinya klub sebesar Persipura merupakan hal yang tabu. Wajar saja, belum ada satu pun klub di Indonesia yang menorehkan kesuksesan serupa Persipura di Liga Indonesia era kompetisi profesional, dengan empat gelar juara (2005, 2009, 2011 dan 2013).
Sebelum itu, Tim Mutiara Hitam ada dalam jajaran elit empat klub Indonesia yang tak pernah terdegradasi, selain PSM Makassar, Persib Bandung dan Persija Jakarta.
Kompetisi Liga 1 2021 bukan hanya menjadi musim dengan statistik terburuk Persipura sepanjang keikutsertaan mereka di Liga Indonesia. Tapi juga mencoreng kesucian tim yang diklaim sebagai sang jenderal di persepakbolaan Indonesia itu.
Tak sekadar prestasi domestik. Persipura juga menjadi klub sepak bola pertama Indonesia yang menembus semifinal AFC Cup (turnamen kasta kedua antar klub benua Asia), yang diukir pada tahun 2014 silam.
Walau masih tercatat sebagai klub tersukses di Indonesia, Persipura harus menerima kenyataan pahit. Mengikuti jejak alumni juara Liga Indonesia lainnya, Sriwijaya FC, terjun ke kompetisi kasta kedua.
“Kita sudah berjuang dan lakukan apa yang sudah harus kita lakukan tapi itu tidak cukup untuk menyelamatkan kita. Itu (degradasi) sudah terjadi. Saya tidak bisa bicara, tim ini sudah luar biasa,” kata pelatih Persipura, Angel Alfredo Vera usai pertandingan menghadapi Persita Tangerang.
Persipura bukan satu-satunya pengoleksi gelar juara terbanyak di kompetisi domestik yang harus terhempas dari habitatnya. Di luar sana (kompetisi sepak bola luar negeri), beberapa penguasa Liga domestik juga pernah menelan pil pahit dan harus terdegradasi.
Penguasa Inggris dengan 20 gelar juara Liga, Manchester United pernah merasakan lima kali terdegradasi. Di Italia, Juventus yang mendominasi kompetisi Serie A dengan 36 gelar scudetto, juga pernah terlempar ke kasta kedua karena Calciopoli (skandal pengaturan skor).
Yang paling ironis, raksasa Argentina, River Plate. Klub yang pernah dinobatkan sebagai klub terbaik kesembilan di Dunia versi Federasi Internasional Sejarah dan Statistik sepak bola (IFFHS) itu harus menodai sejarah mereka, terdegradasi setelah 110 tahun eksis di kompetisi sepak bola Argentina.
River Plate berstatuskan klub tersukses dan penguasa Liga Argentina dengan 35 gelar juara ketika mengalami masa pelik itu pada 2011 silam.
Klub berjuluk Los Millonarios itu juga mengoleksi lima trofi internasional. Dua Piala Libertadores, satu piala Interkontinental, satu Supercopa Sudamericana dan satu trofi Copa Interamericana.
Kabar terdegradasinya River Plate kala itu menimbulkan kekecewaan berat bagi para suporternya. Suporter mengamuk masuk ke dalam area lapangan dan hendak meluapkan kekesalan saat tim kesayangan mereka kalah dari Belgrano de Cordoba di babak play off secara agregat.
Amarah supporter River Plate berlanjut di luar Stadion, mereka melemparkan benda keras ke arah lapangan dan terlibat bentrok dengan aparat kepolisian.
Terlempar ke kasta kedua dengan status raksasa Liga Argentina yang belum pernah sekalipun terdegradasi, sulit diterima suporter klub elit yang membesarkan nama-nama legenda sepak bola dunia seperti Gabriel Batistuta, Ariel Ortega, Marcelo Gallardo dan Pablo Aimar ketika itu.
Kekecewaan para suporter tak berhenti disitu. Mereka menuding biang keladi terdegradasinya River Plate karena kesalahan manajemen.
Suporter terus melancarkan aksi protes termasuk mendesak Presiden klub, Daniel Passarella mundur dari kursi jabatannya.
Padahal, Passarella adalah legenda sepak bola Argentina yang membawa tim nasional Tango menjuarai Piala Dunia 1978. Pasarella juga merupakan mantan bintang River Plate di era 70-an.
Suporter menuding, finansial klub River Plate akibat kinerja manajemen yang buruk. Pasalnya, klub berwarna kebesaran Merah Putih Hitam itu menunggak hutang sebesar 19 juta USD atau sekitar Rp193 miliar. Situasi tersebut yang membuat mereka terpaksa melego pemain-pemain muda potensialnya.
Tak hanya para suporter, media-media Argentina kala itu ikut menyalahkan kinerja wasit yang memimpin laga play off River Plate kontra Belgrano sekaligus menyalahkan manajemen.
“Menakjubkan, namun nyata!,” sebuah sindiran dalam judul berita harian Ole di Argentina.
Meski klubnya terdegradasi, Daniel Passarella tak mau lengser dari jabatannya. Ia merasa bertanggung jawab dan optimis bisa mengembalikan harkat dan martabat klub yang telah membesarkan namanya.
Bangkit Lagi dan Jadi Penguasa
Degradasinya River Plate seolah menjadi cambuk yang menampar muka sendiri. Manajemen dan pihak klub akhirnya berbenah dan melakukan revolusi besar-besaran.
Itu dilakukan untuk kembali mengangkat klub tersukses di Argentina itu agar bisa kembali promosi ke kasta teratas.
Pihak klub akhirnya menunjuk legenda Lazio dan Parma, Mathias Almeyda sebagai manajer anyar usai memutuskan pensiun sebagai pemain di River Plate. Di saat bersamaan, manajemen mendatangkan pemain kelas dunia, David Trezeguet sebagai upaya untuk bisa kembali promosi.
River Plate pada akhirnya hanya butuh waktu semusim untuk promosi lagi ke Premiera Division (Liga Utama Argentina), setelah mendominasi klasemen Divisi National B (kasta kedua) sebagai juara di musim 2012/2013. Tiket promosi itu menjadi kado manis sekaligus menghapus luka para suporter yang kecewa sewaktu timnya itu terdegradasi.
“Ini adalah momen yang tak akan terlupakan. Dalam kurang dari setahun, kami berhasil mengembalikan River ke tempat yang seharusnya,” kata Matias Almeyda dilansir dari Buenos Aires Herald.
Berhasil membawa timnya ke kompetisi tertinggi, Almeyda kemudian mundur dari jabatannya karena gagal mempersembahkan trofi juara Copa Libertadores (Liga Champions-nya Amerika Selatan). Ia digantikan Ramon Diaz yang akhirnya sukses membawa River juara Liga Utama Argentina musim 2013/2014.
Sayangnya, Diaz juga mundur dari kursi pelatih. Posisinya kemudian digantikan legenda klub, Marcelo Gallardo. Sekadar diketahui, River punya tradisi dilatih oleh mantan pemain mereka sendiri. Bersama Gallardo ini lah River Plate perlahan kembali menjadi penguasa.
River Plate berhasil mengembalikan kejayaannya di era Gallardo dengan menjuarai Copa Sudamericana (2014), Copa Libertadores (2015, 2018), Copa Argentina (2016, 2017, 2019), Liga Utama Argentina (2021). Gallardo kemudian juga dinobatkan sebagai pelatih terbaik di Amerika Selatan dalam tiga musim beruntun (2018, 2019, 2020).
Kedigdayaan River Plate dipersepakbolaan Argentina dan Amerika Selatan masih berlanjut. Saat ini, Los Millinairos masih menjadi penguasa dengan mengoleksi 37 trofi juara Liga Utama Argentina.
Apa yang dialami oleh klub River Plate setidaknya bisa menjadi ilham yang menginspirasi Persipura Jayapura, sebagai klub raksasa di Indonesia yang baru saja terlempar ke kasta kedua.
Revolusi besar-besaran manajemen perlu dilakukan, jika ingin promosi dan kembali berjaya di kompetisi tertinggi persepakbolaan Indonesia.
“Semenjak bermain di Warna Agung (klub Galatama), saya sudah merasakan bahwa Persipura ini tim yang sangat bagus dan banyak talenta muda berbakat. Saya berharap dengan turunnya Persipura ini tidak akan lama lagi mereka bisa naik kembali ke Liga 1 lagi,” pungkasnya. (*)