Jakarta, Jubi – Kementerian Lingkungan Hidup atau KLH siap menggelar pendataan nasional terhadap flora dan fauna terancam punah, tahun depan. Habitat keanekaragaman hayati tersebut diperkirakan tersebar di sekitar 93 juta hektare lahan di Indonesia.
Kepala Subdirektorat Pengawetan Spesies dan Genetik KLH Badi’ah menyatakan spesies terestrial di Indonesia meliputi 9,7 persen jenis tumbuhan berbunga, dan 15 persen jenis mamalia di dunia. Selain itu, sembilan persen jenis reptil, enam persen spesies amfibi, 17 persen spesies burung, dan sembilan persen spesies ikan air tawar di dunia.
“Penyebarannya masing-masing 22 spesies di Sumatra. 25 spesies di Jawa, 14 spesies di Kalimantan, dan 16 spesies di Sulawesi. [Kemudian], delapan spesies di Maluku, 15 spesies di Bali–Nusa Tenggara, dan sembilan spesies di Papua,” kata Badi’ah saat Sedaring (Webinar) Keanekaragaman Hayati dalam Perubahan Iklim, Selasa (26/11/2024).
Berdasarkan penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2023 menurut Badi’ah, Indonesia juga memiliki empat dari 25 jenis keanekaragaman hayati laut di dunia. Namun, KLH belum mengetahui indeks ancaman kepunahan akibat kondisi lingkungan dan perubahan iklim pada spesies-spesies tersebut.
“UNCB [Organisasi Konservasi Keanekaragaman Hayati Dunia] memprakirakan 44 persen spesies karang di perairan hangat dan 50 persen ekosistem bakau global bakal punah pada 2050. Itu jika peningkatan suhu bumi [akibat perubahan iklim] tidak dapat dikendalikan,” kata Badi’ah.
Berdasarkan laporan Organisasi Iklim Dunia (WMO), lanjutnya peningkatan suhu bumi saat ini mencapai 1,45 derajat celsius. Peningkatan suhu tersebut mendekati ambang batas yang disepakati dunia internasional dalam Perjanjian Paris 2015, yakni 1,5 derajat celcius. Menurut Badi’ah, ancaman perubahan iklim tersebut tidak menutup kemungkinan berdampak serius terhadap kelestarian keragaman hayati di Indonesia.
“Berdasarkan analisis KLH, keterlambatan musim penghujanan pada medio 2024–2025 di Indonesia mulai mengganggu pola migrasi, masa perkembangbiakan [satwa] hingga penyerbukan tumbuhan. Perincian dampaknya akan didata sebagai acuan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Keanekaragaman Hayati (IBSAP) 2025–2045,” kata Badi’ah.
Dia menjelaskan IBSAP mengintegrasikan upaya mitigasi perubahan iklim, pelestarian ekosistem, serta pengelolaan keanekaragaman genetik dan spesies. Karena itu, pendekatannya tidak semata untuk memperlambat perubahan iklim melainkan juga melindungi kelestarian sumber daya hayati.
“Penerapan IBSAP makin strategis karena memiliki payung hukum, yakni Undang Undang Nomor 32 Tahun 2024. Undang Undang ini menyatakan konservasi [lingkungan] bukan hanya terhadap spesies tertentu, melainkan juga terhadap ekosistem, spesies, dan genetis,” kata Badi’ah.
Dia menjabarkan ada empat fokus utama dalam pengimplementasian IBSAP. Fokus tersebut ialah pencegahan deforestasi dan degradasi lahan, pengelolaan ekosistem gambut, peningkatan cadangan karbon, serta pengelolaan hutan lestari dan konservasi kawasan perairan.
“IBSAP menjadi panduan wajib bagi para pemangku kepentingan. Itu bukan hanya pemerintah pusat, dan pemerintah daerah melainkan juga pihak swasta, untuk bersama-sama mewujudkan tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati,” kata Badi’ah. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!