Jayapura, Jubi – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan dibutuhkan gerak bersama guna memberikan perlindungan bagi Pembela Hak Asasi Manusia. Hal itu disampaikan Atinike dalam Konferensi Nasional Pembela HAM yang diadakan di Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (7/12/2023).
“Pemajuan dan Perlindungan terhadap Pembela HAM membutuhkan gerak bersama,” ujarnya.
Pada Kamis, Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK menandatangani nota kesepahaman perlindungan bagi pembela Hak Asasi Manusia. Nota kesepahaman mekanisme respons untuk perlindungan dan pemenuhan Hak-hak Pembela HAM itu bertujuan memberikan perlindungan darurat bagi pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan, dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerjanya.
Atnike mengatakan keberadaan Pembela HAM atau Human Right Defender (HRD) sangat penting dalam pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM. HRD telah secara nyata berpartisipasi dan berkontribusi dalam memajukan dan menegakkan HAM di Indonesia, baik di tataran kebijakan maupun implementasinya.
Atnike mengatakan HRD berkontribusi mulai dari pendampingan korban dalam memperjuangkan hak asasinya, pemberdayaan dan pengorganisasian komunitas, pengajaran dan peningkatan kapasitas HAM, peningkatan kesadaran publik dan kampanye HAM, peliputan, pemantauan, dan dokumentasi peristiwa pelanggaran HAM, perlindungan saksi atau korban pelanggaran HAM, pemeliharaan lingkungan, penelitian dan pengembangan ilmu HAM.
Pembela HAM juga melakukan advokasi perubahan hukum dan kebijakan yang mendukung penegakan HAM, mengusahakan perdamaian, resolusi konflik, dan harmoni sosial, melakukan kegiatan kemanusiaan, penguatan demokrasi dan pemerintahan yang baik, pemantauan korupsi dan akses atas keadilan, dan pelbagai bentuk kontribusi pemajuan HAM lainnya.
“Berbagai kontribusi dalam pemajuan dan penegakan HAM tersebut telah diakui baik oleh norma HAM internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional,” ujarnya.
Akan tetapi, Atnike mengatakan para HRD sering berada dalam situasi yang memprihatinkan karena kerap mendapatkan ancaman dan/atau serangan atas kegiatan yang mereka lakukan di bidang pemajuan dan penegakan HAM. Ancaman dan serangan tersebut dapat berbentuk penghalangan atau pembatasan kegiatan pembelaan dan pemajuan HAM, serangan fisik, psikis, verbal, seksual secara langsung atau melalui sarana digital, fitnah, diskriminasi, penyalahgunaan proses hukum, atau berbagai bentuk serangan lainnya.
“Ancaman dan/atau serangan tersebut ditujukan untuk menghentikan Pembela HAM dari melakukan kerja-kerjanya. Beberapa peristiwa ancaman dan/atau serangan terhadap Pembela HAM dapat berbentuk penyalahgunaan proses hukum,” katanya.
Atnike mengatakan Komnas HAM telah menerbitkan Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM dan menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 6 tentang Pembela HAM. Aturan ini sebagai acuan dan penjelasan bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam melindungi dan memajukan hak-hak HRD yang memegang peran sentral dalam agenda pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia.
Namun, Atnike mengatakan Komnas HAM tak dapat berjalan sendiri. Pemajuan dan Perlindungan terhadap HRD membutuhkan gerak bersama Komnas HAM dengan lembaga HAM lainnya, seperti Komnas Perempuan, LPSK, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas (KND), akademisi, dan Gerakan masyarakat sipil, dan Negara sebagai duty bearer atau pengemban tugas dari HAM.
“Kami berharap bahwa ruang diskusi dan kolaborasi di antara berbagai aktor dan institusi di antara pembela HAM akan membuah energi baru bagi pemajuan dan perlindungan bagi Pembela HAM yang baik secara langsung akan mendorong pula kondisi HAM di Indonesia,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!