Jakarta, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan praktik permintaan uang sebesar Rp15 juta kepada seorang tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Polres Metro Jakarta Selatan, Freddy Nicolaus sebagai sebagai biaya kamar selama ditahan. Namun keluarga tak mampu memenuhi permintaan uang Rp15 juta tersebut.
“Saudara Freddy dimintakan uang sejumlah Rp15 juta sebagai biaya kamar selama berada di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan. Hal ini sebagaimana terdapat bukti komunikasi antara korban kepada keluarga dan teman-teman korban yang memintakan uang sejumlah Rp15 juta tersebut,” kata Analis Pelanggaran HAM, Nina Chesly, Rabu dikutip CNN Indonesia (20/4/2022).
Menurut Nina, Freddy tidak mampu memenuhi permintaan uang Rp15 juta tersebut. Namun berdasarkan bukti pengiriman uang ke dua nomor rekening, Freddy mengirimkan uang dengan total senilai Rp3.350.000.
Komnas HAM juga menemukan fakta bahwa Freddy mengalami kekerasan karena tidak memenuhi permintaan uang senilai Rp15 juta. Menurut pengakuan Freddy kepada keluarga, ia dipukul hingga disetrum.
“Setidaknya terdapat empat tindak kekerasan yang dialami korban, antara lain dipukul, disetrum, disundut rokok, dan tidak diberikan makanan karena tidak memenuhi permintaan uang,” kata Nina menambahkan.
Pemerasan dan kekerasan itu terjadi setelah dirinya diserahkan Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) ke Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sat Tahti) Polres Metro Jakarta Selatan pada 6 Januari 2022.
Tak hanya itu, selama di tahanan Freddy hanya mendapatkan jatah makan dua kali sehari, yaitu siang dan malam. Korban mengatakan tidak mendapatkan makan tiga kali sehari karena tidak memenuhi biaya yang diminta.
Sedangkan kondisi ruang tahanan melebihi kapasitas yang seharusnya diisi sepuluh orang, namun kenyataanya ada sekitar 20 orang yang menempati ruangan. Selain tahanan polisi, di rutan juga terdapat tahanan dari kejaksaan dan KPK.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI, Mohammad Choirul Anam, mengatakan, kejadian yang dialami Freddy merupakan pemerasan yang berujung pada penyiksaan. Ia menegaskan, hal ini merupakan masalah serius.
“Ini kalau bahasa sosialnya pungutan liar. Kalau bahasa kami ini pemerasan, dan ini ternyata pemerasan ini soal duit ini menjadi instrumen untuk menjadi penyiksaan dan ini problem yang juga serius,” ujar Anam. (*)
Discussion about this post