Jayapura, Jubi – Sejumlah 28 eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mendesak Presiden RI Joko Widodo, segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, serta moratorium permanen tambang pasir laut dan reklamasi pantai di Indonesia.
Walhi berpendapat PP yang diterbitkan pada pertengahan Mei 2023 oleh Presiden Joko Widodo itu akan melanggengkan krisis ekologis, terutama di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Dalam catatan Walhi, penerbitan PP ini merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.
“Hari ini, masyarakat pesisir di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman dampak buruk krisis iklim berupa tenggelamnya desa-desa pesisir, termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut. Tren global kenaikan air laut adalah 0,8 sampai 1 meter,” tulis Walhi dalam siaran persnya.
Dalam berbagai kesempatan, Walhi telah menyampaikan informasi kepada masyarakat luas bahwa pada masa yang akan datang, sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut. Artinya, dengan adanya PP ini ancaman tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan semakin cepat.
Pengalaman di berbagai tempat yang didampingi Walhi menunjukkan, dampak buruk tambang pasir laut. Di Kepulauan Seribu, telah ada 6 pulau kecil tenggelam akibat ditambang untuk kepentingan reklamasi di Teluk Jakarta.
Di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, tambang pasir laut telah mengakibatkan telah membuat air laut menjadi keruh. Banyak Nelayan di Indonesia telah menjual perahu milik mereka untuk menyambung hidup. Tak hanya itu, ombak semakin meninggi.
“Sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitar satu meter tetapi saat ini sudah mencapai tiga meter. Selain ombak yang tinggi, Nelayan juga kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jeda, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari ikan di perairan tersebut. Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut,” ungkap Walhi.
Bahkan, beberapa nelayan telah meninggalkan kampung halaman beserta istri dan anak untuk menyambung hidup. Di Pulau Rupat Riau, tambang pasir laut telah mempercepat abrasi kawasan pesisirnya serta membuat nelayan semakin sulit menangkap ikan. Di Lombok Timur, nelayan-nelayan yang terdampak tambang pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali, harus melaut sampai ke perairan Sumba.
Sementara itu, tambang pasir laut mengancam keberadaan ekosistem pulau-pulau kecil di Jawa Timur. Sebagai temuan bahwa di sekitar perairan Pulau Bawean, Jawa Timur terdapat IUP eksplorasi dan WIUP pencadangan tambang pasir laut, lalu di perairan dekat selat Madura juga terdapat IUP eksplorasi tambang pasir laut.
Berdasarkan hal tersebut, penerbitan PP 26 tahun 2023 akan menciptakan kerusakan ekosistem, merusak rumah dan sumber pangan ikan, lalu menambah beban kawasan dan tentunya memperburuk kehidupan masyarakat pesisir, terutama nelayan dan perempuan nelayan, serta semakin memiskinkan mereka.
Walhi Nasional dan 28 Walhi Daerah di Indonesia menyatakan desakannya kepada Presiden sebagai berikut:
1. Segera mencabut PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut karena akan mempercepat, memperluas dan melanggengkan kerusakan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. PP tersebut akan memperburuk kehidupan masyarakat pesisir yang tinggal di hampir 13 ribu desa pesisir di Indonesia.
2. Melakukan moratorium permanen terhadap seluruh proyek reklamasi pantai di Indonesia serta seluruh proyek tambang pasir laut yang menjadi bagian dari proyek reklamasi pantai yang merusak ekosistem laut Indonesia.
3. Mengevaluasi dan menghentikan beban industri besar di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang memperparah kerusakan, di antara pertambangan timah dan nikel yang kini terus dikembangkan oleh pemerintah.
4. Menyusun segera skema penyelamatan desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil
yang tengah dan akan tenggelam.
5. Segera menetapkan darurat iklim dan segera menyusun undang-undang keadilan iklim untuk melindungi masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.
6. Segera menetapkan aturan perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan ekosistem esensial. Serta segera menetapkan kawasan tangkap nelayan tradisional di perairan pulau-pulau kecil. (*)