Jakarta, Jubi – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan E. Ramos Petege, seorang pemuda Papua asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua Tengah.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa.
Menurut pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir tuhan. Setiap orang berhak untuk menikah dengan siapapun juga terlepas dari perbedaan agama. Atas dasar itu, pemohon menilai negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama. Negara dinilainya juga harus bisa memberikan suatu solusi bagi pasangan beda agama.
Kemudian alasan lain pemohon menggugat UU Perkawinan ialah mengenai Pasal 2 Ayat (1) pada hakikatnya dinilainya telah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dengan apa yang dimaksud dengan “hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Menurut pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan perkawinan beda agama termasuk adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil.
Apabila perkawinan hanya diperbolehkan dengan yang seagama hal ini dinilainya mengakibatkan negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya.
Selanjutnya, menurut pemohon, Pasal 2 Ayat (2) menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama, dan kepercayaan masing-masing untuk menghindari perkawinan beda agama.
Terakhir, pemohon menilai Pasal 8 huruf f menimbulkan ambiguitas, kabur, ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Senada dengan itu, Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
Ia menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945. Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family”.
Jika diterjemahkan “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga”.
Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B Ayat (1) yang menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Dua Hakim MK Berbeda Pendapat
Sementara itu dua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI yakni Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion) soal gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan pemohon terkait perkawinan beda agama.

“Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, dua hakim yakni hakim Suhartoyo dan hakim Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda,” kata Ketua MK Anwar Usman di Jakarta, Selasa.
Pada kesempatan itu, hakim konstitusi Suhartoyo menyampaikan alasan tambahan yang berbeda. Pertama, dasar hukum sahnya perkawinan dan kebebasan/kemerdekaan memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing diatur dalam ketentuan norma sebagai berikut.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berikutnya, Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi-tiap-tiap perkawinan dicatat menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Ayat (2) berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Hakim Suhartoyo mengatakan mengacu pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa” menunjukkan Indonesia bukanlah negara penganut sekularisme.
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
“Ketiga dasar hukum tersebut menjadi bentuk konkret negara di dalam memaknai hakikat perkawinan dan juga negara di dalam menjamin kebebasan masyarakat dalam memilih dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing,” kata dia.
Ia mengatakan dasar hukum tersebut secara filosofi dibangun karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara plural yang memiliki keragaman suku, budaya, ras, agama dan kepercayaan.
Berkaitan dengan norma yang diuji dalam perkara a quo, keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu regulasi yang sama berpotensi saling melemahkan, bahkan keberlakuan nya baik secara aktual maupun potensial bertentangan.
Senada dengan itu, hakim Daniel Yusmic P. Foekh berkeyakinan persoalan perkawinan beda agama adalah sebuah persoalan yang secara nyata ada dan patut diduga terus berlangsung sampai sekarang serta di masa-masa yang akan datang.
Setidaknya, ujar dia, terdapat beberapa pola yang warga negara lakukan untuk melakukan perkawinan beda agama. Pertama, melakukan perkawinan di luar negeri, salah satu mempelai dari pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama untuk sementara berpindah agama mengikuti agama pasangannya.
Ketiga melangsungkan perkawinan sebanyak dua kali dimana perkawinan pertama, misalnya, mengikuti agama calon suaminya dan setelah itu menikah lagi (perkawinan kedua) menurut agama dari istrinya atau sebaliknya.
“Ketiga pola tersebut di satu sisi dianggap semacam bentuk penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama, namun di sisi yang lain merupakan langkah ‘terobosan’ sendiri dari pasangan calon perkawinan yang beda agama karena ketiadaan hukum perkawinan beda agama,” jelas dia. (*)
