Jayapura, Jubi- Negara negara Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam Pertemuan Pemimpin Forum Kepulauan Pasifik ke-52 di Avarua, Rarotonga Kepulauan Cook 2023, telah menunjuk Perdana Menteri PNG dan Fiji, James Marape dan Sitiveni Rabuka menjadi utusan khusus ke Indonesia untuk mencari solusi persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat.
Kedua pemimpin utusan khusus MSG soal Papua Barat telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di San Francisco di sela-sela APEC pada Kamis (16/11/2023) untuk mencari solusi bagi persoalan HAM di Papua Barat tetapi dalam pertemuan itu, Presiden RI maupun kedua pemimpin MSG tidak menyinggung agenda yang akan dibicarakan.
Kantor Berita Antara menyebutkan pada Jumat pagi (17/11/2023), Presiden Jokowi menegaskan, Indonesia akan terus berkomitmen untuk mewujudkan Kawasan Pasifik yang damai, stabil, dan sejahtera.
Presiden Jokowi juga menyampaikan, selain memiliki potensi yang besar, mulai dari sumber daya alam hingga sumber daya manusia, Indonesia juga memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kompetitif.
Bagi pemerintah Indonesia lebih penting membicarakan masalah kerja sama ekonomi dan bantuan pembangunan di Pasifik, apalagi status Indonesia sudah bukan lagi negara berkembang.
Hal ini bisa terlihat dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke Port Moresby dalam pertemuan dengan PM James Marape di APEC Haus, Port Moresby Rabu (5/7/2023) menghasilkan kesepakatan penting guna meningkatkan kerja sama bilateral kedua negara.
Presiden Jokowi menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan Pasifik, termasuk Papua Nugini. Salah satu langkah konkrit yang dilakukan adalah perumusan peta jalan kerja sama pembangunan lima tahun ke depan.
“Indonesia juga akan segera memulai renovasi RS Port Moresby, membangun stasiun pemadam kebakaran, mengelola sampah di Vanimo, membangun sekolah di Wutung, dan menambah beasiswa bagi pelajar Papua Nugini,” kata Presiden Jokowi dalam konferensi pers usai pertemuan.
Kedua pemimpin juga membahas peningkatan kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Papua Nugini. Presiden Jokowi menyebutkan perdagangan kedua negara pada 2022 meningkat signifikan hingga USD 307 juta.
Bagaimana pula dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare beberapa waktu silam selalu membawa isu pelanggaran HAM di Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi belakangan ini sudah tak pernah lagi menyinggung isu tersebut.
Mengutip pina.com.fj/ melaporkan, bahwa Perdana Menteri Sogavare berkata, “Kami telah sepakat pada pertemuan MSG terakhir kami di Port Vila untuk tidak memperjuangkan kemerdekaan bagi Papua Barat. Upaya mencapai kemerdekaan di tingkat MSG secara historis telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak perlu terhadap masyarakat West Papua, karena hal ini terkait erat dengan gerakan kemerdekaan.”
Lebih lanjut Sogavare menambahkan strategi baru MSG melibatkan inisiatif dialog dengan pemerintah Indonesia. Fokusnya adalah memperlakukan masyarakat West Papua sebagai bagian dari Melanesia dan mendesak pemerintah Indonesia untuk menghormati mereka.
“Masalah kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri adalah masalah domestik yang perlu ditangani secara internal oleh West Papua. Perserikatan Bangsa-Bangsa (C-24) telah menetapkan sebuah proses yang memberikan mereka hak untuk menentukan nasib sendiri.”tambah Sogavare yang sibuk dengan persiapan pelaksanaan Pasifik Games 2023 di mana pemerintah Indonesia juga memberikan hibah pembangunan stadion futsal aula serba guna dengan hibah pembiayaan kontrak senilai US$7,5 juta.
C-24 PBB, yang dikenal sebagai Komite Khusus Dekolonisasi, didirikan pada tahun 1961 untuk menangani masalah dekolonisasi. Komite ini, yang merupakan anak perusahaan dari Majelis Umum PBB, didedikasikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemberian kemerdekaan kepada negara dan masyarakat kolonial.
Perdana Menteri Sogavare menggarisbawahi komitmen MSG terhadap pendekatan diplomatik dan dialog dengan Indonesia, yang bertujuan untuk mencapai resolusi yang penuh hormat dan inklusif terhadap masalah West Papua.
Pernyataan PM Solomon ini jelas membuat geram, pemimpin Oposisi Kepulauan Solomon Matthew Wale. Pemimpin oposisi Parlemen Solomon ini menyuarakan kekecewaannya terhadap pernyataan Perdana Menteri Manasseh Sogavare tentang hak menentukan nasib sendiri di Majelis Umum PBB (UNGA) di New York.
Sogavare saat berpidato di hadapan Majelis Umum PBB, menyatakan bahwa Kepulauan Solomon menegaskan kembali hak untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
Meskipun Kaledonia Baru dan Polinesia Prancis menjadi sorotan, Wale merasa sedih karena penderitaan Papua Barat tidak dimasukkan dalam daftar tersebut.
Pemimpin Oposisi Solomon ini mengatakan FLNKS dan orang West Papua adalah bangsa Melanesia dan keduanya menginginkan kemerdekaan.
Dia mengatakan, Papua Barat berada di bawah pemerintahan kolonial Indonesia yang skematis dan sistematis, jauh lebih buruk daripada penderitaan yang dialami Kaledonia Baru.
“Kami adalah orang Melanesia dan kami harus selalu bergandengan tangan dengan saudara-saudari kami di Papua Barat,” kata Wale.
Wale mengingatkan bahwa diplomasi dan geopolitik tidak boleh mengaburkan solidaritas terhadap masyarakat Melanesia di Papua Barat.
Pemimpin Oposisi mengatakan sangat menyedihkan bahwa Sogavare, yang dulunya adalah pendukung kuat perjuangan West Papua, telah berubah wajah.
“Perdana Menteri pernah menjadi pendukung kuat Papua Barat, seorang pemimpin yang sangat vokal menentang kekejaman hak asasi manusia bahkan di Majelis Umum PBB dan forum internasional di masa lalu,”katanya.
“Yang pasti, dia dibeli seharga 30 keping perak dan jelas-jelas telah mengubah wajahnya,” kata Wale.
Dia juga mengulangi seruannya kepada para pemimpin MSG untuk memikirkan kembali pendirian mereka terhadap West Papua.
“Perdana Menteri seharusnya mempertahankan pendirian Kepulauan Solomon di Papua Barat seperti dulu. Sogavare tidak berbeda dengan Yudas si Iskariot,” kata Wale.
Bagaimana sikap Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare setelah pelaksanaan Pasfik Games 2023 tentang masalah Papua Barat. Akankah tetap konsisten bersama dengan utusan MSG khusus untuk penyelesaian masalah HAM di Papua Barat. Atau mungkin bersama dengan PM James Marape dan PM Sitiveni Rabuka terus berjuang dan menyelesaikan masalah Papua melalui dialog dengan Indonesia.
Tak tahulah, tetapi yang jelas isu-isu Papua Merdeka lebih banyak didukung pula oleh masyarakat adat, aktivitis dan tokoh gereja serta perempuan di Pasifik ketimbang pemerintah yang berkuasa.
Apalagi bagi tokoh-tokoh politik diMSG maupun Pasifik hanya melihat isu-isu Papua Barat sebagai ajang untuk merebut suara dalampanye mereka, setiap kali Pemilihan Umum (Pemilu) ketimbang menyelesaikan persoalan mendasar di tanah Papua.
Sementara Vanuatu sendiri sibuk dengan masalah politik dalam negeri dengan beberapa kali pergantian PM. Vanuatu sendiri telah beberapa kali terkena topan dan badai sehingga lebih konsisten dalam menyampaikan isu-isu perubahan iklim bagi negara negara pulau kecil di PBB. Di samping pula Vanuatu juga sebagai negara yang konsisten mendukung perjuangan Papua Merdeka.Sebaliknya pemerintah Indonesia terus menjalin kerja sama mulai dengan kerja sama perikanan dan pelatihan bersama MSG di Ambon Maluku dan berbagai kegiatan kerja sama lainnya. (*)