Jayapura, Jubi – Memperingati Hari Pengungsi Sedunia, yang diperingati hari ini, Senin (20/6/2022), Konferensi Waligereja Papua Nugini (PNG) dan Solomon Islands merilis sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderalnya, misionaris PIME Pastor Giorgio Licini, terkait dengan berbagai aspek masalah di Papua Nugini dan kebutuhan mendesak untuk ditindaklanjuti, termasuk didalamnya para pengungsi dan pencari suaka di PNG.
“Di PNG kami berkumpul pada Hari Pengungsi Sedunia untuk mengakui para pengungsi yang tinggal di antara kami. Kami memiliki pengungsi dari West Papua yang telah tinggal di Papua Nugini selama lebih dari 30 tahun,” jelas Pastor Licini melalui pernyataannya yang diterima Jubi, Senin malam.
PNG, lanjut Pastor Licini, memiliki pencari suaka yang dibawa ke PNG dari Australia pada tahun 2013. Ada juga pengungsi dan pencari suaka dari beberapa negara lain – terutama Pakistan, Bangladesh dan Ekuador – yang datang sendiri mencari keselamatan di PNG.
Konferensi Waligereja Katolik dan berbagai keuskupan bekerja sama dengan LSM yang sejalan dan lembaga pemerintah terkait telah bekerjasama meningkatkan kesadaran publik untuk meningkatkan visibilitas situasi para pengungsi, sehingga otoritas terkait dapat mengambil tindakan manusiawi yang tepat untuk mengakhiri penderitaan para pengungsi dan pencari suaka dan memberi mereka harapan untuk kehidupan yang lebih baik yang layak didapatkan.
“Sejak 1993 hingga sekarang, sekitar 12 ribu orang Melanesia dari West Papua (Orang Asli Papua/OAP) tinggal di Papua Nugini, terutama di Distrik Ibu Kota Nasional (NCD), West Province dan Sandaun. Pada kesempatan ini saya memohon kepada Pemerintah PNG untuk mengambil langkah-langkah yang wajar dan tindakan nyata untuk memfasilitasi integrasi mereka ke dalam masyarakat kita,” kata Pastor Licini.
Ia menyoroti beberapa hambatan jangka panjang utama yang terus menghalangi integrasi orang West Papua ke dalam masyarakat PNG. Termasuk birokrasi yang memakan waktu hingga menunda pengakuan status mereka, kurangnya surat-surat identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan hibah tanah.
Di Port Moresby, ungkap Pastor Licini, lebih dari 200 keluarga asal West Papua tinggal di pemukiman liar dengan ancaman penggusuran. Bahkan, beberapa dari mereka telah lima kali diusir, berpindah-pindah tempat, hingga akhirnya diizinkan menempati sebidang tanah terlantar di Rainbow, di pinggiran Gerehu secara ilegal.
“Ini adalah kisah yang menyakitkan, sama menyakitkannya dengan mengeluarkan anak-anak dari sekolah, kehabisan makanan selama berhari-hari, dan tidur nyenyak di taman pada malam yang dingin,” sesal Pastor Licini.
Di Vanimo, 10 keluarga datang dari West Papua pada 17 November 2021. Situasi mereka membutuhkan tindakan cepat dan tegas dari pemerintah. Setelah ditolak oleh beberapa kampung karena kekhawatiran akan persaingan sumber daya lokal, mereka akhirnya diizinkan untuk menetap sementara.
“Namun, pemerintah masih bertindak sangat lambat dan orang-orang ini tetap rentan dan menghadapi risiko yang lebih besar,” lanjut Pastor Licini.
Kegagalan untuk memberikan tanah yang cukup dan pengaturan hukum telah membuat kehidupan orang West Papua menjadi sangat sulit. Selain itu, kamp pengungsi Iowara di West Province mesih belum dihubungkan lebih baik melalui jalan darat ke seluruh provinsi dan kota Kiunga. (*)
Discussion about this post