Nabire, Jubi –– Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Tengah Agustinus Anggaibak akan mendorong lahirnya peraturan mengenai kelembagaan adat dan masyarakat adat di Provinsi Papua Tengah dalam bentuk Peraturan Gubernur.
Ia akan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Kepala Kesbangpol dan Bidang Hukum Pemprov Papua Tengah, serta lembaga akademisi untuk mendorong dibuatnya rancangan peraturan tentang kelembagaan adat dan masyarakat adat tersebut.
“Kami sangat berkomitmen akan menyusun draf inisiatif rancangan peraturan tentang kelembagaan adat dan masyarakat adat di Papua Tengah dan akan mengajukan ke gubernur agar ada proteksi terhadap masyarakat adat,” katanya kepada Jubi.id usai pertemuan dengan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) terkait penyelesaian kepemimpinan Lemasa di satu hotel di Nabire, Kamis (1/7/2024).
Anggaibak mengatakan draft rancangan pergub tentang masyarakat adat yang akan didorong ke gubernur itu untuk kepentingan jangka panjang dan bukan untuk kepentingan sesaat pribadi atau kelompok.
“Untuk membuat peraturan tersebut MRP akan berkiblat kepada konsitusi dan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat,” ujarnya.
Ia menjelaskan pada konstitusi Indonesia atau UUD 1945 Pasal 18b Ayat 2 keberadaan masyarakat adat diakui. Kemudian pemerintah pusat memberikan kewenangan melalui Permendagri No 52/ 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
“Undang-undang turunan tentang masyarakat adat itu belum ada di Indonesia, tetapi kami akan perjuangkan dan kami akan mendorong peraturan tentang masyarakat adat agar lembaga-lembaga adat dapat dilindungi dan tanah adat dan masyarakat adat diproteksi, itu keduanya tidak bisa dipisahkan,” ujarnya.
Sehingga, tambahnya, MRP punya kewenangan khusus untuk mengusulkan regulasi sesuai kebutuhan daerah agar secara regulasi masyarakat adat dilindungi dan bisa beraktivitas sesuai aturan.
“Dan pemerintah juga bisa menghargai keberadaan masyarakat adat,” katanya.
Anggaibak berkomitmen mendorong penguatan lembaga-lembaga adat dalam produk hukum mengingat Papua Tengah merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam yang wilayahnya didiami dan dimiliki oleh masyarakat adat.
“Saya berharap masyarakat Papua Tengah, MRP Papua Tengah, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus melakukan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan lembaga-lembaga masyarakat adat yang berada di delapan kabupaten di Provinsi Papua Tengah, kami membutuhkan kerja sama yang baik dengan semuanya,” katanya.
Ia menyebutkan mayoritas masyarakat di Provinsi Papua Tengah adalah masyarakat adat. Entah yang bernaung di dalam sebuah lembaga maupun tidak tergabung dalam sebuah lembaga masyarakat adat.
“Tentu lembaga-lembaga adat di Papua Tengah ini ada yang berjalan mulus, tapi ada juga yang bermasalah,” ujarnya.
Sehingga, tambah Anggaibak, tugas MRP Papua Tengah sebagai lembaga kultural Orang Asli Papua mengurusnya. Di dalam MRP ada Pokja Agama, Pokja Adat, dan Pokja Perempuan yang mengurus Orang Asli Papua.
“Karena itu, perlu mendorong dan memfasilitasi lembaga-lembaga adat yang bermasalah ini agar benar-benar masyarakat adat bisa menyelamatkan adat-budaya mereka. Atau mereka melakukan proteksi manusia Papua melalui lembaga-lembaga adat yang ada,” katanya.
Amungme Kamoro harus bersatu
Menurut Anggaibak kewenangan MRP ikut mendorong agar lembaga-lembaga adat bisa bertahan dan bertumbuh. Namun sebagai langkah awal, MRP ikut membantu memfasilitasi Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) dan Lembaga Masyarakat Adat Kamoro (Lemasko) yang berjalan tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
“MRP berkomitmen mendorong agar persoalan di internal itu bisa ditata dengan baik. Persoalan masyarakat adat Mimika tentunya berhubungan langsung dengan pemerintah sehingga kami akan mengundang Pemerintah Kabupaten Mimika agar dapat menyelesaikan polemik yang dihadapi masyarakat Mimika,” ujarnya.
Ia mengatakan Lemasa dan Lemasko harus bersatu dan tidak bikin perpecahan di tubuh masyarakat adat.
“Perkumpulan-perkumpulan atau yayasan yang dilakukan oleh orang Amungme itu tidak masalah. Kami berharap agar lembaga-lembaga itu bersatu, Lemasa harus bersatu karena Lemasa itu berdiri sendiri terlepas dari lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan, karena konstitusi menjamin hal itu,” katanya.
Anggaibak meminta Pemkab Mimika dan PT Freeport Indonesia agar tidak mengintervensi dan merusak kehormatan dan harga diri orang Amungme dan Kamoro di Mimika
“Kami meminta kepada PT Freeport dan pemerintah sama-sama menyelesaikan persoalan yang dialami oleh masyarakat adat Papua di Timika, terutama Lemasa dan Lemasko harus melakukan aturan main dalam organisasi melalui musyawarah, dan musyawarah adat itu harus dilakukan oleh masyarakat adat,” katanya.
Ia berterima kasih kepada Lemasa yang telah memberikan laporan sangat lengkap kepada MRP Provinsi Papua Tengah mengenai sejarah terbentuknya Lemasa hingga perjalanan saat ini.
“Kita harus satu hati untuk menyelesaikan masyarakat adat. Selain mengundang Forkopimda Mimika untuk menyelesaikan masalah lembaga masyarakat adat Mimika. Agar anak cucu kita ke depan tidak membuat lembaga dalam lembaga yang kemudian bisa merugikan mereka nantinya,” katanya.
Menjelaskan kedudukan Lemasa
Ketua Lemasa Timika versi Musyawarah Daerah Menuel John Magal mengatakan tujuan kedatangannya beserta timnya ke Nabire untuk bertemu dengan MRP Provinsi Papua Tengah dan kepala Kesbangpol Papua Tengah untuk menjelaskan kedudukan Lemasa.
“Kami mau melaporkan tentang legal formal setiap lembaga serta sejarah berdirinya sejak 1990-an hingga saat ini, sekaligus kerja-kerjannya selama ini,” katanya.
Magal menyebutan kedudukan Lemasa dan Lemasko mempunyai legalitas hukum, di antaranya tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 18 b ayat 2 dan Permendagri No 52/2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
“Karena belum ada undang undang turunan dalam bentuk Undang-Undang Masyarakat Adat, perdasi atau perdasus, maka hal itu menjadi perjuangan kami,” katanya. “Namun perlu diketahui sebelum pemerintah ada masyarakat adat sudah ada, sehingga MRP, Kesbangpol, dan Pemerintah Provinsi Papua Tengah bisa memahami hal itu, supaya kami benar-benar punya hak-hak itu dilindungi dan diproteksi,” katanya.
Kepala Kesbangpol Provinsi Papua Tengah Lucky Ayomi yang hadir mengatakan Pemkab Mimika seharusnya bisa menengahi persoalan tersebut, sebab ada peraturan turunan tentang masyarakat adat.
“Pemerintah Timika harus dudukan semua anakanak asli Amungme dan Kamoro untuk membicarakan tentang perbedaan pandangan ini agar anak Papua jangan mengalami korban,” katanya.
Ayomi mengatakan bahwa kedudukan organisasi kemasyarakatan dan masyarakat adat itu berbeda. Organisasi kemasyarakatan harus didaftarkan ke kesbangpol.
“Namun persoalannya adalah RUU Masyarakat Adat belum disahkan, tetapi konstitusi mengakui masyarakat adat,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!