Enarotali, Jubi – Kepolisian Resort (Polres) Dogiyai, Papua Tengah menggelar razia senjata tajam atau sajam yang terdiri dari kampak, parang, pisau, busur, dan anak panah pada Senin (31/10/2022) di sekitar terminal Moenamani dan tepian kali Tukaa Moenamani, Dogiyai.
Razia tersebut mengingatkan kembali dengan tragedi tahun 2016 lalu yang menyebabkan trauma yang luar biasa di kalangan masyarakat.
Untuk itu anggota DPR Papua asal Dogiyai, Alfred Fredy Anouw, menanggapi atas razia itu. Ia menegaskan mestinya pihak aparat keamanan yang sedang sweeping di Dogiyai harus tahu tradisi yang berada di Dogiyai dari segi antropologi dan geografi. Alat-alat yang disita itu, bagai masyarakat Dogiyai adalah teman hidupnya.
“Sejak nenek moyang, ya sebelum kami ada barang-barang itu sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Jadi hendak masyarakat ke kebun atau hutan itu mereka membawa kampak, skop, parang, anak panah dan busur. Itu hal biasa, karena mereka harus ke kebun untuk bekerja atau ke hutan untuk cari kayu bakar. Bukan untuk melakukan keonaran di Dogiyai,” kata Alfred Fredy Anouw kepada Jubi melalui selulernya, Selasa (1/11/2022).
Sebagai orang asli Dogiyai, ia benar-benar memahami kebiasaan warga Dogiyai. Bahwa ketika mereka pulang dari kebun atau hutan tentu mereka akan singgah di Moenamani atau sebaliknya. Mereka bawa alat kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kasih makan anak, istri, suami, dan sanak saudara.
“Misalnya perempuan yang membawa skop tentunya ke kebun dulu baru bisa pulang ke rumah. Laki-laki yang membawa kampak atau parang mereka hendak ke hutan cari kayu bakar dulu supaya di rumah mereka bisa pasang tungku api. Jadi ini adalah tradisi mereka. Sebelum atau sesudah ke kebun dan hutan tentu mereka membawa alat kerja, tidak bisa pulang balik ke rumah. Dari terminal Moenamani ke rumah atau ke kampung bukan jaraknya dekat, tapi cukup jauh,” katanya.
Karena itu, lanjut dia, aparat kepolisian yang sedang bertugas di sana mendalami adat istiadat di Dogiyai, bahkan daerah lainnya. Sehingga menurut dia, sweeping ini sangat memalukan karena kepolisian melakukan dengan membabi buta.
“Busur dan anak panah yang dibawa oleh seorang laki-laki menunjukkan jati diri sebagai seorang laki-laki. Kalau tidak memiliki dan tidak mengenakan busur, anak panah dan koteka berarti bukan lagi jantan. Kalau saja anak panah ditahan berarti budaya suku Mee di Dogiyai dihilangkan paksa. Saya boleh ini, kepolisian justru menghina harkat dan martabat kami orang Mee di Dogiyai,” ujarnya tegas.
Ia bahkan mempernyatakan ada persoalan apa hingga bisa dilakukan sweeping oleh aparat kepolisian.
“Saya duga kepolisian justru membuat masyarakat tidak percaya lagi kepada aparat. Dogiyai lagi aman-aman tapi dilakukan sweeping, ini ada apa? Jangan memancing emosi kepada warga Dogiyai,” ucapnya.
Kapolres Dogiyai, Kompol Samuel D. Tatiratu, yang dikonfirmasi Jubi, mengatakan digelarnya razia senjata tajam untuk mengantisipasi isu yang berkembang di Dogiyai mengenai adanya rasa ketidakpuasan dari oknum sekelompok pemuda yang ingin balas dendam dan buat onar di pasar Ikebo, Distrik Kamuu sebagai bentuk ungkapan ketidaksenangan terhadap telah ditangkapnya salah seorang oknum pemuda Dogiyai yang terlibat dalam aksi pencurian dengan kekerasa (curas) dan penganiayaan kepada salah satu rekan TNI anggita Koramil Moenamani.
“Hal ini perlu dan wajib dilakukan oleh petugas Polri dan TNI sebagai bentuk upaya preventif atau pencegahan dari sebuah isu menjadi gangguan nyata. Perlu kita sadari bahwa di Kabupaten Dogiyai kejadian selalu dadakan atau spontan sehingga untuk menghindari kejadian berdampak lebih besar sudah menjadi suatu kewajiban dan keharusan bahwa harus ada tindakan pencegahan dari petugas Polri,” kata Tatiratu.
Menurut dia, dari hasil pemeriksaan lebih difokuskan kepada pembawaan alat senjata tajam berupa pisau, badik, parang atau samurai, dan alat panah.
“Jadi selama pelaksanaan razia tidak ada perlawanan dari masyarakat bahkan untuk pelaksanaan berjalan aman, lancar, dan tertib. Beberapa barang bukti yang berhasil diamankan Polres Dogiyai di antaranya dua buah pisau pendek, satu buah kampak, satu buah badik, dan satu buah katapel. Jadi pemilik barang tidak ada yang ditangkap, hanya sajamnya saja,” ucapnya.
Pihaknya akan terus dilakukan apabila ancaman-ancaman dari oknum sekelompok pemuda Dogiyai tetap terus dilakukan untuk mengganggu perputaran roda perekonomian di pasar Ikebo dan terhadap keselamatan masyarakat yang lain dan juga keamanan dan keselamatan petugas TNI-Polri.
“Saya berharap ke depan kita semua entah masyarakat, pemda, dan aparat TNI dan Polri bisa bersama-sama saling bergandengan tangan menjaga kedamaian, ketenangan, keamanan, dan keselamatan semua pihak di negeri Dogiyai tercinta ini,” katanya.
Tatiratu meminta kepada seluruh pemuda di Kabupaten Dogiyai melihat ke depan jangan biarkan selalu ada rasa ketidakpercayaan, kecurigaan, bahkan kebencian terhadap para petugas TNI-Polri.
Bahwa sesungguhnya keberadaan TNI-Polri di Kabupaten Dogiyai hanya untuk memberikan pelayanan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat sekaligus menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Dogiyai.
“Saya minta kepada adik-adik pemuda, janganlah mudah terpancing dan termakan isu provokatif. Jadilah pemuda Dogiyai yang hidupnya takut akan Tuhan dan menjauhi seluruh larangannya. Bangunlah negeri ini dengan rasa cinta dan sayang jangan ada rasa benci dan curiga,” katanya.
Ia juga mengajak kepada orangtua, sama-sama ingatkan kepada pemuda-pemudi arti penting dari keamanan, jangan biarkan generasi penerus keliru dalam mengambil tindakan.
“Kita semua cinta negeri ini, biarlah adik-adik kita dapat bersekolah dengan rasa aman dan nyaman. Biarkan mama-mama kita bisa tersenyum dengan manis bila jualan mereka bisa laku dan terjual habis. Biarlah bapa-bapa kita bisa tertawa bahagia melihat para pemuda anak-anaknya berhasil dengan usaha yang baik,” katanya. (*)