Jayapura, Jubi – Jerat Papua gelar workshop untuk mendiskusikan bentuk jaminan sosial seperti apa yang patut diberikan kepada masyarakat adat korban investasi lahan, yang digelar sejak tanggal 3-7 Maret 2024 di salah satu hotel di Kota Jayapura, Papua.
Workshop itu menjadi langkah awal bagaimana para akademisi, NGO, LSM, dan masyarakat adat memberikan masukan dan pikiran-pikirannya sebagai bagian dari upaya kolaborasi semua pihak terkait pemberian jaminan sosial bagi masyarakat adat korban investasi.
Hal itu dikatakan Koordinator Program Jerat Papua, Hans Wally di hari terakhir workshop terkait jaminan sosial bagi masyarakat adat korban kebijakan investasi lahan, di Jayapura pada Jumat (07/03/2025).

“Ini sebagai langka awal, karena masih ada lagi tidak lanjut yang akan kami lakukan dengan semua pihak, baik pemerintah, LSM, masyarakat adat, dan akademisi,” katanya.
Dirinya mewakili Jerat Papua mengapresiasi semua mitra yang berpartisipasi, baik NGO, akademisi, serta perwakilan masyarakat adat yang hadir atas sumbangan pemikiran yang baik menyangkut bagaimana sebuah jaminan yang harus diberikan negara kepada masyarakat adat yang menjadi korban dari kebijakan investasi lahan itu.
“Karena tiga hari ini sudah berdiskusi sehingga bisa mendapatkan rekomendasi-rekomendasi penting untuk ditindaklanjuti dengan duduk bersama dan berpikir apa lagi yang harus dibuat, bentuk jaminan sosial apa yang diberikan kepada masyarakat,” katanya.
Menurut Wally ada proses yang berusaha didorong pihaknya karena pengalihan lahan-lahan masyarakat adat selama ini telah membuat masyarakat jauh dari ruang hidupnya. Atas dasar itu dipandang perlu adanya mekanisme pengembalian kepada masyarakat dalam bentuk yang sewajarnya demi keberlanjutan masyarakat adat di atas tanahnya sendiri.
“Itu yang mungkin kita sama-sama lihat dan berpikir untuk duduk dan bicara apa yang menjadi hak masyarakat yang harus diperjuangkan dan harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai negara dan pembuat kebijakan untuk masyarakat adat yang ada di Papua bahkan di Indonesia,” kata Wally.
Menurut Jerat, tanah itu adalah modal, modal sosial masyarakat adat, identitas masyarakat adat, jaminan sosial dan investasi masa depan generasi mereka. Jadi ketika ada kebijakan investasi lahan yang masuk, nantin!tanah akan berpotensi hilang. Karena yang memerlukan adanya sebuah mekanisme.
Mekanisme yang sudah dibicarakan selama tiga hari ini, kemudian rekomendasi yang keluar dari para partisipan sudah sangat baik. Tetapi menurut Wally masih butuh duduk lagi bersama untuk kira-kira identifikasi jaminan sosial seperti apa yang diberikan.
“Korban-korban masyarakat seperti apa yang kita mau lihat? Mekanismenya seperti apa? Bentuk jaminan sosial yang akan kita berikan ke masyarakat adat ini bentuk jaminan sosial yang seperti apa? itu yang mungkin kita masih harus duduk lagi, jadi rekomendasi dari teman-teman tadi akan didiskusikan dengan semua pihak di forum yang lebih besar lagi dengan melibatkan pemerintah. Jadi bukan hari ini saja sampai di sini, tapi prosesnya akan terus berlanjut sampai masyarakat berhak atas seluruh kekayaan sumber daya adat yang mereka miliki,” katanya.
Dosen Administrasi Publik Fisip Uncen, Dorthea Renyaan mengatakan terkait workshop jaminan sosial terhadap korban kebijakan investasi lahan selama 3 hari ini, dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 7, menjadi satu langkah awal dalam menentukan kira-kira seperti apa jaminan sosial itu.
Sejauh ini hanya ada sebatas konsep tentang jaminan sosial yang diusulkan.
“Sehingga di 3 hari ini masih di dalam proses menganalisa. Kita melihat, kita mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi kasus dan juga kita melihat kekuatan kita, kelemahan kita, dan juga peluang seperti apa,” katanya.
Menurutnya dalam workshop itu para akademisi, masyarakat adat yang hadir saling memberikan masukan serta melihat apakah ada peluang yang bagi korban kebijakan investasi lahan itu.
Hal itu harus dipikirkan karena tanah untuk orang Papua adalah Mama yang berarti itu adalah sumber kehidupan. Sumber kehidupan yang terus diwariskan bagi anak-anaknya.
“Dimana kehidupan yang masyarakat adat Papua, mereka bertani, mereka meramu, mereka mendapatkan makanan, dan semuanya itu ada di dalam hutan tadi. Karena hutan itu sudah dipakai, untuk kepentingan bersama, sehingga kita melihat ada terjadi pergeseran. Kita melihat di mana sekarang masyarakat Papua akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa,” katanya.
Ia juga mengatakan banyak terjadi masalah tanah, “kami melihat banyak korban-korban kebijakan untuk investasi lahan tersebut. Sehingga di tiga hari ini kami melihat apakah ada peluang itu untuk jaminan sosial kepada masyarakat adat,” ujar Wally.
Dia menyebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia nomor 18 bagian B, ternyata negara Indonesia sudah mengakui masyarakat hukum adat bersama adat istiadatnya.
Ketika diturunkan lagi kembali dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 2000, lalu tahun 2001 terkait dengan Undang-Undang Otonomi Khusus. Dan setelah itu diturunkan lagi menjadi perdasi dan perdasus. Perdasus mulai dari 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 tahun 2008 yang berbicara tentang perlindungan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat itu.
“Tetapi ketika kita mempelajari perdasi dan perdasus, ternyata ada peluang yang kita lihat tinggal bagaimana kita mengidentifikasi dengan proses pemetaan. Pemetaan yang dimaksud adalah pemetaan tentang masyarakat hukum adat itu. Kenapa, Karena saat ini semua mengatakan bahwa kami ini adalah masyarakat hukum adat. Tetapi masyarakat hukum adat ini harus diakui,” katanya.
“Karena ini menjadi peluang kita untuk mendorong regulasi di tingkat kota dan kabupaten agar masyarakat hukum adat diakui dengan ada aturan ataupun SK. Berarti kedepannya kita akan mencari atau meramu menjadi satu jaminan sosial yang khusus untuk korban kebijakan investasi lahan tersebut. Sehingga hutan yang dipakai, yang digunakan, itu akan kembali kepada masyarakat hukum adat itu,”katanya
Workshop itu menurutnya adalah langkah awal untuk membuka pikiran semua pihak serta membuat kajian-kajian akademis lebih dalam lagi. Baik para akademisi, LSM, dan NGO harus mendampingi, memberikan penguatan kepada masyarakat hukum adat itu. Hari ini lebih melihat ancaman, tantangan, dan peluang. Kekuatan kita di mana? Kelemahan kita di mana? peluangnya seperti apa? dan tantangan kedepannya itu bagaimana?, Itu yang sekarang ini sedang dibicarakan.”
“Butuh kolaborasi semua pihak sehingga masyarakat adat lebih paham bagaimana investasi lahan itu. Jadi terakhir, ayo masyarakat Papua, masyarakat adat Papua, stop kita jual tanah. Tapi kita hanya memberikan izin untuk perluasan tanah itu,” katanya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!