Jayapura, Jubi – Tepat 7 Maret 1910 Kapten Infanteri FJP Sachse dari Kerajaan Belanda memproklamirkan dataran Nubai atau Numbai di Teluk Imbi (Humbold) dengan nama Hollandia. Pos pemerintahan di Pulau Debi ditutup dan dipindahkan ke Hollandia yang kemudian menjadi ibu kota tempat kediaman seorang ‘Controleur’ Pemerintah Kolonial Belanda.
Numbay yang artinya ‘Negeri Matahari Terbit’ dalam bahasa Nau O Bwau atau Kayu Pulo. Sungai Anafre yang bermuara di Teluk Humboldt atau Yos Sudarso waktu itu sangat jernih sesuai dengan namanya Anafre.
“Dulu di sekitar Kali Anafre, di pinggir Kantor Bank Papua dan gedung DPR Papua sekarang, muara Kali Anafre banyak ditumbuhi tanaman Sagu sepanjang muara Sungai Anafre,” kata antropolog Dr JR Mansoben MA kepada jubi.id di Jayapura pekan lalu.
Dia menambahkan perubahan Hollandia dulu atau sekarang yang bernama Kota Jayapura sangat besar ketika terjadi Perang Dunia II di mana tentara Jepang datang membuka pangkalan militernya.
Hal senada juga dikatakan Pdt Carlos Mano, mantan Ketua Klasis GKI Port Numbay. “Memang benar, peristiwa Perang Dunia II di wilayah Port Numbay membawa perubahan yang besar, terutama hutan dan kebun penduduk menjadi areal permukiman dan perkotaan,” ujarnya.
Mendiang Pdt Silas Chaay, warga Kajoe Pulo mengenang, saat Perang Dunia II terjadi di Hollandia, ia bersama orang tuanya mengungsi ke Kampung Ormu, sekitar 300 km arah Barat Kota Jayapura.
“Kami dayung naik perahu dari Kampung Kajoe Pulo ke Kampung Ormu untuk menyelamatkan diri,“ ujarnya.

Namun, lanjut Chaay, setelah Perang Dunia II selesai, kebun-kebun milik keluarga Silas Chaay telah berubah menjadi Kantor Bank Indonesia sekarang. Wilayah sekarang sudah menjadi Army Post Office (APO) dan kemudian menjadi kantor Kabupaten Jayapura.
Salah satu peninggalan Perang Dunia II di Kota Jayapura sampai sekarang terdapat tulang-belulang tentara Jepang di Gua Jepang atau orang Kayu Batu menyebutnya ‘Tubuara Jepang’. Gua ini letaknya tak jauh dari Kampung Kayu Batu dan berada di bibir pantai.
Tentara Jepang mulai menduduki wilayah Hollandia pada 19 April 1942. Saat itu wilayah Hollandia hanya dipimpin seorang kontroler Belanda, tanpa diperkuat angkatan bersenjata Belanda, kecuali satu detasemen Veld Polisi dan Landschaps Polisi saja.
Di pantai hanya tampak perahu-perahu penduduk dan layar khas milik klen Chaay (Hai), Sibi, Youwe, dan Soro dari Kayu Pulo. Sedangkan klen Makanway dan Toto, serta Puy dari Kayu Batu mencari ikan di Teluk Humbold.
Selanjutnya pada 6 Mei 1942, Jepang membangun pangkalan laut dengan menempatkan kapal-kapal perang di Teluk Humbold dan pada Agustus 1942 menambah pasukan marinir dengan membangun markas di Abepantai. Kini di lokasi ini tinggal tugu pendaratan Jepang di Abe pantai.
Jepang mulai menanamkan disiplin tentara kepada penduduk setempat untuk membangun jalan darat dari Hollandia, Pim, Abepura ke Sentani. Bandara pesawat tempur zero dibangun di Sentani untuk menampung sekitar 340 pesawat tempur jenis zero.
Menurut Wikipedia.org pesawat Zero adalah pesawat buatan pabrik Mitsubishi jenis A6M Zero. Pesawat ini merupakan pesawat tempur jarak jauh yang dioperasikan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dari 1940 hingga 1945. Sekutu menyebutnya ‘Zero’ sejak Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mulai memakai pesawat ini pada 1940. Nama Jepang untuk pesawat ini adalah ‘Rei-shiki kanjō sentōki’.

Arnold Mampioper dalam bukunya ‘Jayapura Ketika Perang Pasifik’ menyebutkan di pangkalan pantai dibangun jembatan-jembatan di Teluk Humboltd, Pim, dan Kota Baru Pantai. Di Hamadi, APO, dan Abe pantai dibangun gudang-gudang perbekalan makanan (logistik), amunisi, dan perlengkapan perang lainnya untuk angkatan perang Jepang, khusunya armada ke-7 dan 9 dalam Perang Pasifik.
Jumlah keseluruhan pasukan Jepang di Hollandia saat Perang Pasifik adalah 11.000 orang. Mereka di bawah komando Jenderal Masazumi Inada, Mayor Jenderal Toyizo Kitazono, dan Laksamana Muda Yoshikazu Endo dari Armada ke-9.
Sedangkan pasukan darat ditempatkan sebanyak 500 dari 11.000 personel pasukan tempur darat yang bersiaga di sepanjang jalur Depapre – Danau Sentani. Sejumlah besar pesawat Jepang Zero ditempatkan di lapangan udara dekat Hollandia pada Maret 1944.
Sekutu memperkirakan 14.000 tentara
Para perencana Sekutu Amerika Serikat telah memperkirakan pasukan Jepang di sekitar Hollandia berjumlah sekitar 14.000 tentara. Sulit untuk memperkirakan secara akurat ukuran dan komposisi pertahanan Jepang, Pendudukan tentara Jepang di Hollandia sejak April 1942 sampai 1943 adalah tahun persiapan dengan fasilitas seperlunya, selain di Papua Nugini di Vanimo guna persiapan menyerang pangkalan militer Sekutu AS di negeri Kangguru Australia.
Pangkalan udara Jepang dibangun pada akhir Maret 1944 dengan menempatkan 350 pesawat tempur jenis Zero. Mendahului pendaratan Amerika dan Sekutunya di Hollandia, pada 30 dan 31 Maret, kemudian 5, 12, dan 16 April 1944, Amerika Serikat melancarkan serangan bom dari udara dengan pesawat tempur P-51 Mustang dan P-38 Lightning (USA) dengan melepaskan bom dari udara.

Salah seorang warga Sentani dari Kampung Asei (86) Hans Robert Ohee menuturkan pagi-pagi sekali pada akhir Maret 1944 sejumlah pesawat tempur milik AS terbang di atas danau menuju lapangan terbang Sentani.
“Kami berlarian bersembunyi, beruntung banyak bom yang tidak meledak di dalam dusun-dusun sagu sehingga kami banyak yang selamat,” katanya.
Keberhasilan intelijen Sekutu menjadi dasar keputusan untuk mendarat di Hollandia. Intelijen yang memperoleh informasi dari pemecahan kode yang melindungi pesan radio Angkatan Darat Kekaisaran Jepang membuat Sekutu mengetahui bahwa wilayah Hollandia hanya dipertahankan dengan ringan, dengan pasukan Jepang terkonsentrasi di wilayah Madang-Wewak.
“Sebagai tanggapan, pada 8 Maret Jenderal Douglas MacArthur meminta persetujuan dari Kepala Staf Gabungan untuk memajukan pendaratan yang direncanakan sebelumnya di Hollandia menjadi 15 April,” demikian dikutip dari id.wikipedia.org.
Panglima tertinggi di Hollandia waktu itu langsung di bawah kordinator Jenderal Douglas Mac Arthur dengan spesial ‘Task force Alamo’, didampingi Armada ke-7 Amerika Serikat dalam operasi ‘Rocklese’ dengan 215 kapal perang di bawah pimpinan Admiral DE Barkley dan Lt Jenderal RL Eichelberger.
General Robert L Eichelberger dalam bukunya yang berjudul “Our Jungle Road to Tokyo” (1961) menulis tentang kisah penyerbuan tentara Amerika Serikat ke pertahanan Jepang di Gua Binsari yang sekarang dikenal dengan sebutan Gua Jepang di Kampung Samofa, Biak Kota.
Dalam goa itu tinggal Kolonel Naoyuki Kuzume yang memimpin 3.000 tentara Jepang. Mereka mati dan dibakar hidup-hidup oleh serangan udara akibat ratusan barel berisi bensin jatuh dari udara hingga masuk ke dalam goa-goa itu.

“Ketika kami masuk ke dalam goa itu, banyak bau mayat yang menyengat, rupanya gasoline dan gas telah bekerja dengan baik,” tulisnya.
Setelah pasukan Amerika Serikat berhasil menguasai Hollandia, tepat 22 April 1944, jenderal berusia 64 tahun, Douglas MacArthur, mendarat di Hollandia. Ia turun dengan gagahnya dari sebuah landing ship tank di pantai Hamadi. Gempuran ke Hollandia termasuk terbesar di Pasifik.
Bayangkan di Teluk Humboldt dan Youtefa lebih dari 1.000 unit segala jenis besar kecil mesin perang mendarat di tepi dua teluk yang berdampingan di depan Kota Hollandia. Terdapat pula 217 kapal perang lepas jangkar di sana. Wartawan perang menyebutkan, ketika lampu-lampu kapal menyala, tampak bagaikan ‘sebuah kota di laut’.
Tercatat lebih 4.000 tentara Jepang tewas dan 650 tertawan, sedangkan Amerika dan sekutunya kehilangan 159 prajurit.
Tugu pendaratan sekutu di Hamadi menjadi saksi sejarah dengan bertuliskan “Allied Forces Landed in April 22, 1944”. Hari itu Kota Hollandia menjadi ramai dengan 250.000 tentara, dari hanya 100.000 sebelumnya. Barak militer pun mulai dibangun dari Hamadi, Teluk Humboltd sampai markas di Ifar Gunung, markas Armada ke-7 Amerika Serikat.
Ya, sejarah Perang Pasifik telah mengubah wajah kampung di Hollandia menjadi kota, kebun-kebun warga akhirnya menjadi kantor di pusat kota Jayapura. Sementara penduduk Kota Jayapura mulai dari Kajoe Pulo, Kaju Batu, Tobati, Injros, Nafri, hingga ke Kampung Skouw Mabo, Skouw Sae, dan Skouw Yambe.
Kini mereka harus berjuang bertahan hidup di perkotaan dengan lahan tanah terbatas dan sumber air yang berkurang di tengah keberagaman penduduk Kota Jayapura. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!