Jayapura, Jubi – Pembayaran mas kawin tidak bisa dijadikan alasan penundukan seorang perempuan. Budaya di Papua itu justru memiliki nilai simbolis yang dalam.
” Mas kawin bukan untuk menjadi alasan bagi laki-laki untuk menekan seorang perempuan atau istri. Perempuan mempunyai nilai yang harus dihormati. Alkitab mengatakan perempuan itu sebagai penolong yang setia,” ujar dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Baptis Papua, Pdt Stevanus Wenda, M.Th, di Kantor Redaksi Jubi, Jalan SPG Taruna Waena, Distrik Heram Kota Jayapura pada Kamis (13/2/2025).
Dalam podcast Jubi TV yang bertajuk, ” Haruskah Cinta Terhalang Budaya Mas Kawin Papua”, Wenda mengatakan gereja berkewajiban membina umatnya agar antara budaya dan agama sejalan dan selaras.
” Dalam pandangan gereja mas kawin untuk ucapan terimakasih, karena seorang laki-laki membawa perempuan perempuan untuk hadir di tengah-tengah pihaknya. Melahirkan dan membesarkan anak. Bahkan turut membangun ekonomi keluarga,” ujarnya.
Wenda mengatakan pada umumnya di Papua, perempuan lebih banyak mencari nafkah ketimbang laki-laki.
Maka diharapkan cinta kasih terhadap seseorang perempuan harus dibangun. Pertumbuhan secara rohani musti sejalan antara kedua pihak. Mas kawin bukan segalanya. Itu bagian dari penghormatan laki-laki terhadap perempuan.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar pada jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen), Prof Dr Fredrik Sokoy mengatakan, perkawinan bukan sekadar kepentingan biologis, tapi juga bertujuan meluaskan hubungan kekerabatan. Sehingga pembayaran mas kawin sebenarnya menghubungkan dari jaringan perempuan dan laki-laki. Mas kawin adalah fungsi sosial.
” Dalam budaya Papua membayar mas kawin, membuat harga diri laki-laki semakin hebat,”
Sokoy menjelaskan kebudayaan itu tidak menghukum orang. Artinya, mas kawin bukan alat penundukan perempuan. Dia tetap berada dalam tingkatan yang harus dihormati.
” Laki-laki tidak ada alasan sedikitpun mengatakan terhadap perempuan bahwa, kamu harus ikuti kami, bahkan menghukum dia. Sebenarnya itu salah penafsiran terhadap posisi seorang perempuan, kita membayar karena kewajiban yang harus dipenuhi,” ujarnya.
Menurutnya, pembayaran mas kawin merupakan untuk mengembalikan keseimbangan. Dalam perspektif antropologis, pembayaran mas kawin menandakan menarik seorang perempuan yang bakal jadi bagian dari keluarga laki-laki.
Dia menjelaskan, mas kawin sebagai bagian dari tanggung jawab sosial, itu tidak jatuh perorangan, tapi melibatkan kolektif.”Tidak pernah ada dalam sebuah kontruksi budaya, mas kawin misalnya, pasti dibayar secara kolektif oleh marga bahkan sekampung,” katanya .
Mas kawin adalah pengganti seorang perempuan meninggalkan keluarganya untuk masuk ke dalam keluarga laki-laki.
Pembayaran mas kawin bukan untuk seorang perempuan, tetapi untuk keluarganya, hanya hal itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang perempuan.
Namun demikian, dalam semangat perubahan yang terjadi sekarang, menurutnya tidak bisa lagi pakai pola yang sama.
Dia memisalkan, semangat pemberian mas kawin yang dilakukan kolektif, bisa digunakan untuk membayar uang sekolah anak-anak papua yang sedang menimba ilmu hingga ke luar negeri sana.
“Mungkin bagian-bagian ini kita harus lihat semangat itu, kita alihkan misalnya… mari kita pakai istilah yang sama, bayar mas kawin, tapi untuk (bayar) anak-anak sekolah, mas kawin sekolah, kita pakai terminologi itu,” katanya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!