Sentani, Jubi –– Pemerintah Kabupaten Jayapura, Papua telah menyiapkan anggaran sebesar Rp27 miliar guna memperkuat penanganan dan pencegahan stunting.
Penjabat Bupati Jayapura Semuel Siriwa mengatakan anggaran sebesar itu merupakan akumulasi total anggaran dari sebagian satuan perangkat daerah di Pemkab Jayapura.
“Bersumber dari tiga mata anggaran yang tersedia, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) 2024,” ujar Semuel di Sentani, Senin (4/11/2024).
Ia menjelaskan kasus stunting di Kabupaten Jayapura pada periode Juni hingga Agustus 2024 sebanyak 1.006 bayi di bawah lima tahun (balita).
Dari hasil konvergensi stunting 2023 berdasarkan Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) tercatat angka prevalensi stunting di Kabupaten Jayapura sebesar 12,3 persen. Angka itu didapatkan setelah petugas melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan yang tidak seimbang. Angka ini meningkat dari tahun sebelum 11,7 persen.
“Untuk angka prevelensi kita masih sangat baik, karena di bawah angka prevelensi nasional 14 persen,” ujarnya.
Pemkab Jayapura, kata siriwa, akan menurunkan jumlah prevelensi stunting hingga 10 persen sebelum akhir 2024.
Ia berharap semua pihak dapat bekerja semaksimal mungkin menurunkan angka prevelensi stunting tersebut pada level terendah setelah dana yang cukup besar tersebut dikucurkan.
“Harapan terbaik kita jumlah bayi yang sehat juga akan meningkat dari waktu ke waktu untuk generasi yang unggul dari Kabupaten Jayapura,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura Khairul Lie menjelaskan jumlah prevelensi stunting pada tahun ini sedikit mengalami peningkatan dibanding 2023. Angka tersebut tersebar di 19 distrik.
Menurutnya ada banyak faktor dan kendala yang dihadapi petugas dalam melakukan pendataan serta penginputan data yang tidak 100 persen berjalan normal, karena jaringan internet yang sangat lemah.
“Hal ini tentunya terdampak juga pada jumlah bayi yang belum lahir. Karena tidak bisa diobati, langkah pencegahannya sedang berjalan sehingga tidak muncul lagi kasus baru,” ujarnya.
Faktor jaringan internet, kata Khairul, berpengaruh kepada data yang seharus dinput selesai 100 persen pada periode Juni hingga Agustus tidak berjalan mulus dan akhirnya sebagian besar di-input secara offline.
“Seharusnya tidak terjadi seperti itu, karena data dan jumlah angka nantinya berpengaruh kepada proses percepatan penanganan serta anggaran yang diperlukan,” katanya.
Menurutnya berbagai upaya sementara dilakukan, seperti pemberian tambah darah bagi remaja putri termasuk makanan tambahan bagi balita.
Khairul berharap dari 8 aksi konvergensi dan diaksi ketujuh, semua balita harus ditimbang dengan melihat data dari aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) pada Agustus 2022, 2023, 2024, untuk melihat kemungkinan kasusnya menurun atau naik.
“Lalu setelah ditimbang dengan melihat data, semua puskesmas yang terlibat membuat analisis kasus mengenai faktor determinan yang memengaruhi kejadian stunting,” katanya.
Dari hasil tersebut dilakukan sosialisasi ke semua distrik dan kampung untuk mencari solusi apa yang akan dilakukan pemerintah distrik atau kampung terkait intervensi, dari faktor determinan yang memengaruhi.
“Apakah dari faktor jamban, kekurangan gizi, atau ada faktor lain-lain,” katanya.
Substansi dari 8 Aksi Konvergensi Stunting adalah Aksi 1 Analisa Situasi Stunting, Aksi 2 Rencana Kegiatan, Aksi 3 Rembug Stunting, Aksi 4 Regulasi Tentang Stunting, Aksi 5 Pembinaan Unsur Pelaku, Aksi 6 Sistem Manajemen Data, Aksi 7 Data Cakupan Sasaran dan Publikasi Data, serta Aksi 8 Review Kerja.
Kepala Bappeda Kabupaten Jayapura Parson Horota mengatakan hal yang sama bahwa dari delapan aksi konvergensi yang ditetapkan, tujuh di antaranya sudah terlaksana di Kabupaten Jayapura melalui dinas teknis dengan dukungan berbagai pihak.
Menurutnya keluhan para petugas di lapangan terkait penginputan data sangat penting dan harus berjalan secara online, karena tidak bisa menunggu waktu yang terus berjalan.
“Yang terdata baru 50 persen bayi dan balita yang sudah ada, sementara masih ada juga bayi yang belum lahir,” ujarnya.
Ia mengatakan data menjadi penting untuk menghitung seluruh progres aksi yang sudah dilakukan. “Sebanyak 50 persen yang tersisa apakah akan bersamaan dengan kasus baru atau tidak. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!