Jayapura, Jubi – Pemerintah pusat dan DPR RI kembali dinilai mencederai semangat otonomi khusus untuk Papua. Keputusan Badan Legislatif DPR RI menyetujui terebtuknya tiga provinsi baru di Papua baru-baru ini, memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan.
Pemekaran Papua dinilai sebagai kebijakan kurang cermat. Pemerintah dan DPR didesak untuk membatalkan atau setidaknya menunda pemekaran sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi UU Otsus.
“Persetujuan pembentukan tiga provinsi baru Papua itu bagaikan petir di siang bolong. Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU. Ini mencederai semangat otonomi khusus. Seharusnya mereka cermat dan tidak terburu-buru dalam memutuskan pemekaran Papua. Dampak kebijakan ini telah melepaskan sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua. Dipangkas besar-besaran,” ungkap Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk Provinsi Papua Timotius Murib melalui keterangan tertulis yang diterima jubi, baru-baru ini .
Menurut Timotius, pesan Presiden untuk menyejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus, sayangnya diterjemahkan segelintir Menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.
“UU ini mengabaikan aturan yang ditetapkan oleh Pasal 77 UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua yang mewajibkan adanya konsultasi dengan rakyat Papua. Dalam Otonomi Khusus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP. Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” lanjut Timotius.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait menjelaskan, pembentukan tiga provinsi baru tersebut jelas tidak cermat, cacat proses, tanpa partisipasi OAP dan juga tanpa konsultasi dengan MRP yang merupakan lembaga representasi kultural OAP.
“Ini betul-betul mencederai semangat otonomi khusus. Pembuatan kebijakan sepihak sama sekali tidak mendidik publik. Justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi orang asli Papua terutama untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka.
Tiga RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” tegas Yoel. (*)
Discussion about this post