Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP pada Sabtu (12/3/2022) mengunjungi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI di Jakarta. Dalam kunjungan itu, MRP membahas berbagai pelanggaran HAM di Papua yang tak kunjung terselesaikan, dan kebijakan sepihak pemerintah pusat dan DPR RI memekarkan Provinsi Papua.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua I MRP, Yoel Luis Mulait melalui keterangan pers tertulis MRP pada Sabtu. Mulait menyatakan pihaknya juga meminta Komnas HAM memberikan pendapatnya terkait permohonan pengujian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) yang sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saat ini kami mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-undang itu dibuat tanpa pertimbangan MRP, tanpa konsultasi dan partisipasi Orang Asli Papua. Materi undang-undang itu bahkan melemahkan hak-hak Orang Asli Papua. Kami minta Komnas HAM RI memberikan pendapat di MK,” kata Mulait.
Dalam kunjungan ke Komnas HAM RI itu, Mulait juga didampingi Ketua Tim Kerja Otsus MRP, Benny Sweny serta tim hukum MRP yang diwakili Saor Siagian, Rita Kalibongso, dan Muniar Sitanggang. Pertemuan itu juga dihadiri Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan Media Communication Public Virtue Research Institute Muhammad Haikal.
Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik menjelaskan dalam waktu dekat Komnas HAM RI akan menyampaikan pendapat terkait hak-hak Orang Asli Papua (OAP) yang terlanggar akibat proses pengundangan UU Otsus Papua Baru. Menurutnya, materi pendapat resmi Komnas HAM RI itu akan dibahas dengan tim khusus.
“Kami akan bahas dengan tim khusus perihal revisi kedua UU Otsus Papua tersebut. Kami akan menimbang perlunya surat keterangan dari Komnas HAM selaku lembaga negara yang independen untuk memberikan pendapat ahli dalam perspektif HAM kepada MK. [Pendapat itu terkait] tidak dilibatkannya partisipasi Orang Asli Papua dalam pembuatan UU tersebut, dan materi yang melanggar hak-hak Orang Asli Papua dalam kerangka Otsus Papua,” kata Damanik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan proses pengundangan UU Otsus Papua Baru memang tidak melibatkan partisipasi OAP. “Jadi kami mendukung kunjungan MRP ke Komnas HAM. Kami meminta Komnas HAM agar ikut mengkaji kebijakan pemerintah pusat yang menjadi akar penyebab terlanggarnya hak Orang Asli Papua,” kata Usman.
Usman menyebut proses pembahasan UU Otsus Papua Baru itu juga menegasi peran MRP. “Revisi kedua UU Otsus [itu] menegasikan peran MRP, menghapuskan hak atas partisipasi politik lewat partai lokal, dan masih mementingkan kepastian hukum bagi pengusaha daripada Orang Asli Papua. Itu diskriminatif, inkonstitusional, dan melanggar kesepakatan politik yang tertuang di Mukadimah UU Otsus [Lama],” kata Usman.
Usman meminta Komnas HAM RI bukan cuma menyelidiki pelanggaran HAM secara konvensional, tapi juga mencari akar masalah dari berulangnya kekerasan. Salah satunya adalah inkonsistensi pemerintah pusat menjalan Otsus Papua, ditandai dengan tidak dijalankan amanat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR) dan Pengadilan HAM di Papua. (*)