Jayapura, Jubi – Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Boven Digoel atau HMPBD di Jayapura menolak Rapat Tim Teknis Komisi Penilai Amdal Provinsi Papua, yang membahas penilaian dokumen amdal rencana pembangunan kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT. PAM di Distrik Ki dan Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Rapat berlangsung di salah satu hotel di kota Jayapura, Papua pada Senin, 18 November 2024.
HMPBD mengaku telah mendatangi dan membubarkan rapat tersebut karena pembahasannya dinilai terburu-buru tanpa adanya keterlibatan masyarakat adat dan marga-marga dari Distrik Ki dan Jair di Boven Digoel sebagai pemilik hak ulayat.
Mereka juga menolak rencana pembukaan perkebunan perkebunan kelapa sawit seluas 24.679 hektare dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 90 ton TBS/Jam oleh PT. Pertiwi Agro Mandiri (PAM) di Distrik Ki dan Jair Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Kepada Jubi di Kota Jayapura, Selasa (19/11/2024), Sekretaris HMPBD Aloysius Teurop, menjelaskan bahwa pihaknya memperoleh informasi pada tanggal 18 November 2024 Pemerintah Kabupaten Boven Digoel dan perusahaan kelapa sawit bersama Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL Daerah, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua sedang membahas AMDAL di salah satu hotel di Kota Jayapura, Papua.
Setelah mendengar informasi itu Teurop mengatakan sejumlah mahasiswa dan senior mahasiswa datang ke lokasi dan membubarkan rapat pembahasan AMDAL itu. Mereka menilai pembahasan itu terburu-buru tanpa adanya keterlibatan masyarakat adat dan marga-marga dari Distrik Ki dan Jair di Boven Digoel sebagai pemilik hak ulayat.
“Kami mendatangi tempat pertemuan dan meminta diakhiri segala proses AMDAL yang dilakukan oleh komisi penilai AMDAL Provinsi Papua. Dan didalamnya itu ada komposisi dari Provinsi Papua Selatan dan Kabupaten Boven Digoel. Disitu juga ada PTSP [Pelayanan Terpadu Satu Pintu], Dinas Perkebunan dan dinas lainnya,” kata Aloysius Teurop, di Kota Jayapura, Papua, Selasa (19/11/2024).
Teurop mengatakan, masyarakat adat di kedua distrik itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang terkait perusahaan dengan diiming-imingi uang maupun janji manis seperti bantuan ekonomi. Ditengah keterbatasan sumber daya manusia dan pengetahuan serta ketergantungan ekonomi masyarakat adat, pihak perusahaan itu masuk mendekati setiap marga-marga dengan iming-iming tersebut.
“Pihak perusahan ini masuk tanpa melalui proses yang benar, mereka manfaatkan keterbatasan pengetahuan, masyarakat dikelabui dengan iming-iming tidak jelas. Ada semacam rekayasa yang dilakukan pihak perusahaan bahwa uang tali asih itu diberikan dengan disuruh tanda tangan tapi yang ditandatangani adalah soal lahan,” katanya.
Sekretaris HMPBD itu menyatakan bahwa pihaknya menolak segala macam bentuk investasi perkebunan kelapa sawit di atas Kabupaten Boven Digoel yang meliputi lima suku besar yaitu suku Muyu, Mandobo, Awyu, Kombae, dan Korowai. Karena menurutnya perusahaan kelapa sawit tidak memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat adat, dan hal itu sudah terbukti berdasarkan pengalaman dari berbagai perusahaan yang pernah ada dan tidak pernah memberikan dampak positif.
“Tidak ada kesejahteraan yang diberikan perusahan kepada orang Papua, tidak ada. Malah lingkungan kami rusak, hancur, hutan kami habis, flora dan fauna punah, tempat cari makan masyarakat lokal sudah tidak ada, padahal masyarakat itu hidup dari hutan. Hutan habis itu sumber oksigen tipis hingga terjadi pemanasan global,” ujarnya.
Mahasiswa dari suku Awyu, Paskalis Akean, menambahkan bahwa para mahasiswa asal Kabupaten Boven Digoel di Jayapura ini khawatir terhadap berbagai perusahaan perkebunan yang akan masuk atau beroperasi di Kabupaten Boven Digoel. Khususnya terhadap pembahasan AMDAL dari PT. PAM untuk beroperasi di Distrik Ki dan Jair, Akean meminta agar dihentikan. Ia menolak segala bentuk investasi perkebunan, termasuk kelapa sawit, di atas tanah adat hak ulayat Suku Awyu.
“Menolak proses AMDAL yang sedang dilakukan dan meminta Komisi Penilai AMDAL Daerah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua untuk menghentikan kegiatan proses AMDAL yang sedang dilakukan,” kata Akean.
Akean yakin, berdasarkan pengalaman hadirnya perusahaan sawit di Boven Digoel, seperti PT Korindo, telah terbukti tidak mensejahterahkan pemilik tanah, yaitu masyarakat suku asli setempat. Perkebunan kelapa sawit telah merusak hutan yang berdapak pada permanasan global, ujarnya.
“Perusahaan telah merusak sungai -sungai kecil dan besar sebagai tempat mencari makan, dan penghidupan, merusak tempat-tempat sakral atau keramat, menghilangkan budaya, tradisi, menghilangkan tumbu-tumbuhan dan hewan endemik, memarginalkan orang asli suku setempat, yang pada intinya tidak ada manfaat positif secara berkelanjutan dari perkebunan kelapa sawit di atas tanah kelima suku besar di Boven Digoel,” tegasnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!