Jayapura, Jubi – Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Filep Wamafma menyatakan investasi yang digencarkan pemerintah pusat di Papua merusak hutan alam di Papua. Menurut Wamafma, masyarakat adat di Tanah Papua menghendaki untuk mengelola sendiri hutan mereka, demi kelestarian dan keberlanjutan hutan adat.
Hal itu disampaikan Wamafma dalam diskusi dan diseminasi laporan riset “Kutukan Sumber Daya Alam di Tanah Papua” yang diselenggarakan secara daring oleh Greenpeace dan Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF, Senin (19/12/2022).
Wamafma menyatakan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) secara tidak langsung memangkas kewenangan Otonomi Khusus Papua, misalnya dalam hal investasi. Ia menyatakan kini kebijakan Otonomi Khusus Papua nyatanya tidak secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Kewenangan investasi menjadi ruang dari pemerintah pusat. Itu jadi persoalan baru. Terjadi benturan antara komitmen kita melaksanakan amanat Otonomi Khusus Papua dan komitmen UU Cipta Kerja,” katanya.
Wamafma menyatakan masyarakat adat memiliki pengetahuan yang sederhana bahwa hutan dalam pemberi kehidupan. Akan tetapi, Wamafma menilai kebijakan pemerintah pusat tidak melindungi masyarakat adat dan hutannya, dan lebih condong melindungi kepentingan investasi.
“Tetapi, kalau [pikiran] investor, alam itu memberikan kekayaan yang besar, memberikan sumber pendapatan yang tinggi, alam mendatangkan investasi yang besar. Terbentuklah pertentangan kepentingan antara kepentingan investor dan masyarakat adat. Sejauh pengamatan saya, pemerintah condong ke kepentingan investasi. Saya berkegiatan dengan masyarakat. Jujur saja, tidak ada dampak signifikan dari investasi bagi kesejahteraan ekonomi, pekerjaan, [atau] kesehatan. Sama sekali kami lihat tidak ada [dampak positif dari] kehadiran investasi,” ujarnya
Wamafma menyatakan investasi justru menyebabkan kerusakan hutan alam atau lingkungan, membuat masyarakat kehilangan wilayah adat dan kehilangan warisan budaya. Ia berharap pemerintah melalui kehadiran penanaman modal harus memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi orang Papua, apalagi dengan kehadiran Otonomi Khusus Papua.
“Hari-hari ini kan ilegal mining tumbuh subur di daerah konservasi, khususnya di Manokwari. Kita coba telusuri, kenapa begitu masif, dan [kenapa penegakan hukum] kasus ini tidak mampu menyentuh pemodal. Yang dapat sentuh [atau ditangkap] orang yang bekerja di lapangan. Saya bertemu dengan beberapa masyarakat, [mereka bertanya] tentang hutan yang disewakan, tanah yang dijual belikan, disertifikatkan tanpa sepengetahuan masyarakat. Bagi saya, ada mafia, mafia-mafia mendulang [kekayaan melalui] investasi di Papua” katanya.
Arkilaus Kladit dari Dewan Adat Knasaimos, Sorong Selatan menyatakan kehadiran investasi dalam bentuk perkebunan kelapa sawit tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Ia menyatakan perkebunan kelapa sawit membuat masyarakat adat hanya sebatas dijadikan sebagai buruh atau karyawan.
Kladit menyatakan masyarakat adat tidak menolak program nasional pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, Kladit menyatakan masyarakat adat ingin mengelola sendiri hutannya agar tidak rusak.
“Pikiran kami bukan menolak program nasional. Pikiran dasar [kami], hutan itu kami sendiri yang kelola. Kami punya prinsip bukan menolak sawit, tetapi menahan lahan kami, hutan kami. Jelas bahwa hutan nafas kehidupan masyarakat adat. Kami punya moto, ‘ada hutan, masyarakat hidup Tanpa hutan, kita tidak akan hidup’. Segala aktivitas makan dan minum dari hutan itu” ujarnya. (*)