Wamena, Jubi – Selama 52 tahun, empat kelompok tani di Distrik Piramid, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, terus berusaha memproduksi beras meskipun menghadapi berbagai kendala. Hingga saat ini, mereka mengaku kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Mantan Ketua Petani Padi Distrik Piramid tahun 1982, Gayus Wenda, menceritakan bahwa pada masa kepemimpinannya, mereka pernah meminta bantuan kepada pemerintah, namun tidak pernah mendapatkan tanggapan.
“Kami, empat kelompok petani padi, dulu mengumpulkan uang untuk membeli mesin penggiling padi sendiri. Uang tersebut kami serahkan kepada seorang misionaris asal Jerman yang saat itu bertugas di kampung kami, dan misionaris itu membantu kami membeli mesin yang kami butuhkan,” ujar Gayus Wenda.
Mesin tersebut digunakan secara bersama-sama, namun saat rusak, mereka tidak bisa memperbaikinya karena tidak ada yang mengetahui cara memperbaikinya.
Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Padi Morageme Lestari, Habema Wenda, menambahkan bahwa masalah utama yang dihadapi petani di Distrik Piramid adalah kekurangan alat penunjang, baik untuk penggarapan sawah maupun saat masa panen.
“Sudah sering kami ajukan proposal bantuan alat kepada pemerintah, baik kabupaten maupun provinsi, tapi sampai hari ini tidak ada respon. Kami membutuhkan mesin penggiling padi, mesin babat rumput, mesin perontok padi, gudang penyimpanan beras, serta perbaikan irigasi. Selain itu, mungkin Dinas Pariwisata bisa membantu untuk menyediakan pondok istirahat bagi para petani,” jelasnya.
Habema juga menjelaskan bahwa ia dan para pemuda di Distrik Piramid merupakan generasi ketiga yang mengelola sawah tersebut.
“Kolam sawah ini dibangun secara manual oleh para pendahulu kami menggunakan skop, dan ukuran kolam juga tidak sesuai dengan standar nasional,” tambahnya.
Para petani di Distrik Piramid juga menghadapi kesulitan dalam memasarkan hasil panen. Mereka biasanya menjual beras ke kios-kios di kampung, karena jika dijual langsung ke pasar, sering tidak laku. Ketika mendesak, mereka menjualnya kepada pedagang luar Papua sebanyak 50 kilogram dengan harga Rp1,75 juta.
“Biaya pengeluaran kami juga besar. Untuk transportasi, per orang biayanya Rp100 ribu (pulang-pergi), dan di tempat penggilingan, kami membayar dengan sistem potong hasil. Misalnya, dari 50 kilogram beras, dipotong 10 kilogram untuk biaya penggilingan,” ungkap Habema.
Akhir bulan ini, mereka akan memanen padi dari lahan seluas 12 hektar, namun masih bingung mengenai kendala mesin penggiling dan pemasaran hasil panen.
Josep Tabuni, Ketua Kelompok Petani Padi Tibigai di Kampung Yumbun, juga mengeluhkan hal yang sama. Ia mulai menanam padi sejak tahun 1977 dan sering mengalami kerugian saat harus menggiling padi di kota karena sering dicuri.
Masalah irigasi juga menjadi tantangan berat bagi para petani, terutama saat musim hujan. Debit air yang tinggi menyebabkan kolam padi dan ikan terendam, dan ikan-ikan hanyut ke Sungai Baliem.
“Kami memiliki tiga mata air yang tidak pernah berhenti mengalir. Ketika banjir, ikan-ikan di kolam hanyut dan tanaman padi terendam,” jelas Rocki Wenda, pembina Kelompok Persawahan dan Pertanian Tibigai.
Para petani membudidayakan empat jenis ikan, yaitu ikan mas, ikan mujair, ikan lele jumbo, dan lele biasa. Namun, pemasaran ikan juga sulit karena mereka tidak memiliki tempat penyimpanan yang memadai untuk menjaga ikan tetap hidup saat diangkut ke pasar Wamena.
“Di pasar, harga ikan yang seharusnya Rp200 ribu per ikat bisa turun menjadi Rp50 ribu karena kondisinya kurang baik,” tutup Rocki. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!