Merauke, Jubi – Memeriahkan hari jadi ke-121 Kota Merauke, Pemerintah Kabupaten Merauke, Papua Selatan menggelar lomba dayung tradisional. Lomba ini dipusatkan di lokasi pemancingan Gudang Arang, Kelurahan Kamahedoga, Distrik Merauke, Rabu (01/02/2023).
Lomba dayung tradisional ini diikuti oleh kurang lebih 50 peserta putra dan 40 putri dengan menempuh jarak dayung sepanjang 40-50 meter setiap racenya.
Ketua seksi lomba dan pertandingan panitia HUT Kota Merauke, Markus Mahyoni mengatakan lomba dayung tradisional dibagi dalam dua kelas yakni lomba dayung berdiri untuk putera dan lomba dayung duduk untuk puteri.
“Kami panitia menyediakan hadiah dalam bentuk uang pembinaan kepada peserta yang lolos sebagai juara sehingga itu menjadi motivasi bagi mereka untuk terus berlatih ke depannya,” kata Markus Mahyoni, siang tadi.
Mahyoni menjelaskan, lomba dayung tradisional digelar selain untuk memeriahkan hari jadi ke 121 Kota Merauke, juga menjadi ajang pelestarian budaya Papua Selatan yang hampir punah digerus zaman.
“Lomba dayung ini kita adakan untuk masyarakat dan kita mengangkat budaya tradisional daerah ini. Puji Tuhan antusias masyarakat Merauke sangat luar biasa mengikuti dan menyaksikan lomba dayung tradisional ini,” ungkapnya.
Tokoh masyarakat dan pemuda Gudang Arang, Emanuel Buyuka mengaku bangga atas penyelenggaraan lomba dayung tradisional. Dia mengapresiasi pemerintah setempat karena telah menggelar lomba dayung tradisional Papua di HUT Kota Merauke. Menurut dia itu sebagai ajang penggalian budaya daerah.
“Kami merasa bangga sebagai orang Papua, untuk kami punya budaya bisa dikembangkan luas. Karena itu kami berterima kasih kepada pemerintah kabupaten yang telah mengangkat ini,” ungkap Emanuel Buyuka.
Menurut Buyuka, lomba dayung tradisional di wilayah Papua Selatan ada dua versi, yakni lomba dayung berdiri satu kaki (tiga orang) dan dayung duduk empat orang. Masing-masing suku di wilayah Papua Selatan memiliki karakter lomba dayung tersendiri.
“Cuma kami mau sampaikan ke pemerintah daerah bahwa masing-masing daerah macam kami dari Kimaam, Marind dan Asmat datang dengan armadanya sendiri-sendiri. Ada dayung duduk, berdiri. Ke depan, kami harapkan panitia dan masyarakat harus duduk bersama-sama, sehingga ada masukan juga dari masyarakat untuk perlombaan ke depannya,” kata dia.
“Kami mengapresiasi pemerintah daerah yang sudah mau menggali kami punya budaya. Selain dayung juga ada panah tradisional. Sebagai masyarakat kami merasa bangga karena ini menjadi budaya warisan leluhur kami,” tutupnya. (*)
