Merauke, Jubi – Petani di Kampung Salor, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua mengeluh karena mereka mendapatkan jatah bahan bakar minyak (BBM) subsidi hanya 25 liter per bulan. Jumlah tersebut tidak cukup bagi petani yang menggarap lahan dengan menggunakan alat mesin pertanian.
Satu di antara petani Salor, Rahmat mengungkapkan bahwa belakangan ini para petani di sana juga merasakan kelangkaan bahan bakar minyak. Selain sulit mendapatkan solar dan pertalite, jatah pembelian BBM di Agen Premium Minyak dan Solar (APMS) setempat juga dibatasi, hanya 25 liter per bulan.
“Kelangkaan BBM ini tidak hanya dirasakan pengendara, dan juga tidak hanya di kota Merauke saja. Kami petani yang di kampung dan distrik juga merasakan persoalan yang sama,” kata Rahmat kepada Jubi, Jumat (26/8/2022).
Dengan adanya pembatasan pembelian bahan bakar minyak tersebut, Rahmat merasa kesulitan mengolah lahan sawahnya. Pasalnya, 25 liter bahan bakar bio solar tidak cukup untuk mengoperasikan alat mesin pertanian di lahan seluas tiga hektar.
“Sekarang ini kita hanya boleh beli sekali dalam sebulan, itupun dibatasi hanya 25 liter saja baik solar maupun pertalite. Khusus petani pembelian diizinkan dengan menggunakan jerigen,” tuturnya.
Rahmat mengatakan dengan adanya pembatasan tersebut, petani di sana “menjerit” karena jumlah BBM yang dialokasikan BBM tidak cukup. Rata-rata para petani setempat mengolah 2 hingga 3 hektare sawah.
“Untuk satu hektar saja, kami membutuhkan paling tidak 50 liter solar. Bagaimana mau garap dengan baik kalau bahan bakar saja dibatasi. Ini juga tentu akan berpengaruh terhadap produktivitas” tutupnya.
Petani lainnya, Udin menyatakan untuk membeli BBM subsidi di APMS di Salor mereka harus membawa serta surat rekomendasi dari kepala kampung setempat. Anehnya menurut dia, untuk mendapatkan solar, mereka diwajibkan juga membeli 1 liter dexlite. Begitu juga ketika membeli pertalite, petani diwajibkan membeli 1 liter pertamax.
“Aneh menurut kita. Itu (syarat membeli solar dan pertalite) diharuskan. Di APMS Tanah Tinggi itu, jika kita juga tidak beli pertamax atau dexlite, kita tidak bisa dapat (beli) solar atau pertalite,” ungkapnya.
Udin juga menyesalkan adanya pembatasan untuk pembelian BBM subsidi di sana. Juga menyesalkan adanya syarat pembelian solar dan pertalite di APMS setempat. Kehadiran APMS tersebut seharusnya bisa membantu dan memenuhi kebutuhan bahan bakar di sektor pertanian.
“Kan adanya APMS di situ atas dasar persetujuan petani, lantas kenapa sekarang kita mau beli dibatasi. Terus juga ada persyaratan segala macam,” celetuknya.
Ia menambahkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan, petani setempat terpaksa membeli solar di kios pengecer dengan harga yang relatif lebih tinggi.
“Kalau beli di kios mau beli banyak juga dikasih, tapi harganya cukup mahal 8.000 per liter,” tutupnya.(*)