Sentani, Jubi – Sejumlah pihak menolak rencana pembagian tempat berjualan di bangunan semi permanen yang dibangun pasca kebakaran Pasar Baru Sentani dengan cara diundi atau dilotre. Para pedagang yang terdampak kebakaran Pasar Baru berharap bisa kembali menempati tempat lama mereka dan segera berjualan.
Penolakan rencana pengundian tempat berjualan di bangunan semi permanen itu antara lain dinyatakan tokoh masyarakat adat di Sentani, Frits Maurits Felle. “Penempatan tempat atau kios [harus dikhususkan] bagi pedagang yang menjadi korban kebakaran, tidak boleh diundi,” ujar Felle di Sentani, Sabtu (4/2/2023).
Pembangunan tempat berjualan semi permanen itu dilakukan setelah Pasar Baru di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, terbakar pada 6 Januari 2023. Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jayapura telah membangun tujuh bangunan semi permanen yang akan dibagi menjadi kios dan lapak berjualan berukuran 3 x 3 meter persegi.
Felle menilai proses pembangunan bangunan semi permanen di Pasar Baru Sentani itu bagus. Akan tetapi, ia mempertanyakan data pedagang terdampak kebakaran Pasar Baru Sentani yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Jayapura. Ia juga mengingatkan kapasitas bangunan semi permanen itu lebih kecil dibandingkan jumlah pedagang yang terdampak.
Menurutnya, data para pedagang yang menjadi korban kebakaran Pasar Baru telah dikumpulkan Dinas Sosial dan Diperindag Kabupaten Jayapura berdasarkan dokumen kependudukan dan jenis dagangan masing-masing pedagang. Akan tetapi, data yang diterbitkan Disperindag Kabupaten Jayapura dinilai Felle tidak lengkap.
“Daftar nama pedagang yang dikeluarkan Disperindag belum mengakomodir sebagian besar pedagang yang menjadi korban kebakaran. Itu ada apa?” Felle bertanya.
Felle menyatakan para pedagang yang menjadi korban kebakaran itu bukan pedagang yang baru masuk berjualan di Pasar Baru Sentani. “Ada 428 pedagang yang terdata menjadi korban, itu data yang jelas. Pedagangnya setiap hari ada di Pasar Baru. Bangunan yang baru terbangun itu belum cukup [untuk menampung semua] korban. Bangunan baru itu hanya [bisa menampung sekitar] 200 pedagang,” katanya.
Felle berharap tidak ada pungutan liar terhadap para pedagang yang menempati bangunan semi permanen Pasar Baru Sentani. Ia menyatakan tidak boleh ada pungutan liar yang mengatasnamakan masyarakat adat.
“Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pasar itu menjadi tempat yang seksi bagi oknum-oknum yang suka mencari keuntungan pribadi melalui kesusahan orang lain,” katanya.
Salah satu pedagang, Wa Alina yang biasa berjualan baju impor atau pakaian cakar bongkar mengaku sangat kesal dengan Disperindag Kabupaten Jayapura yang dinilainya mengabaikan berbagai masukan para pedagang Pasar Baru. Menurutnya, ada ratusan pedagang yang sejak awal secara sukarela membangun lagi tempat mereka berjualan.
Akan tetapi, Disperindag justru akan mengundi setiap tempat berjualan semi permanen di Pasar Baru Sentani. “Kembalikan kami di tempat semula [kami berjualan], seperti waktu pasar ini belum terbakar. Dengan sistem lotre, otomatis tempat kami [berjualan] berubah, dan dampaknya sangat tidak menguntungkan kami sebagai pedagang. Pelanggan kami akan kebingungan dan berpindah ke tempat lain,” ujarnya. (*)