Sentani, Jubi – Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, menyampaikan telah bertemu dengan masyarakat adat pemilik hak ulayat dari Nimboran, Namblong, Kemtuk dan sebagian masyarakat dari Lembah Grime Nawa yang mendukung adanya perkebunan sawit di daerah mereka.
Mathius mengatakan bahwa pihaknya juga telah bertemu dengan komponen masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dari wilayah yang sama, tetapi yang menolak adanya perkebunan sawit, termasuk melakukan pertemuan dengan berbagai pihak dari LSM, akademisi Uncen, dan lembaga terkait yang nantinya akan membentuk sebuah tim guna mengkaji persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat.
“Tim yang terbentuk, nanti akan mengecek kembali semua prosedur dan tahapan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Apakah telah sesuai aturan atau tidak,” ujarnya, di kantor bupati, Sentani, Jumat (22/4/2022).
Menurut Awoitauw, dalam pertemuan tersebut sudah disampaikan bahwa semua aktivitas perusahaan harus berhenti, sebab semua surat izin usaha perusahaan sawit telah dicabut oleh presiden. Selain itu, pemerintah daerah melalui Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) sedang memetakan wilayah adat.
“Ketika proses pemetaan selesai dan sertifikat komunalnya sudah ada, maka yang pantas berbicara di atas hak ulayat adalah masyarakat yang memiliki sertifikat komunal tersebut, tidak bisa semua orang harus berteriak hak ulayat,” katanya.
Dikatakan, kejelasan hak ulayat dengan adanya sertifikat komunal tersebut, pemilik hak ulayat berhak untuk melakukan bisnis atas tanahnya sendiri, bisnis ini bukan berarti tanah harus dijual. Ketika bisnis berjalan otomatis harga tanah akan meningkat, perhitungannya nanti dilakukan tim appraisal yang langsung turun, guna menghitung harga nominal tanah.
“Hal ini saya sampaikan kepada masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat, yang tadi bertemu dan semua sepakat terhadap apa yang baru saya sampaikan, nanti pihak perusahaan akan kami panggil,” ucapnya.
Sementara itu, Daniel Tecuari, tokoh masyarakat adat Namblong mengatakan, saat ini pembongkaran lahan oleh perusahaan sawit seluas 8.000 hektare. Hal itu sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat adat, satwa endemik dan tempat mencari nafkah bagi masyarakat adat khususnya Suku Tecuari, Benef, dan Waisimon.
“Hutan kami berada tepat di tengah-tengah hutan masyarakat adat lain, yang sudah dibongkar menjadi hutan atau kebun sawit. Sebelah utara hutan ada laut, sebelah selatan menuju pegunungan dan bagian timur ada hak ulayat masyarakat Yapsi dan Lereh, yang sebagian besarnya sudah menjadi hutan sawit. Kami tidak mau hutan kami menjadi hutan sawit,” ucapnya. (*)
Discussion about this post