Sentani, Jubi – Masyarakat adat di sekitar Danau Sentani menghadapi berbagai tantangan akibat pencemaran danau yang disebabkan limbah tambang, sampah perkotaan seperti sisa makanan yang dihasilkan oleh warung makan, sampah rumah tangga, hingga limbah bengkel dan pabrik pembuatan makanan cepat saji. Semua sampah terbawa arus sungai dan bermuara ke Danau Sentani, hal ini terjadi dari hari ke hari dan setiap hari.
Pada satu waktu, Korlinus Ohee, salah satu tokoh masyarakat adat di wilayah Sentani Timur, mendayung sampan miliknya dari Kampung Asei Pulau, salah satu pulau di Danau Sentani di Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, menuju Dermaga Khalkote di daratan Kabupaten Jayapura. Sekitar 500 meter dari dermaga itu, Korlinus mendapati begitu banyak sampah di Danau Sentani.
“Kampung kami dengan daratan [Dermaga Khalkote] tidak begitu jauh. [Jika kita] menggunakan perahu, saat pagi hari ada tumpukan sampah, baik di permukaan danau maupun di dalam air yang terbawa arus,” ujar Kori sapaan akrabnya saat ditemui di Sentani, Jumat (17/10/2025).

Kori menuturkan banyaknya sampah di perairan Danau Sentani sudah terjadi sejak lama. Sampah di Danau Sentani itu sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat adat Phuyakbhu yang tinggal di atas perairan, di sejumlah pulau dalam danau, dan di tepian Danau Sentani.
Ada 14 sungai besar yang berhulu di Pegunungan Cycloop dan bermuara di Danau Sentani. Aliran sungai tersebut juga melewati pemukiman warga, membawa berbagai jenis sampah ke danau itu, dan mengendapkan sampah-sampah itu di perairan Danau Sentani.
Secara alamiah, Danau Sentani memiliki satu “pintu keluar” airnya, yaitu Kali Jaifuri di Kampung Adat Yokiwa, Distrik Sentani Timur. Sungai itu berhulu di Danau Sentani, dan mengalirkan air danau itu ke Kampung Skosai, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua. Keberadaan 14 “pintu masuk air” dan satu “pintu keluar air” itu dipercayai telah mengatur seluruh ritme ekosistem di dalam Danau Sentani.
Akan tetapi, kini 14 “pintu masuk air” tidak hanya membawa air segar Pegunungan Cycloop, namun juga sampah. “Ada dampak negatif yang dirasakan, hilangnya ekosistem di dalam Danau Sentani, [juga hilangnya biota] seperti hewan dan tumbuhan endemik,” ujar Kori.
Ada berbagai upaya
Sebagai masyarakat adat, Korlinus Ohee mengakui ada berbagai upaya yang dikerjakan oleh masyarakat adat untuk terus hidup dan bertahan bersama kondisi air Danau Sentani saat ini. Kerusakan lingkungan dan pencemaran air danau dapat mengancam kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam danau untuk mencari ikan dan melakukan aktivitas lainnya.
Menurut Kori, kerusakan budaya akibat pencemaran danau dapat mengancam budaya dan tradisi masyarakat adat Phuyakbhu yang sangat bertaut dengan keberadaan Danau Sentani. Ada banyak ritual dan upacara adat yang sudah ada secara turun temurun. Air danau menghidupi masyarakat adat Phuyakbhu yang berdiam di atas perairan danau atau di pulau-pulau dalam Danau Sentani.
Kini, masyarakat adat Phuyakbhu mengandalkan air dari pegunungan atau dari darat. Masyarakat di sejumlah pulau yang ada di Danau Sentani juga terpaksa menggunakan air kemasan galon sebagai air minum setiap harinya.
“Bhukere salah satunya, bagaimana masyarakat adat di Wilayah Phuyakbhu [atau Wilayah Adat Sentani] memastikan jati dirinya sebagai lumbung atau tempat makan ikan,” ujarnya.
Kori Ohee yang juga penggiat seni dan budaya dari wilayah timur Danau Sentani itu ingin memastikan seluruh komunitas masyarakat adat tetap bertahan dan menjaga seluruh kearifan lokal mereka. Ia juga ingin memastikan potensi sumber daya Danau Sentani terjaga.
Bagi Kori, Tuhan Sang Pencipta Alam dan semesta telah meletakkan seluruh kapasitas dan kemampuan setiap masyarakat adat untuk terus bertanggung jawab atas kehidupan mereka masing-masing. Ketika masyarakat adat diperhadapkan dengan kondisi alamnya yang berubah, ada banyak jalan yang bisa dipergunakan untuk mengembalikan, membersihkan, serta menormalisasikan kembali fungsi Danau Sentani seperti semula.
“Masyarakat adat memiliki potensi lain yang bisa digunakan sebagai sumber pendapatan. Seni budaya, pariwisata, ekonomi kreatif, serta festival budaya,” kata Kori.
Dia juga berharap agar komunitas masyarakat Nusantara (sebutan bagi orang non-Papua yang merantau di Tanah Papua) yang menetap di Kota dan Kabupaten Jayapura tidak membuang sampah ke sungai. Bagi Kori, sekalipun masyarakat adat di Danau Sentani mempercayai bahwa ekosistem Pegunungan Cycloop dan Danau Sentani memiliki kemampuan alam untuk memulihkan ekosistemnya, namun pembuangan sampah, aktivitas tambang, maupun pembalakan hutan bisa merusak tatanan kehidupan manusia.
Masyarakat adat Phuyakbhu meyakini Gunung Cycloop dan Danau Sentani adalah dua mahakarya alam yang besar, dua benda bentang alam yang saling berkaitan dan berdampingan dengan masyarakat adat. “Masyarakat adat, pemuda, dan seluruh komunitas harus bersama-sama bekerja keras melindungi hutan dan danau. Kita tidak bisa hanya mengeluh dan berpangku tangan mengharapkan bantuan dari luar. Kita sendiri yang harus mengerjakan semuanya,” ujar Kori Ohee.

Menangkal pencemaran
Guru besar ilmu antropologi Universitas Cenderawasih, Fredrik Sokoy menjelaskan bahwa secara kultural masyarakat adat Phuyakha memiliki indikator untuk mengukur kesehatan air. Indikasi pencemaran air Danau Sentani bisa dilihat dari banyaknya ikan membusuk yang terapung secara massal di permukaan air danau. Sebaran sampah di berbagai sudut, tepian, atau muara sungai, juga menjadi tanda awal terjadinya kecemaran.
Kecemaran bisa saja datang karena sejumlah pelanggaran adat, misalnya pelanggaran pantangan mengambil hasil danau dari kawasan tertentu yang ditutup dengan sasi (tradisi menutup suatu kawasan tertentu dari pengambilan sumber daya alam dalam jangka waktu yang tertentu). Jika suatu kawasan yang ditutup dengan sasi secara sengaja dilanggar oleh orang tertentu, ondofolo (pemangku ulayat) bisa memerintahkan pemilik “magi” atau kekuatan sihir (biasanya dimiliki klan yang berperan menjaga dan memelihara ikan dan air, buyo–khayo atau kayo–heuyo) untuk membuat magi yang mematikan segala bentuk ikan dalam jumlah besar. Magi itu juga bisa mematikan lumut, dan menimbulkan kekeringan di suatu wilayah.
“Praktik seperti ini masih dilakukan, dan hanya klan yang bersangkutan saja yang mengembalikan kesehatan air normal kembali, [memulihkan] banyaknya ikan dan sumber daya bawah air lainya,” kata Sokoy.
Dalam konteks kekinian, klan yang memiliki magi sering disebut sebagai “penjaga air dan ikan”. Klan itu dapat diberi tugas tambahan untuk menjaga dan merawat air serta segala isinya.
Beberapa titik tertentu, seperti kawasan Yoka ke arah pinggiran menuju Kampung Lama Waena, serta daerah Jembatan Dua, dan wilayah Burawai di sebelah barat, adalah kawasan yang di duga relatif tercemar, meski tingkat pencemaran masih dalam ambang batas. Ketika sikap kontrol adat terhadap kesehatan air mulai melemah, maka organisasi pemuda pemilik dusun dan perairan seharusnya menjaga, membersihkan Danau Sentani.
Mereka dapat berkolaborasi dengan pemerintah memastikan penegakan aturan agar tidak ada lagi sampah yang dikirim ke Danau Sentani. Kepala kampung juga harus mengalokasikan Dana Kampung untuk mendorong rakyat setempat melakukan pembersihan air dan segala kekayaan di danau. “Inisiatif dan komunikasi secara bersama bagi masyarakat adat secara internal yang harus terus terbangun sebagai upaya penyelamatan,” ujar Sokoy.
Kian terancam
Salah satu pemuda di Sentani, Billy Tokoro mengatakan Danau Sentani yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi ribuan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura, kini menghadapi ancaman pencemaran yang kian nyata. Ironisnya, sebagian besar masyarakat di sekitar danau belum benar-benar melihat pencemaran itu sebagai ancaman serius bagi masa depan mereka.
Beberapa pihak mulai sadar, terutama mereka yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya yang secara langsung bergantung kepada kelestarian Danau Sentani. Kesadaran itu tumbuh karena mereka merasakan sendiri bagaimana kualitas air menurun, hasil tangkapan ikan berkurang, dan ekosistem yang dulu subur kini mulai sekarat.
“Masyarakat adat di tepian Danau Sentani, memang sebagian besar menggantungkan seluruh aktivitas kehidupan mereka dengan memanfaatkan potensi danau. Kenyataannya, hingga saat ini, walaupun kondisi danau sedang tercemar,” ujar Billy.

Menurut Billy, mereka menganggap Danau Sentani bukan hanya sumber air dan ikan, tetapi juga ruang hidup, ruang budaya, dan identitas yang melekat pada sejarah orang Sentani. Kepercayaan dan keyakinan teguh terhadap mahakarya Tuhan membentuk masyarakat adat Phuyakbhu yang terus meyakini bahwa akan selalu ada air baru.
Namun di sisi lain, berbagai aktivitas manusia yang terus memperparah kondisi Danau Sentani. Pertambangan tradisional yang menggunakan bahan kimia, transportasi air berbahan bakar minyak, hingga aliran sungai yang berubah menjadi saluran sampah—semuanya memberi tekanan besar kepada ekosistem Danau Sentani.
Pembangunan yang masif pun telah menggerus daerah resapan air yang seharusnya menjadi pelindung alami dari pencemaran. Di beberapa kampung seperti Yoboi, Kwadeware, Ayapo, Asei Besar hingga Yokiwa, masyarakat adat telah mencoba mencari solusi melalui aktivitas ekowisata berbasis budaya. Mereka membuka wisata alam seperti tracking dusun sagu hingga tur kampung. Berbagai aktivitas itu bukan hanya upaya mendapatkan penghasilan, tetapi juga bentuk nyata menjaga keseimbangan alam dan kebudayaan.
Sejumlah kelompok masyarakat juga aktif melakukan penanaman kembali pohon sagu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap alam. Mereka menanam dan menata ulang kawasan sagu yang mulai rusak. Upaya itu ditempatkan sebagai langkah sederhana namun berarti untuk memulihkan daerah serapan air dan memastikan bahan pangan lokal tetap tersedia bagi generasi berikutnya.
“Upaya itu dilakukan oleh masyarakat adat sendiri, anak-anak muda di kampung yang diberi pemahaman bagaimana menjaga alam dan lingkungan. [Mereka] yang terus bergerak dan melakukan perubahan,” katanya.
Di Kampung Asei misalnya, sanggar budaya setempat berinisiatif menghidupkan kembali permainan tradisional, serta membuat trip wisata akhir pekan yang memadukan tracking di sekitar danau, panen sagu, dan menyaksikan tradisi pangkur sagu atau molo [menyelam untuk memburu ikan).
Rintisan kampung wisata juga dijalakan di Kampung Yoboi, Asei Pulau, Yobeh, Ifarbesar, hingga Kampung Kwadewar di wilayah barat Danau Sentani. Dalam berbagai upaya itu, masyarakat adat mampu menyediakan pangan dan kuliner lokal bagi para pengunjung yang datang, baik wisatawan lokal, nasional, hingga mancanegara. Masyarakat adat memasarkan berbagai kerajinan seperti lukisan kulit kayu, ukiran patung, tifa (alat musik perkusi tradisional) gerabah tanah liat, hingga pertunjukan seni musik, lagu, dan tarian.

Billy menyatakan masyarakat di 24 kampung yang mendiami pesisir Danau Sentani—dari Kampung Yokiwa hingga Burawai, dari utara Tanjung Yobeh hingga ke selatan Kampung Abar dan Khameyakha. “Menyelamatkannya berarti menjaga masa depan generasi Papua yang hidup dari, oleh, dan bersama alamnya sendiri,” ujar kreator konten media sosial Pacekreatif itu.
Aktivitas-aktivitas ini bukan sekadar hiburan, tetapi sarana edukasi yang memberikan kesadaran langsung tentang pentingnya menjaga danau dan seluruh ekosistemnya.
Sayangnya, berbagai upaya itu sering berjalan sendiri tanpa pendampingan dan dukungan serius dari pemerintah. Padahal, dukungan kecil seperti pendampingan teknis, promosi wisata berkelanjutan, atau penghargaan bagi para pelaku dan pegiat lokal bisa menjadi energi besar untuk menjaga momentum ini.
Aktivitas pariwisata di danau sebenarnya dapat menjadi alat pendidikan ekologis yang efektif, jika dilakukan dengan benar. Wisata yang menghormati adat, melibatkan masyarakat, dan mengedepankan keberlanjutan akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap danau. Setiap pengunjung bukan hanya datang untuk menikmati pemandangan, tetapi juga belajar menghargai kehidupan yang bergantung pada air dan alam Danau Sentani.
Tercemar sedang
Data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jayapura tahun 2023 mengungkap pembacaan dari dua alat pendeteksi kualitas air yang dipasang di Jembatan Kuning dan Kalkhote. Kedua detektor kualitas air itu menunjukkan bahwa kondisi air Danau Sentani tercemar dengan kategori sedang.
Ini bukan lagi ancaman yang dapat dianggap sebelah mata, tetapi menjadi alarm yang patut diwaspadai. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan dukungan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain, pengolahan sampah yang lebih baik. Pemerintah daerah perlu meningkatkan sistem pengelolaan sampah, termasuk penyediaan tempat pembuangan sampah yang memadai dan program daur ulang yang efektif.
Edukasi masyarakat, kampanye kesadaran lingkungan yang intensif perlu dilakukan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam membuang sampah. Regulasi yang ketat, perlu memberlakukan dan menegakkan peraturan yang lebih ketat terkait pembuangan limbah industri dan rumah tangga.
Pengelolaan daerah aliran sungai, program penghijauan dan konservasi di daerah aliran sungai perlu ditingkatkan untuk mengurangi erosi dan sedimentasi. Teknologi pengolahan air, investasi dalam teknologi pengolahan air modern perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas air danau.
Kerja sama lintas sektoral, Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah secara komprehensif. Pemantauan berkala, sistem pemantauan kualitas air yang lebih canggih dan teratur perlu diterapkan untuk memantau perkembangan kondisi danau. Pembatasan aktivitas di sekitar danau, ada regulasi yang mengatur aktivitas pertanian, peternakan, dan industri di sekitar danau untuk mengurangi potensi pencemaran. (*)



