• Redaksi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Kode Etik
  • Laporan Transparansi
Jubi Papua
Teras ID
  • Home
  • Tanah Papua
    • Anim Ha
    • Bomberai
    • Domberai
    • La Pago
    • Mamta
    • Mee Pago
    • Saireri
    • Arsip
  • Indepth
  • LEGO
  • Nasional
  • Dunia
  • Pasifik
  • Kerjasama
    • Pulitzer
    • Menyapa Nusantara
    • Provinsi Papua Tengah
    • Kabupaten Jayawijaya
    • Kabupaten Jayapura
    • Kabupaten Mappi
    • Provinsi Papua
  • Networks
    • Jubi TV
    • English
    • Deutsch
    • France
    • Indeks
Donasi
No Result
View All Result
Jubi Papua
  • Home
  • Tanah Papua
    • Anim Ha
    • Bomberai
    • Domberai
    • La Pago
    • Mamta
    • Mee Pago
    • Saireri
    • Arsip
  • Indepth
  • LEGO
  • Nasional
  • Dunia
  • Pasifik
  • Kerjasama
    • Pulitzer
    • Menyapa Nusantara
    • Provinsi Papua Tengah
    • Kabupaten Jayawijaya
    • Kabupaten Jayapura
    • Kabupaten Mappi
    • Provinsi Papua
  • Networks
    • Jubi TV
    • English
    • Deutsch
    • France
    • Indeks
Donasi
No Result
View All Result
Jubi Papua
No Result
View All Result
Home Indepth Stories

Air sulit laut tercemar, derita masyarakat di Kampung Adat Enggros dan Tobati

October 22, 2025
in Indepth Stories
Reading Time: 9 mins read
0
Penulis: Aida Ulim - Editor: Syofiardi
enggros

Seorang perempuan mengisi air ke tandon atau tanki 1.000 liter di atas perahu dari tandon di atas mobil pikap di Pantai Ciberi, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (20/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

0
SHARES
206
VIEWS
FacebookTwitterWhatsAppTelegramThreads

Jayapura, Jubi – Masyarakat adat Port Numbay yang tinggal di Kampung Enggros dan Kampung Tobati di Kota Jayapura, Provinsi Papua, masih mengalami kesulitan mengakses air bersih. Kondisi ini memaksa mereka membeli air dari kota untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti minum, memasak, mencuci, dan mandi.

Kampung Enggros dan Kampung Tobati adalah kampung adat di Kota Jayapura. Penduduknya masyarakat asli Jayapura yang mendiami kawasan Teluk Youtefa. Kedua kampung memiliki ciri khas sebagai kampung laut, di mana semua bangunannya, baik rumah maupun bangunan publik, berdiri di atas permukaan laut.

Rumah-rumah dan fasilitas umum dihubungkan oleh jembatan kayu yang juga menjadi akses utama mobilitas masyarakat adat di kedua kampung. Letaknya yang berada di tengah teluk memberikan pemandangan alam yang unik dan eksotis. Terlebih sekarang tepat berada di belakang Jembatan Youtefa yang terkenal.

Meski berdekatan, hanya berjarak 500 meter, kedua kampung terletak di distrik atau kecamatan yang berbeda di Kota Jayapura. Kampung Enggros masuk wilayah Distrik Abepura. Sedangkan Kampung Tobati masuk wilayah Distrik Jayapura Selatan.

Dari pusat Kota Jayapura kedua kampung dapat diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor sekitar 20 menit ke dermaga terdekat, lalu menyeberang beberapa menit menggunakan perahu fiber.

Kampung Enggros yang dalam bahasa asli disebut ‘Injros’ berpenduduk 703 jiwa, di mana laki-laki 369 jiwa dan perempuan 334 jiwa. Luas wilayahnya hanya 6,7 km persegi atau 4,3 persen dari luas Distrik Abepura. Jarak dari pusat distrik 1,1 km dan dari pusat Kota Jayapura 9,1 km.

Infografis Enggros

BERITATERKAIT

Banyak penduduk Kepulauan Pasifik tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi

Warga Kampung Air Besar Fakfak tutup saluran air bersih

PTFI dan Pemkab Mimika berkolaborasi hadirkan akses air bersih untuk ribuan warga Timika

Warga Kampung Enggros usulkan penertiban kendaraan di kawasan jembatan merah

Sedangkan Kampung Tobati berpenduduk 436 jiwa, di mana laki-laki 235 jiwa dan perempuan 201 jiwa. Luas wilayahnya hanya 0,5 km peregi atau 1,2 persen dari luas Distrik Jayapura Selatan. Jarak dari pusat distrik dan pusat kota Jayapura sama-sama 4 km.

Perkembangan pembangunan di Kota Jayapura, termasuk pembangunan infrastruktur, memberikan tekanan kepada lingkungan dan budaya masyarakat Enggros dan Tobati. Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah kesulitan mengakses air bersih.

Karena berdiri di atas laut di Teluk, setiap rumah di kedua kampung terpaksa memiliki tangki penampungan air bersih. Untuk mengisi tangka tersebut mereka harus membelinya dengan tanki lain yang dibawa dengan perahu fiber ke dermaga terdekat yang terletak di Patai Ciberi, dekat Jembatan Youtefa.

Di Pantai Ciberi itu sudah ada penjual air bersih yang datang dengan tangki yang dibawa dengan mobil pikap. Ada penjual air dari PDAM Kota Jayapura dan ada juga usaha mandiri.

Kepala Suku Merauje Mata Rumah Ram Rum, Niko Merauje menyampaikan di Kampung Enggros dan Kampung Tobati masalah air bersih telah berlangsung sangat lama dan menjadi salah satu masalah serius yang dihadapi masyarakat adat yang tinggal di sana.

Ia menceritakan, sebelum pembangunan di Kota Jayapura marak, masyarakat di Enggros dan Tobati memiliki tiga sumber mata air di daratan terdekat yang terletak di sebelah Jalan Ring Road.

“Kita punya sumber air di situ yang mengalir dari gunung, lalu kami ambil dan bawa ke sini,” katanya kepada Jubi.

Menurutnya ada tiga sumber air di sana, yaitu di Kali Foji, Apaihaihai, dan Muri. Tapi sekarang sumber air itu tidak lagi bisa digunakan, karena sudah kotor dan sering kering.

“Dulu jika hendak mengambil air ke perbukitan itu kami menggunakan perahu dayung,” ujarnya.

Sebelumnya ada juga alternatif lain tempat mengambil air bersih, yaitu di sekolah YPK Enggros dekat Skyline. Namun sekolah itu tutup pada 1973.

Enggros
Warga dari Kampung Enggros sedang mengisi air yang dibeli per tangki kapasitas 1.000 liter Rp100 ribu di Pantai Ciberi, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (20/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

“Akhirnya, sumber air di pegunungan di sebelah Jalan Ring Road itu menjadi satu-satunya andalan hingga sumber air itu tidak lagi bisa digunakan sejak 1980 [45 tahun]. Selama itulah masyarakat Enggros dan Tobati harus membeli air ke kota,” katanya.

Menurut Merauje, hilangnya sumber air di perbukitan sebelah Jalan Ring Road, karena pembukaan lahan untuk pembangunan dan lahan perkebunan masyarakat yang berasal dari luar Jayapura. Aktivitas di sana membuat sumber air tecemar sampah dan kotoran babi, karena ada yang beternak babi.

“Itulah sebabnya kami harus membeli air ke kota,” ujarnya.

Selain harus mengeluarkan uang untuk membeli air, proses pengangkutan air dari kota pun memakan biaya yang cukup besar. Satu tangki air isi ulang Rp100 ribu dan biaya angkut Rp100 ribu, total biaya yang dikeluarkan per tangki atau tandon 1.000 liter Rp200 ribu.

“Satu bulan, satu rumah bisa menghabiskan Rp1 juta lebih hanya untuk membeli dan mengangkut air saja, padahal kebutuhan kita banyak juga yang memerlukan uang, apalagi untuk biaya anak ekolah,” ujarnya.

Niko Merauje menceritakan, upaya pemerintah dengan menyambungkan air PDAM  ke Kampung Enggros pernah dilakukan. Namun pipa tersebut rusak oleh arus Teluk Youtefa.

Untuk perbaikan pipa tersebut sudah diusulkan dalam Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) kampung agar bisa menggunakan dana kampung. Namun belum terealisasi.

Sampah di laut memperparah keadaan

Persoalan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat adat di Kampung Enggros dan Tobati diperparah dengan pencemaran laut di Teluk Youtefa. Sampah dari Kota Jayapura, terlebih saat musim hujan, hanyut, berputar, dan menumpuk di teluk.

Menurut Merauje dulu kedalaman air laut di Teluk Youtefa 8 hingga 9 meter. Tapi sekarang hanya tinggal sekitar 3 sampai 4 meter. Penyebabnya adalah limbah yang datang terus-menerus ditambah longsoran tanah sehingga terjadi penimbunan atau sedimentasi dasar teluk.

Enggros
Warga mengisi air ke tangka atau tandon berkapasitas 1.000 liter di Pantai Ciberi, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (20/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

Pencemaran teluk, katanya, terjadi sejak 1985 hingga sekarang. Pencemaran menyebabkan ikan semakin berkurang sehingga mempengaruhi hasil tangkapan nelayan kedua kampung. Padahal sebelumnya, era sebelum 1985, ketika teluk masih berair jernih, hasil tangkapan banyak.

“Tangkapan yang makin berkurang membuat kehidupan masyarakat di Enggros dan Tobati semakin terjepit. Kalau membayar untuk air bersih saja masih mendingan, tapi ini mesti bayar listrik, biaya anak sekolah, dan kebutuhan keluarga, padahal pendapatan masyarakat dari laut dan sekarang ikan berkurang karena laut tercemar, pemasukan dari mana?” ujarnya.

Potensi masyarakat adat Enggros, kata Merauje, ada di laut. Biasanya mereka mencari ikan terus dijual untuk menambah pendapatan. Kini semuanya menurun dan menyulitkan masyarakat.

“Jadi hal ini butuh orang ketiga, artinya pemerintah yang perlu tolong kami,” katanya.

Menurut Merauje dulu masyarakat Enggros bisa perkebun dan mencari ikan, lalu hasilnya dijual untuk membiayai pendidikan anak, uang taksi, jajan, dan lainnya. Sedangkan sekarang air harus dibayar dan semua hal harus menggunakan uang.

“Artinya tidak ada lagi harapan,” ujarnya.

Jika musim penghujan, air hujan juga biasa dimanfaatkan penduduk Enggros dan Tobati. Air hujan biasa digunakan untuk mencuci pakaian, mandi, dan mencuci piring. Namun jika air hujan tidak ada, untuk ketiga keperluan itu terpaksa memakai air yang dibeli.

“Sebelum sampah banyak mengotori teluk, dulu kami sering mandi air laut saja, tapi karena sekarang kami takut gatal-gatal makanya kami sudah hindari mandi air laut, makanya pengeluaran untuk beli air semakin bertambah,” ujarnya.

Karena kondisi seperti sekarang, bagi Merauje kehidupan zaman dulu di kampungnya jauh lebih enak. Kini ia merasakan, meski pembangunan banyak tapi masyarakat adat makin menderita.

enggros
Tangk-tangki air yang disiapkan masyarakat di rumah masing-masing sebagai tempat penampung air yang dibeli dari kota, di Kampung Enggros, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (17/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

Untuk keluar dari situasi seperti sekarang, menurut Merauje, masyarakat butuh pemimpin yang bijaksana melihat apa yang menjadi kesulitan masyarakat.

“Jaminan hidup masyarakat, yaitu hutan, air bersih, dan laut dikorbankan untuk pembangunan, tapi pemerintah tidak melihat apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat,” katanya.

Cerita Niko Merauje tentang pipa PDAM juga disampaikan Patras Merauje, 31 tahun, staf di Kantor Kampung Enggros. Ia mengatakan tiga tahun lalu Pemerintah Kampung Enggros menyediakan saluran air bersih dari PDAM dengan memasang pipa. Namun pipa itu rusak karena arus pasang surut di teluk.

Pemerintah, lanjutnya, sudah memasang kembali pipa, tapi airnya belum ada karena masih menunggu pembangunan penampung air di Pulau Debi. Pulau Debi terletak di tengah Teluk Youtefa antara Kampung Enggros dan Kampung Tobati, tapi lebih dekat ke Enggros.

“Jika pembangunan penampung air sudah selesai, maka PDAM akan mengalirkan air ke sana sehingga bisa dialirkan ke pipa ke rumah-rumah. Karena itu kami berharap proses pembangunan bak penampungan airnya cepat selesai,” ujarnya.

Niko Merauje menceritakan kesulitan saat membeli air. Jika pasang sedang surut tidak gampang memindahkan air dari tanki di atas perahu ke tangki di samping rumah. Harus ada selang yang panjang untuk menarik air ke atas yang masih disedot dengan mulut, terlebih memindahkan air ke rumah bagian dalam.

“Sebaliknya, jika pasang sedang naik juga sedikit setengah mati, karena di sini ada jembatan yang harus dilewati. Caranya supaya perahu bisa lewat terpaksa dikasih beban banyak agar perahu sedikit turun,” katanya.

Karena perhitungan seperti itu, biaya pembelian air menjadi bertambah, kata Niko Merauje. Apalagi pada perayaan-perayaan hari besar, mau tidak mau pengeluaran menjadi lebih besar.

Terkait laut, Niko Merauje menceritakan, dulu saking bersihnya laut di Teluk Youtefa orang tua-tua biasa mencuci beras menggunakan air laut. Sekarang hal seperti itu tidak akan ada lagi, karena teluk dikotori sampah.

Menurutnya sampah-sampah dari Teluk Youtefa berasal dari Kali Anyang dan Abesaung. Itu terjadi sejak tahun 2000-an, di mana air laut menjadi keruh dan tidak bisa digunakan lagi untuk beraktivitas.

Enggros
Setiap rumah memiliki tangka penampungan air bersih yang dibeli dari kota di Kampung Enggros, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (17/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

Perempuan paling merasakan dampak

 Petronela Merauje, 44 tahun, perempuan adat Kampung Enggros, menceritakan lebih lengkap tentang sumber air yang sudah tinggal kenangan. Menurutnya, dulu masyarakat Kampung Enggros gampang mendapatkan air bersih di pantai-pantai di kaki gunung di darat.

“Ada beberapa sumber air, yang biasanya di ambil di Entrop yang namanya Mahasyaw, ada Muri yang di bawah Skyline, kemudian ada Merari, Haihai, dan Foji. Air-air bersih itu yang kita ambil pakai minum,” ujarnya.

Namun, sejak permukiman penduduk mulai banyak di daerah Skyline, akhirnya sungai-sungai itu kotor dan tidak layak lagi digunakan untuk minum.

Pada 2010, kata Petronela, wali kota Jayapura memasukkan air PDAM ke Kampung Enggros dengan memasang pipa langsung dari Skyline. Namun itu hanya berjalan sekitar lima tahun, kemudian pipa-pipa itu putus akibat arus teluk.

“Sejak itu sampai sekarang air bersih harus beli lagi dari tandun-tandun yang dipasok PDAM kota dan penjual air lain,” katanya.

Dalam seminggu, Petronela Merauje harus membeli dua kali. Biaya yang mesti ia keluarkan sekali membeli air Rp400 ribu. Artinya, dalam sebulan atau empat minggu ia harus mengeluarkan biaya Rp1,6 juta.

Dua kali seminggu itu hanya untuk keluarga kecil. Sedangkan untuk keluarga besar bisa tiga kali seminggu. Pembelian air ini meningkat jika ada acara besar di rumah.

“Kalau punya speed [perahu motor] sendiri lumayan, hanya beli air sekitar Rp100 ribu, tapi kalau tidak punya speed maka pengeluarannya harus besar juga untuk beli air,” katanya.

Kendala lain yang dihadapi masyarakat ketika membeli air adalah kondisi pasang. Pada saat pasang surut, perahu motor jadi jauh dari mobil pikap yang memasok di Pantai Ciberi. Karena itu, mereka menunggu pasang tinggi untuk membeli air. Mereka terpaksa menunggu pasang naik meskipun persediaan air di rumah sudah habis.

Selain itu, mobil pikap yang mengantar tidak bisa melayani satu pembeli yang biasanya punya tangki atau tandon 1.000 liter. Mereka mesti menunggu pembeli dulu untuk melayani empat atau lima tandon sekaligus. Sebab satu pikap mengantarkan air dalam tandon 5.000 liter. Artinya, paling kurang mereka mau melayani pembelian empat tandon.

enggros
Tangki air bersih berderet di jembatan yang menghubungkan rumah di Kampung Enggros, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (17/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

“Jadi harus antre lima orang sampai malam, ini juga jadi masalah kami. Kadang tidak ada air hari ini, kita harus tunggu sampai besok, itulah kendala yang kita alami,” ujarnya.

Terkait sumber ekonomi, Petronela Merauje menceritakan, dulu sebelum Jembatan ‘Merah’ Youtefa dibangun, di sekitar pantai ada kebun kelapa yang ditanam mayarakat. Juga ada kebun pisang, sayur, dan ubi.

“Namun setelah pembangunan, semua itu habis. Karena sudah bangun kafe-kafe juga, dan sebagian besar tanah itu pemerintah sudah bangun jalan, akhirnya hilang mata pencaharian kami,” ujarnya.

Terkait air teluk, Petronela masih ingat dulu sangat jernih dan bisa digunakan sebagai obat, mencuci beras, mencuci sayur, dan mencuci piring. Namun sejak Youtefa dibangun berbagai fasilitas pada 2008, air laut teluk itu tercemar dan justru menjadi ancaman bagi masyarakat adat Enggros dan Tobati.

“Sampai saat ini kami masih berpikir bagaimana caranya supaya sampah-sampah yang dari kota tidak lagi terbuang ke Teluk Youtefa,” katanya.

Persoalan terbesar lain bagi perempuan adat kedua kampung, adalah rusaknya lingkungan Hutan Perempuan. Masyarakat adat Enggros dan Tobati memiliki Hutan Perempuan, yaitu hutan mangrove di sekitar Teluk Youtefa yang hanya boleh diakses perempuan untuk keperluan pangan alami.

Tapi kini Hutan Perempuan itu dipenuhi sampah, terutama plastik, yang mengendap pada akar-akarnya hingga ke bagian dalam hutan.

“Tempat yang dulunya jadi tempat berkembang biaknya ikan, kerang, sekarang sudah tidak bisa, jadi akhirnya hutan mangrove itu terancam,” ujarnya.

Petronela menyebutkan, kesulitan air bersih dan rusaknya ekosistem laut Teluk Youtefa merupakan ancaman besar bagi masyarakat kedua kampung adat. Terlebih rusaknya ekosistem laut yang berdampak pada mata pencarian masyarakat yang bergantung kepada kondisi alam, yaitu laut itu sendiri.

“Ketika air laut itu mulai penuh dengan sampah, tercemar dengan limbah, masyarakat kalau mencari itu tidak dapat ikan, tapi hanya dong dapat sampah plastik. Mencari kerang juga dapat sampah paling banyak. Itu satu ancaman besar bagi masyarakat,” katanya.

Enggros
Tangki air di depan rumah warga di Kampung Enggros, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (17/10/2025). –Jubi/Aida Ulim

Terkait air bersih, karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan per bulan, bagi Petronela air hujan adalah berkah dan penolong. Air hujan yang ditampung biasa digunakan untuk mencuci beras atau sayur, mencuci piring, dan mandi. Sedangkan untuk minum tetap menggunakan air yang dibeli.

Perempuan yang paling merasakan jika air bersih sulit didapatkan, kata Petronela. Sebab perempuan yang mengatur segala hal kebutuhan dalam rumah. Mulai bangun pagi, perempuan harus berpikir mengerjakan ini dan itu, terlebih terkait dapur, pasti membutuh air.

“Terkain air ini masyarakat [Enggros dan Tobati] memang resah sekali, dan memang tidak nyaman, tapi mau dan tidak mau harus dijalani,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah memperhatikan kesulitan air bersih dan kondisi laut yang tercemar di Kampung Enggros dan Kampung Tobati. Sebab menurutnya, pemerintah harus bertanggung jawab atas kehidupan masyarakat di kedua kampung.

“Setidaknya ada kompensasilah buat masyarakat di kedua kampung, karena mereka punya lahan hidup, sudah dikasih untuk pemerintah bangun program pemerintah. Sedangkan laut sudah kotor, mata pencarian semakin sempit,” katanya.

Kompensasi itu, tambahnya, bisa digunakan masyarakat untuk membeli air dan kebutuhan lain.

Kampung Tobati sebelas-duabelas dengan Enggros

“Kalau untuk masalah air bersih, kondisi Kampung Tobati dengan Kampung Enggros sebelas-duabelaslah,” kata Hermina Hababok, perempuan adat di Kampung Tobati kepada Jubi.

“Karena kami mengalami hal yang sama tentang akses air bersih. Kalau di Enggros masyarakat beli air ke kota, seperti itu juga di Tobati,” ujarnya.

Seperti di Enggros, kata Hababok, sudah ada pipa PDAM yang masuk langsung ke Kampung Tobati dari Skyline. Tapi dulu hanya kadang-kadang airnya mengalir dan sekarang sudah tidak mengalir lagi.

Dulu masyarakat Tobati juga mengambil air ke mata air di sebelah jalan Ring Road, tapi karena terecemar dan kering juga tidak digunakan lagi.

“Padahal dulu masyarakat bawa jeriken dan ember menggunakan perahu dayung ke sana, lalu mengayuh sampai di bawah Jembatan Ring Road, di sana ada mata airnya baru ambil air, tapi sekarang sudah tidak bisa. Makanya untuk makan, minum, dan mencuci masyarakat harus beli air dari kota,” ujarnya.

Tapi mengambil air itu jika cuaca bagus. Jika sedang hujan, badai, atau gelombang tinggi, masyarakat tidak berani dengan perahu dayung.

Enggros
Lokasi Kampung Enggros dan Kampung Tobati di Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Provinsi Papua. –Jubi

“Sekarang air yang kami beli juga tidak menentu, tergantung dari pemakaian setiap hari masing-masing keluarga,” katanya. “Misalnya kalau dalam satu minggu harus dua kali berarti empat tandon seminggu. Untuk harga air satu tandon ada yang Rp120 ribu dan ada juga Rp100 ribu,” katanya.

Terkait upaya pemerintah, menurut Hermina Hababok, Pemkot Jayapura bersama Pemerintah Kampung Tobati memasang pipa PDAM pada 2002. Proyek ini lebih dulu dari Kampung Enggros. Lalu rusak, kemudian dipasang lagi pada 2010, lalu rusak lagi.

Tiga tahun lalu, tambahnya, dipasang lagi pipa air bersih, tapi airnya tidak lancar. Paling dalam seminggu mengalir dua kali. Namun akhir-akhir ini tidak mengalir sama sekali.

“Sekarang masyarakat tidak tahu mau salahkan siapa, pemerintah kampung atau pemerintah kota, bingung juga,” ujarnya.

Namun, ia lebih tertuju kepada pemerintah kampung, karena belum ada perhatian khusus untuk air bersih di Kampung Tobati.

“Masyarakat yang merasakan betapa sulitnya air bersih. Semua orang tahulah bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah air.

Kalau tidak ada air, lanjutnya, bagaimana mungkin bisa mencuci, memasak, minum, mandi, dan lain-lain. Kalau mandi, menurutnya masih bisa dengan air hujan, meski tidak selalu ada hujan.

“Kalau mau cerita ini sudah macam orang di pedalaman yang susah sekali air, padahal kedua kampung ini ada di pusat Kota Jayapura, Provinsi Papua. Kampung dekat kota saja, hanya sekitar 10 hingga  20 menit sampai, tapi bisa susah air seperti ini,” ujarnya.

Menurut Hababok, bagi masyarakat Tobati atau Enggros yang berprofesi pegawai mungkin tidak begitu terasa mengeluarkan uang per bulan untuk membayar air. Tapi bagi masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap, kondisi seperti ini sangat menyulitkan.

“Jadi kita masyarakat ini berusaha untuk harus simpan uang agar bisa beli air, jadi tidak mudah menjadi masyarakat di Kampung Enggros dan Kampung Tobati,” katanya. (*)

Tags: Akses Air Bersiheksistensi masyarakat adat di Teluk Youtefakampung adatKampung EnggrosKampung Tobatipencemaran laut
ShareTweetSendShareShare

Related Posts

Tiyaitiki

Menjaga Tiyaitiki, warisan leluhur Suku Tepera di perairan Tanah Merah

November 14, 2025
ikan asar

37 tahun berjualan ikan asar, sekolahkan enam anak hingga lulus

November 7, 2025

Jejak tukik, patung penginjil, dan harapan warga Yewena-Doromena

November 6, 2025

Senjata baru Persipura: Taktik ‘berani mati’ dan agresivitas lini serang

October 29, 2025

“Ganti baju” PSN Papua Selatan: Proyek dihapus, hutan tetap terancam

October 22, 2025

Merawat tradisi, memulihkan Danau Sentani 

October 21, 2025

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Latest
  • Trending
  • Comments
Undang-undang Kelautan Vanuatu

Undang-Undang Kelautan Vanuatu Akan Mengembalikan Pengelolaan Pesisir kepada Masyarakat Adat

November 14, 2025
penghargaan fifa

Padio Raih Penghargaan FIFA sebagai Pemain Wanita Terbaik Oseania

November 14, 2025
Tiyaitiki

Menjaga Tiyaitiki, warisan leluhur Suku Tepera di perairan Tanah Merah

November 14, 2025
Militer

Jepang dan Fiji Menyuarakan Kekhawatiran atas Peningkatan Kekuatan Militer yang Cepat di Kawasan

November 14, 2025
Pemilu Tonga

Pemilu Tonga: Aktivis Perempuan Desak Peningkatan Representasi Perempuan di Parlemen

November 14, 2025
1000644178

Payangko, Hewan Perdamaian dari Gunung Cycloops

November 11, 2025
Papua

Mayjen Lekagak Talenggen desak diplomat Papua merdeka bersatu

November 13, 2025
Gubernur Papua

Gubernur Papua usulkan program mudik bersubsidi ke Kemenhub

November 12, 2025
Pembangunan

Gubernur usulkan pembangunan 14.882 rumah layak huni di Papua ke Kementerian PKP

November 12, 2025
Pemkab Jayapura

Pemkab Jayapura tertibkan pedagang buah di pinggir jalan untuk atasi kemacetan

November 11, 2025
Undang-undang Kelautan Vanuatu

Undang-Undang Kelautan Vanuatu Akan Mengembalikan Pengelolaan Pesisir kepada Masyarakat Adat

0
penghargaan fifa

Padio Raih Penghargaan FIFA sebagai Pemain Wanita Terbaik Oseania

0
Militer

Jepang dan Fiji Menyuarakan Kekhawatiran atas Peningkatan Kekuatan Militer yang Cepat di Kawasan

0
Pemilu Tonga

Pemilu Tonga: Aktivis Perempuan Desak Peningkatan Representasi Perempuan di Parlemen

0
Iklim

Delegasi Pasifik di Perundingan Iklim PBB Mengatakan Ada ‘Manuver Ego’ di Balik Layar COP30

0

Trending

  • 1000644178

    Payangko, Hewan Perdamaian dari Gunung Cycloops

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mayjen Lekagak Talenggen desak diplomat Papua merdeka bersatu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gubernur Papua usulkan program mudik bersubsidi ke Kemenhub

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gubernur usulkan pembangunan 14.882 rumah layak huni di Papua ke Kementerian PKP

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pemkab Jayapura tertibkan pedagang buah di pinggir jalan untuk atasi kemacetan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

PT Media Jubi Papua

Terverifikasi Administrasi dan Faktual oleh Dewan Pers

PT. Media Jubi Papua

Terverifikasi Administrasi dan Faktual oleh Dewan Pers

Networks

  • Post Courier
  • Vanuatu Daily Post
  • Solomon Star News
  • The Fiji Times
  • Radio New Zealand
  • Radio Djiido
  • 3CR Community Radio
  • Cook Islands News
  • Pacific News Service
  • Bouganville News
  • Marianas Variety

AlamatRedaksi

Jl. SPG Taruna Waena No 15 B, Waena, Jayapura, Papua
NPWP : 53.520.263.4-952.000
Telp : 0967-574209
Email : redaksionline@tabloidjubi.com

© 2025 Jubi – Berita Papua Jujur Bicara

No Result
View All Result
  • Home
  • Tanah Papua
    • Anim Ha
    • Bomberai
    • Domberai
    • La Pago
    • Mamta
    • Mee Pago
    • Saireri
    • Arsip
  • Indepth
  • LEGO
  • Nasional
  • Dunia
  • Pasifik
  • Kerjasama
    • Pulitzer
    • Menyapa Nusantara
    • Provinsi Papua Tengah
    • Kabupaten Jayawijaya
    • Kabupaten Jayapura
    • Kabupaten Mappi
    • Provinsi Papua
  • Networks
    • Jubi TV
    • English
    • Deutsch
    • France
    • Indeks

© 2025 Jubi - Berita Papua Jujur Bicara