Jayapura, Jubi – Sehari setelah pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia, Menteri Transmigrasi Kabinet Merah Putih, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara mengatakan Kementerian Transmigrasi mendapat arahan dari Presiden Prabowo Subianto untuk mengadakan program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur, terutama ke Papua.
“Agar Papua betul-betul menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks kesejahteraannya, dalam konteks persatuan nasionalnya, dan dalam konteks lebih besar,” kata Suryanegara saat serah terima jabatan Menteri Transmigrasi di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Senin, 21 Oktober 2024.
Pernyataan Menteri Transmigrasi ini mengundang respon keras oleh warga asli Papua yang selama ini menolak program transmigrasi dilakukan kembali di Tanah Papua. Warga asli Papua memandang transmigrasi telah menimbulkan beragam persoalan.
Pengalaman suram
“Setelah transmigrasi datang ke Merauke sejak tahun 70an yang terjadi adalah Tanah Adat dicaplok oleh pemerintah, hutan digusur. Warga Malind dikampung trans lebih paham bahasa Jawa daripada bahasa ibu sendiri,” kata Simon Balagaize, tokoh pemuda Merauke, Kamis (31 Oktober 2024).
Selain itu, penebangan kayu dilakukan dengan harga yang relatif murah tidak sesuai harga yang di tetapkan pemerintah.
“Dari pengalaman ini saja tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat asli. Malah membawa masalah baru,” lanjut Balagaise.
Dewan Gereja Papua merespon keinginan Presiden Prabowo ini dengan menekankan bahwa yang dibutuhkan orang Papua saat ini dalah layanan pendidikan dan kesehatan bukan transmigrasi yang selama ini terbukti menimbulkan banyak masalah.
“Hari ini orang Papua membutuhkan pendidikan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan lain-lain. Orang Papua tidak pernah minta transmigrasi. Ini kalau diterapkan, mereka akan kuasai dan pemilik tanah semakin tersingkir,” ujar Pendeta Dorman Wandikbo, anggota Dewan Gereja Papua.
———
“Dari pengalaman ini saja tidak menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat asli.
Malah membawa masalah baru”
———-
“Dari pengalaman ini saja tidak menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat asli.
Malah membawa masalah baru”
———-
Transmigrasi ke Papua juga dipandang memunculkan dampak negatif, seperti berkurangnya kesempatan kerja bagi orang asli Papua.
“Kebijakan ini juga berdampak pada aspek politik dan ekonomi di Papua,” kata Apei Tarami, seorang pemuda di Sorong Selatan yang bergabung dengan Solidaritas Rakyat Papua Barat Daya menggelar aksi penolakan program transmigrasi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Transmigrasi RI pada hari Rabu (30/10/2024).
Bisa mengangkangi aturan
Legislator Papua, John N.R. Gobay, mempertanyakan sejauh mana pemerintah daerah di enam DOB Papua telah terlibat dalam proses transmigrasi ini.
“Sesuai dengan UU Otsus, transmigrasi hanya bisa dilaksanakan jika ada Perdasi yang mengaturnya dan persetujuan dari gubernur,” jelasnya. Tanpa Perdasi yang jelas, transmigrasi tidak memiliki dasar hukum kuat dan dapat bertentangan dengan regulasi otonomi khusus.
Ia merujuk pada Pasal 61 ayat 3 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang menegaskan bahwa program transmigrasi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan gubernur dan harus didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).
Gobay juga menyoroti Perdasi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan, khususnya Pasal 44, yang menetapkan bahwa transmigrasi hanya bisa dilakukan setelah jumlah Orang Asli Papua (OAP) mencapai 20 juta jiwa.
Ayat 1 Pasal 44 Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 ini menyebutkan “Kebijakan transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah Orang Asli Papua mencapai jumlah 20 juta jiwa”. Sedangkan Ayat 3 Pasal 61 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua berbunyi, “Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur”.
Ia menyarankan sebaiknya pemerintah mendorong transmigrasi local saja. Karena itu lebih masuk akal dan memberikan ruang bagi masyarakat asli Papua berkembang di wilayahnya sendiri.
Rencana transmigrasi ini juga mengundang perhatian Alex Sobel, anggota Parlemen Inggris. Alex Sobel yang juga ketua International Parliamentarian for West Papua menyebutkan transmigrasi telah menyebabkan perubahan demografis yang dramatis di Tanah Papua. Antara tahun 1972 dan 2000, lebih dari 300.000 orang Indonesia direlokasi ke Tanah Papua, dan penduduk non Papua meningkat dari 6% menjadi 21%.
“Transmigrasi telah menghasilkan diskriminasi struktural dalam bidang pendidikan, hak atas tanah, dan pekerjaan,” jelas Sobel.
——
“Sesuai dengan UU Otsus, transmigrasi hanya
bisa dilaksanakan jika ada Perdasi yang mengaturnya
dan persetujuan dari gubernur”
——
“Sesuai dengan UU Otsus, transmigrasi hanya
bisa dilaksanakan jika ada Perdasi yang mengaturnya
dan persetujuan dari gubernur”
——
Ia menilai transmigrasi yang dilakukan di Tanah Papua selama ini jauh dari mewujudkan kesetaraan kesejahteraan di seluruh Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Menteri Suryanagara, transmigrasi telah membantu memastikan bahwa Papua Barat tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia.
Mendistribusikan warga trans yang sudah ada
Warga Arso II, salah satu lokasi transmigrasi di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua mengatakan mereka sangat bersyukur jika pemerintah bisa menjalankan kembali program transmigrasi ke Papua.
“Kami sangat bersyukur. Karena ini sangat positif bagi perkembangan bangsa Indonesia dan Papua sendiri. Papua akan semakin berkembang nantinya. Bukan untuk menjadi penjajah. Sama sekali tidak,” kata Pramono Suharjono, SH.
Pramono yang menjadi transmigran sejak tahun 1986, datang ke Papua sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil. Ia berasal dari Grobogan, Jawa Tengah. Di Grobogan ia sudah menjadi guru. Namun ia memilih menjadi transmigran ke Papua karena program transmigrasi yang diikutinya menjanjikan lahan seluas dua hectare dan rumah. Ia pun berangkat bersama keluarganya dan beberapa keluarga lainnya ke Papua, tepatnya di lokasi transmigrasi bernama Arso di Kabupaten Keerom (dulu masuk ke dalam wilayah administrative Kabupaten Jayapura).
Namun menurut pengakuan Pramono, saat tiba di lokasi transmigrasi yang menjadi tujuannya, ia sempat kecewa dan merasa seperti orang yang dibuang. Karena lokasi yang ditempatinya sangat sepi. Belum ada orang-orang yang bermukim di lokasi tersebut. Tidak ada polisi atau tentara, walaupun lokasi transmigrasi yang menjadi tempat tinggalnya dikenal sebagai “daerah merah”.
“Saya sempat ingin menjual lahan yang diberikan kepada saya sebagai peserta program transmigrasi. Uang penjualan lahan itu akan saya pakai pulang lagi ke Jawa menumpang kapal laut. Sebagian keluarga yang bersama saya mengikuti program taransmigrasi itu sudah pulang kembali ke Jawa setelah mereka menjual lahan mereka,” jelas Pramono.
Ia bersyukur karena waktu itu lahannya tidak laku terjual sehingga ia tidak bisa kembali ke Jawa. Dan ia pun mulai mengolah lahan yang didapatkannya. Selain mengolah lahan yang didapatkannya, ia juga mulai bekerja kembali sebagai guru dan tak lama kemudian ia ditarik bekerja di Dinas Pendidikan. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama dua periode di kabupaten Keerom sejak tahun 2004 sampai 2014.
——–
“Saya sempat ingin menjual lahan yang diberikan kepada saya
sebagai peserta program transmigrasi. Uang penjualan lahan itu akan
saya pakai pulang lagi ke Jawa menumpang kapal laut”
——–
“Saya sempat ingin menjual lahan yang diberikan kepada saya
sebagai peserta program transmigrasi. Uang penjualan lahan itu akan
saya pakai pulang lagi ke Jawa menumpang kapal laut”
——–
Pramono mengatakan dalam pengalamannya sebagai orang yang pernah menjadi transmigran di Papua, masyarakat asal Papua bisa bertukar pengalaman dengan warga transmigrasi tentang pertanian, bertukang, berdagang dan lain sebagainya.
“Mungkin sebaiknya, kalau program transmigrasi ini mau dilakukan lagi, sebaiknya tidak perlu mendatangkan orang dari luar Tanah Papua ini. Cukup mendistribusikan warga transmigrasi yang sudah ada sekarang ini,” kata Pramono.
Ia menjelaskan, bahwa jika awal mereka datang satu kepala keluarga mendapatkan dua hectare tanah. Namun setelah 37 tahun menjadi warga transmigrasi, tentunya para keluarga ini sudah memiliki anak dan cucu. Sehingga saat ini, pada lahan seluas dua hectare yang mereka dapatkan sejak ikut program transmigrasi dikelola lebih dari satu keluarga.
“Jadi saat ini ada yang lahannya dikelola oleh tiga sampai empat keluarga,” jelas Pramono.
Persoalan yang ditimbulkan oleh transmigrasi di Tanah Papua ini sesungguhnya sudah pernah dicatat lebih dari satu decade lalu. Dr. La Pona, Dosen Universitas Cenderawasih dalam risetnya berjudul Transmigrasi Era Otonomi Khusus di Provinsi Papua yang diterbitkan jurnal Humaniora Universitas Gajah Mada tahun 2009 menyebutkan hambatan utama pembangunan transmigrasi di Papua diantaranya adalah permasalahan social antara transmigran dari luar Tanah Papua dengan transmigran dan penduduk local. Perbedaan latar belakang social dan taraf budaya kedua masyarakat menyebabkan masyarakat asli dan transmigran local termarginalkan atau terkalahkan dalam perbaikan kesejahteraan sehingga membuat rasa frustasi, rasa tidak senang, iri hati dan cemburu penduduk asli terhadap para transmigran dari luar Papua. Selain itu, kurangnya rasa menghargai budaya penduduk asli Papua di lokasi transmigrasi juga menyebabkan beragam persoalan social lainnya.
Saat ini, Tanah Papua berada dalam cengkeraman krisis kemanusiaan baru. Menurut PBB, dari tahun 2018 hingga 2022, antara 60.000 hingga 100.000 orang Papua Barat mengungsi sebagai akibat dari militerisasi Indonesia. Hingga September 2024, para pembela hak asasi manusia memperkirakan lebih dari 79.000 orang Papua masih mengungsi dan tidak dapat kembali ke rumah mereka. Indonesia terus menolak akses ke Tanah Papua yang diminta oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR). (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
Penulis…salah ambil foto…atau tidak tau..
Lampirkan foto penggundulan Hutan di kampung Zenegi…yg memang daerah itu Kawasan HUTAN produksi..HPH TI…PT Selaris inti semesta…
Nanti bikin berita ILEGAL LOGING
ambil foto dinperusahaan HPH
yg mereka semua memang di beri Izin pemerintah
Oh sosialisasi saja dulu… Ambil OAP yang mau dididik untuk berkebuh… Beternak atau apa saja yang bisa memicu pertumbuhan ekonomi kemudian di tempatkan selayaknya orang transmigrasi… Bisa juga diselingi dalam satu kelompok ada warga dari luar sebagai penyuluh atau pemandu usaha mereka.
Ini sepertinya lebih sesuai. Lahan trans ditata sedemikian rupa sehingga kelak jadi desa dan memeliki kota yg nyaman aman dan memudahkan untuk bersosialisasi.
Bisa diprediksi penduduk asli tidak mau kerja keras . Taunya ada yg dibutuhkan tanpa harus usaha…. Seperti ambil ambil hasil hutan, berburu dll. Maaf model seperti inilah yang harus di robah cara berfikir. Jika mau maju, modern dan bermartabat ya banyak belajar dan kerja keras.