Jayapura, Jubi – Kapal motor nelayan (KMN) asal Merauke, Provinsi Papua Selatan ditangkap otoritas negara tetangga. Kali ini bukan aparat di Papua New Guinea melainkan otorita Australia. Penangkapan terjadi pada 18 Juli 2024 lalu.
Kapal Motor Nelayan (KMN) Fadil Jaya bersama Anak Buah Kapal (ABK) telah digiring oleh ororita Australia ke negaranya. Otoritas di Darwin, Australia menahan lima nelayan itu.
Demikian jubi.id mengutip dari pemberitaan bisnis.com dan juga media di Merauke, papuaselatanpos.com
Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan, sampai kapan nelayan Indonesia bisa bebas dan mencari di wilayah territorial negara sendiri, tanpa harus melewati tapal batas. Celakanya sudah beberapa kali nelayam Indonesia tertangkap gara-gara menerobos masuk ke negara tetangga Papua New Guinea dan juga ke Australia. Ini memang sebuah ironi, negara kepulauan terbesar di dunia tetapi nelayannya seringkali ditangkap, diproses hukum dan tinggal di hotel prodeo PNG yang tidak memenuhi syarat minimal lembaga pemasyarakatan.
Peristiwa penangkapan nelayan Indonesia di negara tetangga, sebenarnya bukan hal yang baru terjadi. Media massa di Indonesia melaporkan penangkapan nelayan Indonesia pada 2022 lalu penangkapan dan penembakan hingga menelan korban jiwa nahkoda kapal.
Mengutip benarnews.org edisi 23 Agustus 2022 melaporkan nahkoda kapal motor nelayan (KMN) Calvin bernama Sugeng (48) tewas tertembak aparat Papua New Guinea(PNG). Penembakan ini dilakukan oleh aparat di sana karena nelayan Indonesia melanggar perbatasan dan melakukan penangkapan illegal.
Sementara rekannya yang lain akhirnya ditangkap, diadili dan ditahan, sejak Agustus 2022 sampai dengan 20 Agustus 2023. KBRI Port Moresby di PNG telah fasilitasi proses repatriasi 28 Nelayan WNI Kapal KMN Sanjaya 108 ke Indonesia melalui penerbangan langsung antara Port Moresby dan Denpasar pada 20 Agustus 2023.
KMN Sanjaya ini memiliki muatan sebesar 150 GT dengan hasil tangkapan ikan sejumlah 49 ton. Mereka ditangkap karena dugaan pelanggaran batas wilayah dan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing). IUU Fishing, sebutan khusus bagi tindakan penangkapan ikan secara ilegal dan tidak sesuai aturan.Ini adalah singkatan dari Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
Bagi negara tetangga PNG, kasus ini merupakan salah satu kasus IUU Fishing terbesar di sana dan mereka harus menempuh proses hukum yang berlaku di PNG. Para nelayan nelayan asal Merauke ini telah dijatuhi putusan hukum berupa denda, subsider masa tahanan.
Kapal dengan muatan sebesar 150 GT dengan hasil tangkapan ikan sejumlah 49 ton ini ditangkap di perairan PNG pada 6 Juni 2023 atas dugaan pelanggaran batas wilayah dan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing). Dari ukuran kapal dan jumlah muatan, kasus ini merupakan salah satu kasus IUU Fishing terbesar di Papua Nugini (PNG).
Kedubes RI di Port Moresby mengingatkan, fasilitas Lembaga Pemasyarakatan di PNG kurang layak dan mengingat penerapan hukum atas tindak pidana IUU Fishing sangat ketat sehingga tidak lagi melakukan aktifitas penangkapan ikan tanpa ijin diperairan Papua New Guinea (PNG).
Memang harus diakui bahwa secara statistik, pelanggaran perbatasan di wilayah Papua Nugini tidak sebanyak para nelayan di Kepulauan Natuna yang lebih banyak nelayan asal Vietnam ditahan dan ditangkap. Tetapi kasus di negara tetangga PNG pernah pula terjadi penembakan terhadap nelayan Indonesia hingga tewas.

Sebenarnya peristiwa penembakan ini bukan pertama kalinya di PNG terhadap nelayan asal Indonesia, pada 8 Agustus 2006 pernah pula Kapal Motor Nelayan Indonesia yang berada di Vanimo, Papua Nugini, ditembaki tentara Papua Nugini (PNG).
Waktu itu Konsul Perwakilan RI di Vanimo, Provinsi West Sepik, PNG membantu mengurus dan mengupayakan pemulangan jenazah nelayan bernama Mulyadi. Bukan hanya itu saja dua rekannya juga terkena tembak hanya luka saja sedangkan tujuh lainnya ditahan.(detik.com, 11 Agustus 2006).
Illegal fishing dan standing stock
Faktor yang membuat nelayan menebar jala dan pancing ikan sampai ke negara tetangga, karena karena ketersediaan ikan yang berkurang atau standing stock fish menurun di perairan laut di Laut Arafura dan sekitar Selatan Papua (Merauke) berkurang. Hal ini yang membuat para nelayan dengan KMN mulai mencari ikan sampai melewati tapal batas negara di Provinsi Daru di PNG.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Papua Edison Awoitauw di Jayapura, kepada Kompas.id , 27 Juli 2022, mengatakan rata-rata tangkapan nelayan tradisional di bawah dua ton untuk sekali turun melaut. Jarak untuk mencari ikan maksimal mencapai 20 mil laut atau 37 kilometer dari bibir pantai. Hanya 20 persen nelayan di Timika dan Merauke yang beroperasi dengan kapal berukuran 100-200 gros ton (GT).
Dengan fakta yang ditunjukan di atas, nelayan-nelayan di wilayah Timika Kabupaten Mimika,Provinsi Papua Tengah sekarang dan juga di Merauke, Provinsi Papua Selatan, jelas akan meningkatkan operasi penangkapan karena mengejar keuntungan dan juga pendapatan asli daerah. Meskipun kapal-kapal motor nelayan yang melaut itu kebanyakan pemiliknya berasal dari perusahan perusahan di Jakarta, Bali dan Sulawesi.
Mengutip media lokal di Timika, fajarpapua.com, pada 23 Juli 2024 melaporkan Dinas Perikanan Kabupaten Mimika, telah menahan Kapal Motor Nelayan (KMN) asal Jakarta di Pelabuhan Poumako di Timika yang bekerja sama dengan para bakul menurunkan ikan tanpa melalui atau melaporkan hasil tangkapan kepada petugas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pomako.
Akibatnya Dinas Perikanan Mimika, Provinsi Papua Tengah harus menyita sebanyak delapan ton ikan hasil tangkapan kapal motor dari Jakarta.
Banyaknya kapal kapal motor nelayan di Pelabuhan Poumako Timika dan juga di Pelabuhan Kelapa Lima di Merauke, bisa menjadi salah satu faktor overfishing nelayan Indonesia di perairan Laut Arafura. Jumlah kapal notor nelayan yang banyak tentunya akan berpengaruh terhadap berkurangnya potensi ikan, meskipun belum ada penelitian yang menyebut turunnya potensi ikan di sana karena overfishing.
Penulis mengutip dari oceanjusticeinitiative.org telah melaporkan adanya dugaan kegiatan ilegal, unreported unregulated fishing (IUUF) terhadap puluhan kapal ikan Indonesia di ZEE Papua New Guinea.
Disebutkan bahwa sumber data Layanan Automatic Identification System (AIS) yang telah diolah dan merupakan layanan sistem digital yang berisikan koleksi data kapal menyebutkan bahwa adanya intrusi 59 (lima puluh sembilan) Kapal Ikan Indonesia (KII) di ZEE Papua New Guinea pada Februari 2022.
Dilaporkan pula ancaman IUUF tidak hanya berasal dari Kapal Ikan Asing (KIA), tetapi berdasarkan data yang diolah AIS, sebanyak 59 (lima puluh sembilan) Kapal Ikan Indonesia (KII), yang berukuran lebih dari 30 GT dan memiliki izin penangkapan ikan dari Pemerintah Indonesia, diduga telah melakukan illegal fishing di wilayah Dogleg, ZEE Papua New Guinea.
Sebagian besar KII tersebut menggunakan alat tangkap Pancing Cumi dan berasal dari Jakarta. Intrusi terjauh yang dilakukan KII di ZEE Papua New Guinea mencapai kurang lebih 30 Nautical Miles (55 km) dari garis batas ZEE Indonesia-Papua New Guinea.
Pada 2018, berdasarkan VMS kapal ikan Indonesia pada peta Global Fishing Watch (GFW), terdeteksi hanya beberapa KII yang melakukan intrusi di wilayah Dogleg bagian Selatan,PNG. Sedangkan pada tahun 2019, terdeteksi 10 KII melakukan intrusi di wilayah yang sama . Pada tahun 2020, tidak terjadi intrusi oleh KII di ZEE Papua New Guinea.
Kesimpulan sementara (hipotesis), disebutkan intrusi KII tersebut disebabkan oleh berkurangnya stok sumber daya cumi dan sotong di WPP 718. Hal ini mendorong KII menangkap ikan di wilayah Dogleg, ZEE Papua New Guinea yang berbatasan langsung dengan WPP 718. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718, cakupan perairan ini meliputi Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur.
Mengutip darilaut.id melaporkan berdasarkan data di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (Januari 2018), kemampuan potensi perikanan di WPP 718 sebesar 2.637.565 ton.
Dengan potensi tersebut, jumlah yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk ditangkap sebesar 2.110.053 ton. Batas jumlah tangkapan ini sebagai isyarat untuk terus menjaga stok ikan di perairan tersebut. Di WPP 718, yang terlalu banyak dimanfaatkan jenis ikan karang dan cumi-cumi
Pendapat ini pula diakui oleh Destructive Wacht Fishing Indonesia (DWFI) bahwa memang standing stock ikan di wilayah perairan Laut Arafura terutama di Mimika dan Merauke semakin berkurang akibat banyaknya nelayan yang melaut. Memang laut kita luas bukan berarti harus melewati tapal batas. Negara Indonesia dan Papua New Guinea perlu membahas masalah illegal fishing dalam pertemuan tapal batas antara kedua negara yang setiap tahun dilakukan.(*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!