Jayapura, Jubi- Sejak masih dijajah Belanda dengan nama Nederlands Nieuw Guinea, Tanah Papua sejak 1902 sudah melakukan program kolonisasi. Menempatkan para koloni di Merauke yang kini ibukota Provinsi Papua Selatan.
“Kemudian pada 1908 penempatan warga Jawa dan orang-orang dari Timor di pemukiman Kuprik. Tahun 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di Spaden dan Mopah lama,”Demikian dikutip dari buku berjudul “Otonomi dan Lingkungan Hidup; Prospek Pengelolaan Lingkungan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku pada Era Otonomi Daerah. Semakin Buruk atau Baik!.”
Buku keluaran 2001 ini dicetak jelang UU Otsus mulai diberlakukan. Salah artikel dalam buku tersebut berjudul, “Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika, atasi Disintegrasi Bangsa.”
Lebih lanjut dalam buku itu ditulis tentang kisah kolonisasi Jaman Belanda di Merauke baru pada 1943 setelah Perang Dunia, pemerintah Belanda melakukan penelitian melalui bantuan negara-negara Eropa terutama Prancis, Belanda yang memiliki wilayah jajahan di Pasifik Selatan.
Hal ini dipertegas lagi dalam Perjanjian Canberra, 7 Februari 1947 tentang pembentukan Komisi Pasifik Selatan yang bertanggung jawab atas masa depan wilayah Pasifik terutama Belanda, Prancis, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru. Negara Belanda kemudian keluar dari Pasifik Selatan, setelah Irian Barat 1 Mei 1963 kembali ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Prof Dr Koentjaraningrat dalam buku berjudul “Penduduk Irian Barat”, proyek Kumbe zaman Belanda ialah suatu usaha untuk mengubah suatu daerah rawa di bagian hilir sungai Kumbe, menjadi tanah pertanian. “Daerah daerah rawa itu akan dikelilingi bendungan, sehingga air dapat diatur dengan sistem saluran irigasi dari sungai Bian kala itu,” (Penduduk Irian Barat halaman 271).
Pada 1943, Belanda mulai melakukan penelitian rencana pengembangan sawah di Merauke. Terutama di areal dekat Sungai Digul sampai ke Sungai Bian hingga ke areal Muting. Bahkan setelah Perang Dunia berakhir, pemerintah Belanda berupaya membuka areal yang direncanakan untuk mendatangkan orang-orang Jawa dan ditempatkan di sekitar Merauke.
“Di sinilah muncul penduduk yang dikenal dengan sebutan “Jamer” alias Jawa Merauke,” tulis Prof Dr Ikrar Nusa Bakti dalam artikelnya berjudul “ Dampak Sosial, Politik dan Keamanan Transmigrasi di Irian Jaya” dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – sekarang bergabung dengan BRIN.
Namun yang menarik dalam artikel Prof Dr Ikrar Nusa Bakti, daerah transmigrasi di Sorong dan Merauke kekurangan air minum. Ironisnya, pada musim hujan mereka tidak dapat bertani atau menumbuhkan tanaman. Karena curah hujan cukup tinggi.
Dr JR Mansoben, antropolog lulusan Universitas Leiden Belanda kepada Jubi di Jayapura, Minggu (23/9/2024) mengakui kalau Belanda telah meneliti areal persawahan terutama di Kumbe dan sekitarnya.
Begitupula pada masa Fundwi atau Fund West Irian dari PBB, juga melakukan riset di sana tentang persawahan di Merauke. Tetapi tidak ada laporan tentang kelayakan areal persawahan di Merauke.
“Pengalaman pada 2015 sekitar September sampai musim panas di Australia sangat berdampak di Merauke. (saat) musim kemarau sehingga sungai-sungai di sana kering kerontang dan tanah-tanah pecah termasuk di Boven Digoel maupun di Mappi, terkecuali di Asmat arah Barat yang masih ada air sedikit kala musim kemarau,”kata Mansoben
Kata Masoben, pernah terjadi kemarau panjang di Merauke sekitar enam bulan. “ Karena kemarau yang panjang di Merauke, sekitar enam bulan. Maka para transmigran berbondong-bondong ke kota Merauke bekerja sebagai penjaja air (menjual air per jerigen dalam gerobak dorong) atau dagang gerobak gerbak air. Namun setelah musim hujan mereka kembali lagi ke lokasi permukimannya,”demikian dikutip dari Cenderawasih Pos, 6 Januari 1995.
Soal pembukaan sawah-sawah baru, juga mendapat sorotan dari Prof Dr Charlie D Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat dan juga dosen Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua.
Menurutnya, pembukaan sawah-sawah baru ini dilakukan tanpa kajian memadai. “Ini kontraproduktif dengan kondisi agroekologi dan budaya masyarakat,”kata Heatubun dalam buku berjudul “Sagu Papua untuk Dunia”, oleh penulis Ahmad Arif wartawan Kompas, 2023.
Lebih lanjut kata Prof Dr Heatubun, ekosistem di tanah Papua tidak cocok untuk sawah, sehingga butuh input pupuk kimia yang banyak. “ Selain itu, budidaya padi tidak akan mudah dilakukan oleh orang Papua, sehingga akan menambah ketergantungan,”katanya.
Pendapat Heatubun ini selaras dengan pendapat para pakar antropologi yang menyebut bahwa kultivasi padi telah berabad-abad mengakar dalam budaya orang-orang Asia. Sehingga butuh ketekunan, disiplin dalam melakukan penanaman padi, hingga pasca panen.
Buku “Otonomi dan Lingkungan Hidup, Prospek Pengelolaan Lingkungan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku pada Era Otonomi Daerah. Semakin Buruk atau Baik! “telah mengingatkan bahwa anggapan hutan tropis subur karena adanya hutan yang lebat merupakan suatu mitos daripada suatu kenyataan. “Hanya dengan beberapa pengecualian, hampir semua tanah hutan tropis tidak sesuai untuk pertanian intensif,” demikian tertulis dalam buku itu.
Disebutkan juga, “kesuburan tanah” di daerah tropis merupakan suatu sistem atau siklus pemanfaatan energi secara tertutup dan sangat rentan (sinar matahari), produsen (tumbuhan), bahan organik yang mati pengurai (bakteri), konsumen (tumbuhan dan binatang) yang sangat kecil terhadap siklus.
“Pembabatan hutan mengakibatkan hilangnya siklus energi. Sehingga dapat mengganggu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akan membuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis hanya memberikan hasil panen yang baik selama 2-3 tahun dan beberapa kali panen saja,”tulis buku itu seraya menambahkan tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida) kegiatan pertanian di daerah daerah tropis terhenti.
“Peladang berpindah-pindah sebenarnya suatu pola pemanfaatan lahan tropis yang sesuai dengan keadaan ini . Akhirnya lahan kehilangan kesuburan maka para peladang akan membiarkan lahan tersebut (follow period) untuk memperbaiki siklus energinya. Namun sangat sulit diterapkan dalam kegiatan pertanian menetap. Jika kesuburan pencemarannya terbatas pula. Yang jelas proses pemusnahan spesies tertentu bisa saja terjadi.”
Menurut pakar lingkungan Prof Dr Ronald G Petocz, dalam bukunya “Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya,” disebutkan di Merauke, Papua Selatan memiliki tanah alluvium dan gambut sebagian lagi tanah latosol dan lateritik. Terdiri dari hutan bakau, rawa-rawa dan dataran rendah (100 meter-1000 meter).
“ Hutan dataran rendah dan alluvial kaya sekali akan spesies dan mengandung sebagian besar dari jenis-jenis kayu Papua yang terpenting. Eualyptus (kayu bush dalam bahasa Suku Malind Merauke); Melaleuca dan sabana campuran yang juga menandao daerah di Papua Selatan,”tulis Petocz seraya menambahkan daerah daerah Gelam; Melaleuca mengelililing padang alang alang Imperata.
Dipastikan gagal
Para pakar sudah melihat kondisi ekosisten hutan tropis alam di Papua Selatan. Termasuk Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Dwi Andreas Santosa. Dia juga sudah menyangsikan rencana pemerintah membangun food estate di Merauke, Papua Selatan dapat berhasil.
Dia justru memprediksi proyek cetak sawah dan tebu seluas 2,29 juta hektar itu, akan berakhir mangkrak seperti yang terjadi pada program sebelumnya.
Alasan Andreas ragu, karena pemerintah tak pernah belajar dari kegagalan dalam membangun swasembada pangan. Ditambah, pemerintah hanya berorientasi membuka hutan sebagai lahan baru dengan menghabiskan anggaran puluhan triliun rupiah.
Terlepas dari pro dan kontra soal areal persawahan baru dan perkebunan tebu seluas, 2,29 hektar di Merauke, Papua Selatan, ternyata perusahaan Produsen alat berat asal Cina bernama Sany Heavy Industry Co Ltd menerbitkan siaran pers tentang pembelian 2.000 unit ekskavator oleh PT Jhonlin Group—korporasi tambang milik Andi Syamsuddin Arsyad atau dikenal Haji Isam.
Alat berat itu akan digunakan membuka lahan pertanian seluas 1,18 juta hektare. Total sudah 118 unit ekskavator yang sampai di Wanam, Merauke.
Sebelumnya Jubi juga pernah mewartakan, kurun waktu dua dekade terakhir atau selama kurun waktu 2001-2021, kawasan hutan di Kabupaten Merauke telah hilang seluas 925.000 hektare dan 2.652.335 hektare. Itu semua telah dikonversi “untuk pembangunan dan pertumbuhan” dalam kurun waktu yang sama.
Laporan hilangnya kawasan hutan di Merauke dihasilkan melalui citra satelit Hansen Global Forest Change v1.9 2021 – dataset Hansen/UMD/Google/USGS/NASA yang diakses melalui Google Earth Engine pada hari Senin, 25 Juli 2022.
Dengan menggunakan data penginderaan jauh yang dikembangkan oleh Dosen Geografi Universitas Indonesia, Masita Dwi Mandini Manesa, data tersebut menunjukkan 59,4 persen dari total luas hutan Merauke yang mencapai 4.461.166,92 hektare, digunakan untuk perkebunan, pertanian, dan tanaman pangan seperti kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan lumbung pangan.
Kehilangan hutan mencakup 20,73 persen dari total luas hutan. Kabupaten Merauke sendiri memiliki luas wilayah 46.792 kilometer persegi. Kini dengan pembukaan perkebunan tebu dan areal persawahan baru tercatat pada Juni 2024 sebanyak 2,29 juta hektar hutan tropis berubah fungsi menjadi perkebunan dan sawah.(*)