Jayapura, Jubi – Peneliti BRIN, Rosita Dewi PhD mengatakan spirit dari Otsus itu sendiri untuk rekognisi orang asli Papua. Namun setelah 20 tahun implementasi Otsus, justru terlihat hal-hal paradoksal.
Menurutnya konsep penentuan nasib sendiri ada dua bentuk. Yaitu penentuan nasib sendiri secara internal dan eksternal. Jadi, adanya otonomi khusus Papua itu sebagai salah satu bentuk internal self determination.
“Ini juga sebenarnya pesan buat pemerintah bahwa jangan terlalu alergi dengan istilah self determination. Jadi perlu pahami yang dimaksud apakah internal self determination ataukah eksternal self determination. Jadi secara konsep otonomi itu dilihat sebagai sebuah bentuk win-win solution untuk isu separatisme di Papua,” kata Rosita saat menyampaikan presentasinya, di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Rosita Dewi menyampaikan jurnal yang pernah diterbitkan, berjudul ‘Paradoks Pengakuan Papua setelah dua dekade Otonomi Khusus: Rasisme, Kekerasan, dan Penentuan Nasib Sendiri’. Ia mengatakan sebenarnya topik yang dirinya angkat dalam jurnal ini, terkait bagaimana 20 tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, terkaitrekognisi di Papua.
“Otonomi khusus Papua ini sebenarnya merupakan hasil negosiasi politik waktu itu tahun 2001 dan disusun sebagai bentuk resolusi konflik. Ini menyediakan legal encounter soal recognition untuk Papua dan rekognisi terhadap eksistensi keberadaan serta pemenuhan hak-hak asasi dari orang asli Papua,” katanya.
Ia menuturkan, pemerintah memiliki ukuran sendiri dan orang Papua punya ukuran sendiri karena tidak pernah dikomunikasikan. Makanya pemerintah merasa tidak ada masalah di Papua yang penting memberikan Gubernur orang asli Papua, bupati dan perangkatnya itu adalah orang asli Papua. Ini yang acapkali digunakan pemerintah. Padahal di sisi lain yang dituntut orang asli Papua bukan indikator seperti itu.
“Misalnya sebelum revisi undang-undang Otsus itu juga dilarang pembentukan partai lokal di Papua, karena dianggap sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap representasi politik terhadap orang Papua. Kemudian hal-hal seperti ini yang tidak bertemu antara indikator yang digunakan pemerintah dengan indikator yang digunakan oleh orang asli Papua kemudian juga kekerasan yang terus berlanjut eskalasi kekerasan ya terus meningkat di tanah Papua,” ujar peneliti Papua dari BRIN itu.
Pusat Riset Politik, Yogi Setya Mernama juga memaparkan refleksi akhir tahun yang menyampaikan terkait ‘Peran ketakutan dan ingatan dalam konflik etnonasionalis di Papua Barat’.
Menurutnya siklus kekerasan yang tidak pernah selesai di Papua itu, memunculkan sebuah perdebatan akademik yang belum tuntas.
Bisa dikategorisasikan, ada tiga pendekatan yang utama dalam memotret siklus kekerasan di Papua. Pertama, perspektif instrumentalis yakni kenapa konflik Papua itu tidak bisa selesai? karena memang kekerasan itu digunakan sebagai alat untuk meraih kepentingan politik dan ekonomi.
“Kemudian kenapa siklus kekerasan tidak bisa selesai, itu karena ada non instrumental factor terkait dengan ideologi. Kaitan dengan ideologi yang mengantar pada faktor lain dalam apa yang biasanya diadopsi dalam literatur untuk melihat konflik kekerasan di Papua. Itu adalah kegagalan pembangunan jadi monetisasi atau pembagian uang di Papua itu, justru memicu konflik baru. Berujung ada siklus kekerasan yang tidak bisa usai,” katanya.
Yogi Setya mengatakan, pihaknya ingin memotret aspek lain yang jarang sekali disentuh. Yakni tentang faktor emosi atau ketakutan. Pihaknya ingin melihat sejauh mana faktor emosi itu berpengaruh terhadap siklus kekerasan yang tidak pernah usai di Papua.
“Sejauh mana aspek emosi atau perasaan terancam, kemudian berubah menjadi ketakutan secara sosial. Itu memengaruhi konflik kekerasan yang tidak usai di Papua. Salah satu faktor utama terkait dengan emosi, membuat sulit untuk memutus siklus kekerasan di Papua itu, karena ada yang disebut dengan memoria passionis (sejarah kekerasan-red)di sini,” ujarnya.
Menurutnya, ingatan akan penderitaan dan kekerasan itu dirawat terus-menerus dan ditransfer ke generasi. Ini kemudian membentuk perasaan keterancaman bagi teman-teman warga asli Papua terutama di daerah Pegunungan. Kadang kala, ketika merasa ketakutan karena perasaan terancam, mereka bisa membentuk sebuah kolektif kemarahan bersama.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!