Jayapura, Jubi – Dokter Willem Hendrik Vriend atau akrab dikenal sebagai dr. Wim, yang menghabiskan 34 tahun pelayanan misi kesehatan di Papua Pegunungan, meninggal dunia pada usia 95 tahun di Brisbane, Australia. Dokter Willem Hendrik Vriend meninggal dunia pada Rabu (17/1/2024) dan dimakamkan hari ini, Rabu (31/1/2024).
Meninggalnya dr. Vriend membawa berita duka bagi orang asli Papua, terutama bagi masyarakat di Lembah Yalimo, Wamena dan sekitarnya.
Mendengar berita duka ini, salah satu putra asli suku Yali, Natan Pahabol menyatakan rasa kehilangan yang besar. Baginya, dr. Vriend sangat berjasa bagi pemajuan orang Papua terutama masyarakat Anggruk dan sekitarnya.
“Sampai hari ini kami belum menemukan dokter seperti dokter Vriend yang waktu itu di Anggruk. Kami belum menemukan,” kata Pahabol yang ditemui Jubi, Rabu, pekan lalu di kediamannya di Kota Jayapura.
Pahabol yang juga anggota DPR Provinsi Papua menggambarkan mendiang dr. Vriend dan Pdt. dr. Siegfried Zollner sebagai orang luar suku Yali pertama yang berani masuk ke dalam kehidupan orang Yali.
Pdt. dr. Siegfried Zollner dan dr. Vriend meninggalkan Belanda pada 22 September 1960 dan mendarat pertama kali di Pulau Biak pada 24 September 1960. Dari Biak, keduanya menuju Hollandia (saat ini Jayapura), lalu ke Wamena.
Dari Wamena, pada 24 Desember 1960, keduanya ke Kurima dan tinggal sekitar 5 bulan. Setelah jalan kaki melewati beberapa kampung, pada 24 Mei 1961, keduanya akhirnya tiba di Anggruk.
Lapangan terbang
Dengan bantuan warga setempat, mereka mulai membangun lapangan terbang dengan peralatan sederhana seperti sege—kayu untuk menggali—cangkul dan tangan kosong.

“Itu pekerjaan pertama yang mereka buat. Kerja [sampai siap jadi landasan] sekitar 1-2 tahun,” kata Pahabol.
Pemilihan lokasi untuk membuat lapangan terbang kala itu tidak mudah. Topografi wilayah Yali yang bergunung-gunung membuat survei pemilihan tempat tidak bisa dilakukan dengan berjalan kaki.
Pahabol bilang, beruntung saat itu, ada seorang pilot yang juga bekerja atas utusan misi yang membantu melakukan survei dari udara untuk menentukan tempat landasan pesawat berbadan kecil.
“Waktu itu bicara lewat radio SSB (Single Side Band), pilot Capten Bob Johanson terbang. Dia pantau dari atas pesawat dan sampaikan mereka harus ke bagian lain lagi yang lebih rata untuk bangun lapangan terbangnya. Akhirnya mereka ikuti itu dan bikin. Sekarang lapter Anggruk itu,” kata Pahabol, merujuk pada buku yang ditulis Pdt. dr. Siegfried Zollner berjudul, “Damai di Pegunungan Papua: perjumpaan pertama dan perintisan misi di Suku Yali.”
Posisi lapangan terbang Anggruk sendiri berada di atas badan gunung. Pada satu sisi, yang menjadi pintu keluar-masuk pesawat, jurang yang di bawahnya terdapat sungai. Sementara pada sisi sebaliknya, menanjak.
Kehadiran lapangan terbang tersebut menjadi simbol lahirnya pembangunan di Anggruk, yang kemudian diikuti dengan pendidikan dan kesehatan untuk warga Yali. Sejak itu, pengiriman bantuan bahan makanan, pendidikan dan kesehatan mulai berdatangan.
Rumah Sakit GKI Effatha Anggruk
Pembangunan selanjutnya yang dilakukan mendiang bersama rekannya Pdt. dr. Zollner—tentu dengan bantuan warga Yali—adalah membangun pusat pelayanan kesehatan yang dinamai rumah sakit GKI Effatha Anggruk.
Rumah sakit dibangun dengan menggunakan bahan-bahan lokal. Dia memiliki tiga gedung masing-masing poliklinik, bangsal perempuan dan bangsal laki-laki.
“Mengapa diberikan nama Effatha, karena kalau kita lihat di dalam Alkitab, Effatha itu artinya tempat yang penuh dengan orang yang sakit penyakit. Disitu mereka mendapatkan kesembuhan, pada waktu perjanjian baru, oleh Yesus. Sehingga, nama tempat ini dihubungkan dengan firman Tuhan, supaya orang sakit bisa sembuh di rumah sakit GKI Effatha,” kata Pahabol.
Menurut Pahabol, rumah sakit GKI Effatha cukup terkenal hingga ke kabupaten lain di tanah Papua pada tahun 1961 hingga 1970an. Selain memiliki dua orang dokter, rumah sakit ini juga didukung dengan peralatan dan tenaga medis seperti suster dan bidan yang didatangkan dari Belanda.
“[Banyak orang dari luar Anggruk datang untuk berobat] karena pertama udaranya yang bersih, lalu dia [dr. Vriend] bisa operasi, dan punya tenaga suster dan bidan yang lengkap seperti suster Trince, Ustrad, suster Martha, dan beberapa suster, mantri, bidan, dari GKI di Tanah Papua,” kata Pahabol.
Menurut Pahabol, para pasien bahkan datang dari kota besar seperti Jayapura, Biak, Sorong juga Wamena. Pasiennya pun dari berbagai latar belakang.
“Dahulu orang dari kota kirim ke kampung (Anggruk). Yang dahulu kami dengar juga orang dari PNG, dari Sorong, Biak, pendeta yang rasa sakitnya berat dan ditolong. Apalagi itu istri dari pilot, istri-istri misionaris yang kerja di pantai ini, misionaris, tahun 60an-70an masa transisi itu, istri yang mengandung dan susah melahirkan itu dia tidak lihat di sini, karena waktu itu masa transisi dan orang Indonesia masuk lagi sehingga lebih baik diberangkatkan ke Anggruk. Rumah sakit di Anggruk bagus pelayanannya. Itu apa, itu karena dr Vriend itu ada sebagai motor penggerak di tempat itu,” kata Pahabol.
Keduanya juga disebut Pahabol sebagai orang yang berhasil mengubah pandangan orang asli bahwa masih ada dunia luar selain Yali.

“Mereka diutus oleh gereja di Jerman dan Belanda untuk menyelamatkan orang Papua, secara khusus orang Yali, yang waktu itu [merasa] sebagai penguasa dunia. [Saat itu] orang Yali rasa bahwa tidak ada orang [lain] di dunia ini, cuma kita [orang Yali] saja. Tidak ada utara, selatan, timur, barat. [Merasa] yang ada cuma kita saja,” ujar Pahabol.
Rumah bercerobong asap
Salah satu kenangan dari mendiang dr. Vriend yang tak pernah terlupa adalah rumah dengan cerobong asap, kata Pahabol.
Agaknya ada persamaan antara orang-orang Yali—dan kebanyakan orang Papua di daerah pegunungan—dengan kebudayaan dr. Vriend dari negaranya, tentang konsep penghangat ruangan dengan tungku api di dalam rumah.
Yang membedakan, honai—rumah tradisional—tidak memiliki saluran pembuangan asap seperti di Eropa atau negara dingin lainnya, yang memiliki cerobong asap.
“Konsep itu yang dr. Vriend bawa dan dia bangun di sini,” kata Pahabol. “Itu pertama di Anggruk, tahun 61 beliau bangun rumah dan bikin api di dalam dan asap naik karena model bangunan Wamena itu cocok dengan di Belanda, barangkali. Setelah pindah di Wamena tahun 1975, dia juga menerapkan struktur bangunan yang sama, sehingga di Wamena kota kalau kita jalan bisa lihat ada rumah-rumah yang dibangun tahun 80an, 70an, dengan cerobong asap yang naik.”
Meski telah pensiun, mendiang dr. Vriend bersama sang-Istri pernah kembali mengunjungi Papua antara 2011-2012. Kunjungan itu menjadi pertemuan terakhir Pahabol dengan sosok yang dikaguminya.
“Saya juga senang karena kunjungan terakhir yang beliau datang pada tahun 2011, 2012. Saya yang mengantar ke Anggruk bersama istrinya. Dan kini kami mendengar bahwa beberapa waktu lalu beliau meninggal dan dimakamkan pada tanggal 31 Januari ini,” katanya.
“Semoga karya pelayanan beliau untuk orang Yali, kami kenang dan kami menghormati. Kami berdoa supaya keluarga yang ditinggalkan terutama mama Eny di Australia dan juga anak-anak dikuatkan oleh Tuhan dan karya pelayanan dr Vriend untuk orang Yali, orang Papua,” ujar Pahabol. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!