Jayapura, Jubi – Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember (AMP KK Jember) menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menangkap, mengadili, serta memenjarakan para jenderal, yang diduga terlibat melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), selama bertugas di Tanah Papua seperti di daerah konflik hingga menimbulkan korban jiwa.
Hal itu dikatakan Etanias Wandikbo, koordinator lapangan pada aksi memperingati 59 tahun aneksasi Papua ke NKRI, Minggu (1/5/2022) di Kota Jember, Jawa Timur.
Menurut Wandikbo, pelanggaran HAM semakin sering terjadi di Tanah Papua. Mulai dari penembakan terhadap masyarakat sipil, penangkapan aktivis, pembungkaman ruang demokrasi, pelecehan seksual, serta kriminalisasi gerakan pro-kemerdekaan Papua dengan pemberian label teroris.
“Tangkap, adili dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM yang pernah dan sedang bertugas di Tanah Papua,” kata Wandikbo kepada Jubi melalui keterangannya, Senin (2/5/2022).
Kini sudah memasuki 59 tahun West Papua [Provinsi Papua dan Papua Barat] dianeksasi ke dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Sejak 1 Mei 1963 sampai 1 Mei 2022, wilayah Papua telah lama menjadi sengketa antara Indonesia, Belanda dan Amerika dalam menentukan status West Papua dimulai dari Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 dan dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Belanda-Indonesia tahun 1949.
Wandikbo menjelaskan, namun dari kedua perjanjian tersebut, status West Papua masih belum selesai hingga Belanda mengamandemen konstitusi bahwa West Papua adalah bagian dari Kerajaan Belanda pada tahun 1956.
Ia mengungkapkan, rakyat West Papua yang melihat situasi objektif ini kemudian mulai mengkonsolidasikan diri agar terlepas dari Indonesia, Belanda maupun Amerika serikat. Tepat pada tanggal 1 Desember 1961 rakyat West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara yang merdeka yang telah diakui dan sah secara de facto maupun de jure.
“Namun Indonesia (Soekarno) menanggapi kebebasan berdaulat tersebut dengan mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 Desember 1961 yang isinya: Bubarkan negara boneka Papua buatan Belanda, Kibarkan sang saka merah putih di seluruh Irian Barat dan bersiaplah melakukan mobilisasi umum,” ujarnya.
Wandikbo juga berpendapat, Undang Undang Otonomi Khusus (Otsus) merupakan kebijakan pemerintah pusat yang dipaksakan terhadap rakyat Papua dari tahun 2000, dan hal ini, kata Wandikbo, semakin memperparah penjajahan di West Papua.
Bentuk penjajahan selama masa Otsus itu, kata Wandikbo, dapat dilihat dari penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam di atas wilayah yang didiami orang asli Papua. Hal itu ditunjukkannya melalui data yang dirangkum oleh Sawitwatch (2021) 998, 094,2 ha (Papua) ditambah 576,090 ha (Papua Barat) adalah luas hutan yang dieksploitasi oleh kelapa sawit dengan ratusan perusahaan di dalamnya.
“Akses pertambangan legal maupun ilegal seperti tambang minyak, gas, emas, perak, uranium, biji besi dan lainnya yang dibuka lebar bagi investor lokal dan asing. Demi melancarkan eksploitasi sumber daya alam Papua, dilakukan operasi-operasi militer yang mengakibatkan 13.687 jiwa mengungsi dari Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat dan daerah lainnya hingga 64 jiwa meninggal selama pengungsian,” ujarnya.
Juru bicara aksi AMP KK Jember, Yomiles Jikwa menilai, pembentukan DOB dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan pelabuhan merupakan akses lebih untuk kepentingan pemilik modal dan elit-elit birokrat.
“Dari sejarah dan situasi maupun kondisi yang terus berkembang sampai hari ini. Dapat kami simpulkan bahwa tidak akan pernah ada masa depan selama bangsa Papua masih berada di dalam ketika Kolonial Indonesia dan hanya dengan menentukan nasibnya sendiri bangsa Papua akan terbebas dari segala bentuk sistem yang menindas seperti militerisme,” kata Jikwa.
Pihaknya juga meminta agar pemerintah pusat dan pihak militer Indonesia menghentikan segala bentuk operasi militer di West Papua yang berpotensi melahirkan lebih banyak pelanggaran ham. AMP juga mendorong penyelesaian pelanggaran ham dan pelurusan sejarah serta penentuan nasib sendiri oleh rakyat West Papua.
“Kami meminta kepada Negara Republik Indonesia agar hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat dan seluruh Wilayah West Papua lainnya. Maka itu, PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua,” katanya. (*)
Discussion about this post