Jayapura, Jubi – Sabtu pagi di Sentani, Jayapura, Papua, hujan baru saja reda. Udara segar ikut menyambut perjalanan menuju Kampung Abar, sebuah kampung kecil di tepi Danau Sentani.
Kampung ini menyimpan warisan budaya yang telah bertahan selama 13 generasi, yakni seni membuat gerabah.
Perjalanan ke Kampung Abar tidaklah lama. Dari Dermaga Yahim, peserta kegiatan Menoken Gerabah hanya perlu menumpang perahu motor selama kurang dari 10 menit.

Dengan tarif Rp60.000, peserta mendapatkan fasilitas antar-jemput perahu dan konsumsi. Setibanya di kampung, mereka disambut hangat oleh Naftali Felle, Ketua Kelompok Pengrajin Gerabah Tradisional Titian Hidup.

Di bawah arahan Naftali, para peserta langsung didampingi menuju sanggar tempat mereka akan belajar membuat gerabah. Di sana, tiga perempuan pengrajin sudah bersiap menjadi mentor yakni, Lince Doyapo, Beatriks Felle, dan Marsina Pahabol.
“Di sini, semua peserta harus siap tangannya kotor,” ujar Naftali Felle. “Semua harus mencoba membuat sesuatu dari tanah liat.”
Tanah liat yang digunakan telah melalui berbagai tahap persiapan. Ada yang mencoba membentuk pot bunga secara manual, ada yang memanfaatkan cetakan berbentuk honai, tifa, bintang laut, dan daun, sementara beberapa lainnya mencoba teknik menggunakan mesin putar.
Belajar sabar lewat gerabah
Bagi Yokbeth Felle (24), pengalaman ini menjadi tantangan tersendiri. Ia mengaku tak menyangka proses pembuatan gerabah ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
“Ternyata sulit sekali. Saya coba beberapa kali salah, ulang lagi, salah lagi,” ujarnya sembari tersenyum.
Namun, justru dalam proses ini ia menemukan makna mendalam.
“Ini mengajarkan kesabaran. Dan yang terpenting, kegiatan ini membuat saya lebih menghargai budaya lokal,” tambahnya.
Yokbeth berharap anak-anak muda Kampung Abar tetap melestarikan tradisi gerabah ini. “Semoga kita semua bisa lebih menghargai gerabah sebagai bagian dari kearifan lokal Papua,” katanya.

Dari laki-laki ke perempuan
Seni gerabah di Kampung Abar telah bertahan hingga generasi ke-13. Menariknya, ada pergeseran peran dalam proses pembuatannya.
“Awalnya, hanya laki-laki yang membuat gerabah,” jelas Naftali Felle.
“Namun, sejak generasi ketujuh atau kedelapan, perempuan mulai mengambil alih.”
Meskipun kini mayoritas perajin adalah perempuan, laki-laki tetap berperan penting, terutama dalam menyiapkan bahan baku. Mereka bertugas mencari dan mengolah tanah liat yang berasal dari sekitar kampung.
“Kami punya tanah sendiri di belakang kampung ini,” ujar Naftali.
Ada lima jenis tanah liat yang tersedia: merah, coklat, kuning, hitam, dan putih. Dari semuanya, tanah liat hitam dianggap paling berkualitas karena hampir tidak mudah pecah setelah dibakar.
“Kelebihannya, tanah ini sudah bersih secara alami, tidak perlu proses tambahan seperti pengayakan,” tambahnya.
Namun, meskipun tanahnya berwarna hitam, hasil akhir setelah pembakaran akan berubah menjadi merah.

Gerabah sumber ekonomi
Bagi masyarakat Kampung Abar, gerabah bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sumber ekonomi. Dengan keterampilan ini, mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.
Biasanya, pesanan datang langsung ke sanggar.
Pengunjung yang ingin membeli atau memesan gerabah bisa langsung berkoordinasi dengan para pengrajin.
“Pot bunga paling banyak dipesan, harganya mulai Rp50 ribu,” kata Naftali. “Kalau mug Rp25 ribu, dan sempe (wadah tradisional) berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp300 ribu, tergantung ukurannya.”
Untuk ukuran sempe yang lebih besar, khusus digunakan oleh kepala suku, harganya bisa mencapai Rp500 ribu.
Namun, membuat gerabah bukan perkara mudah.
“Ini butuh keterampilan dan waktu,” ujar Naftali. “Bukan sesuatu yang bisa dilakukan terburu-buru.”
Meskipun begitu, ia tetap optimistis bahwa gerabah bisa menjadi salah satu pilar ekonomi keluarga di Kampung Abar.

Proses panjang
Sebelum tanah liat bisa digunakan, ada proses panjang yang harus dilalui. Dahulu, bahan baku yang diambil harus disiram air setiap pagi selama dua minggu untuk menghilangkan zat asam di dalamnya.
“Kalau tanah masih asam, saat dikeringkan dan dibakar, ukurannya bisa menyusut hingga lima sentimeter,” jelas Naftali.
Selanjutnya, tanah mengalami tahap pemijatan untuk memastikan tidak ada kerikil kecil yang tertinggal. Sebab, jika ada kerikil yang terlewat, hasil akhir gerabah bisa retak atau pecah saat dibakar.
Namun, kini proses itu telah lebih efisien.
“Sekarang, tanah liat langsung disaring sebelum digunakan,” kata Naftali.
Metodenya cukup sederhana. Tanah liat dilarutkan dalam air, kemudian dipindahkan ke wadah lain menggunakan saringan halus. Setelah mengendap dan mengering, tanah siap digunakan.
“Setelah itu, baru kami campur dengan pasir, perbandingannya 1 kilogram tanah liat dengan 1 gram pasir,” tuturnya.

Menjaga warisan leluhur
Kegiatan Menoken Gerabah ini bukan sekadar wisata budaya. Ini adalah upaya nyata untuk menjaga tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Gerabah Kampung Abar tidak hanya berbicara tentang tanah liat yang dibentuk, tetapi juga kisah-kisah leluhur yang tetap hidup dalam setiap lekukan wadah yang dihasilkan.
Bagi Naftali Felle dan komunitasnya, mempertahankan seni gerabah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang identitas.
“Kami ingin anak-anak muda tetap mengenal dan melanjutkan tradisi ini,” katanya.
Di Kampung Abar, tanah liat bukan sekadar bahan mentah. Ia adalah cerita yang terus dibentuk, diwariskan, dan dijaga agar tidak hilang ditelan waktu. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!