Jayapura, Jubi – Patricia Christilotha Mokay, adalah salah satu perempuan Papua yang membangun usaha bidang fashion (pakaian). dia merintis usahanya sejak 2020 dengan jenama Lot.ta Project, . Lot.ta dalam bahasa latin diartikan berjuang.
Jubi bertemu dengan Mokay di mini store Lot.ta Project yang berada di Kakao Kita Papua Cafe, Kotaraja, Papua, Sabtu (19/10/2024) sore. Perempuan kelahiran 24 Oktober 1994 itu mengatakan, sebagaimana nama jenamanya, dia ingin memperjuangkan perempuan yang bertubuh besar, mendapatkan busana yang tidak hanya nyaman, tapi punya gaya dan corak Papua.
“Kayak perempuan bertubuh besar susah untuk mendapatkan pakaian. Perjuangan itu yang ingin diangkat. Kita juga bisa loh perempuan big size bisa bergaya (style) dengan kita punya tubuh walaupun tidak ramping,” katanya.
Berawal dari keresahan itu, ide itu muncul pada 2019 dan pada 2020 usahanya tersebut mulai berjalan. Seiring berjalan, persaingan bisnis pakaian big size makin menjamur. Dari situlah, Mokay ingin memproduksi dengan motifnya sendiri.
“Awalnya jual daster big size, tapi makin kesini mulai banyak yang menjual produk big size. Nah, sempat terpikirkan untuk mengeluarkan produk dengan motif sendiri [ornamen Papua].” katanya.
Motif anggrek yang pertama dibuatnya ternyata banyak diminati. Sehingga melihat peluang tersebut, sulung dari tiga bersaudara itu memanfaatkan ornamen-ornamen Papua lainnya yang tidak kalah menarik. Selain anggrek, motif honai, tifa, dan sisir bambu juga menjadi produk yang banyak diminati.
Mokay memilih sisir bambu sebagai salah satu motif yang digunakannya. Menurutnya, sisir bambu identik dengan perempuan Papua untuk menyisir rambutnya. Jadi, ada cerita di balik sisir rambut itu.
Selain itu, produk Lot.ta project memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri yaitu hanya menggunakan motif yang simpel atau satu-dua ornament dalam produknya. Produknya juga, kata Mokay, tidak diproduksi dengan jumlah banyak (terbatas). Hal itu menjadi solusi bagi pembeli yang menginginkan barang hanya mereka yang punya atau hanya sedikit yang punya atau kemungkinan untuk kembar juga sedikit.
“Saya ingin punya motif yang simpel. Kalau yang lain biasanya memadupadankan (berbagai motif/ornamen), saya hanya memilih satu motif misalnya (angrek saja atau sisir bambu saja) untuk mendapatkan ciri khasnya,” katanya. “Saya juga tidak memproduksi barang yang sama, sehingga pembeli memiliki kesan limited karena tidak banyak yang punya.”
Produknya sendiri dibanderol harga paling mahal Rp265 ribu.
Ia juga melihat batik Papua biasanya digunakan untuk acara formal. Padahal, baginya batik Papua juga bisa dipakai untuk kegiatan sehari-sehari, contohnya untuk anak muda saat nongkrong. Peluang tersebut memantapkannya untuk membuat motif yang simpel tersebut.
“Sebenarnya itu [baju batik] bisa digunakan hari-hari biasa, kayak ready to wear [segala kegiatan],” ujarnya.
Keterbatasan alat produksi, minta perhatian pemerintah
Untuk membangun usahanya, Patricia Christilotha Mokay menyebutkan modal yang dikeluarkan Rp3 juta. Modalnya sendiri ia kumpulkan dari berjualan masker saat pandemi.
Namun, seiring berjalannya waktu, biaya operasional juga bertambah. Tantangannya, saat ini tempat produksi kain batik masih dikerjakan di luar Papua, karena tidak tersedianya alat produksi.
“Sekarang, saya ingin punya tempat membatik, kan itu batik cap, ingin bisa dicap dan diproduksi di sini. Cuman, beratnya itu kan membuka tempat produksi, karena butuh modal kan. Jadi produksi kainnya masih di luar tapi untuk penjahitnya, saya mencari di sekitar Jayapura,” katanya
Mokay memilih penjahit di Jayapura agar menumbuhkan perekonomian di Jayapura. Menurutnya, tidak fair apabila semua produknya dikerjakan di luar Papua sedangkan penjualannya di Papua.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah bisa mendata UMKM yang sudah berjalan 3-5 tahun untuk membantu alat atau bahan tepat sasaran sesuai yang dibutuhkan setiap UMKM untuk mengembangkan usahanya. “Kalau saya berharap bukan uang tapi alat,” ujarnya.
Dukungan keluarga dan pelanggan
Patricia Mokay mengaku saat merintis usahanya, orang tua tidak mendukung. Orang tua, katanya, berharap anaknya bisa mendapatkan pekerjaan tetap dengan penghasilan yang sudah pasti.
Untuk meyakinkan orang tuanya itu, ia membuktikan bahwa dirinya juga bisa memiliki penghasilan dengan berwirausaha. Sehingga, pada akhirnya orang tua mendukung. Bahkan kini adiknya turut membantunya dalam memasarkan produk melalui media sosial.
“Namanya hidup, ada masanya tidak ada uang kan. Jadi saat bisnis ini menjadi penyokong dalam keluarga itu menjadi pembuktian bahwa kita punya bisnis berhasil,” ujarnya.
Selain itu, pelanggan menjadi alasannya untuk tetap bertahan. Kadang kala bisnis tidak selalu ada pemasukan atau penjualan menurun. Namun, diakuinya, ketika ada pelanggan menanyakan ketersediaan stok barangnya atau yang memesan kembali. Itu hal yang membangkitkan semangatnya untuk terus bertahan.
Lot.ta project juga selain menjual pakaian ia juga menjual tas dengan motif sirih-pinang. Mini store milik Patricia tersebut juga menjual noken yang dibuat oleh mama-mama dari Genyem dan sejumlah produk UMKM lain untuk melengkapi tokonya itu. Ia pun tidak mengambil keuntungan dari penjualan dari produk yang dititipkan itu.
(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!