Tokyo, Jubi – Kaiji Wada, salah satu warga Muslim Jepang, menceritakan pengalamannya dalam menjalankan ibadah puasa pada Ramadan serta tantangan yang ia hadapi. Kaiji mengatakan ia sudah menjalankan puasa sejak 2017 sebelum ia memeluk agama Islam.
“Saya hanya penasaran dan ingin tahu bagaimana rasanya berpuasa seperti Muslim,” ucapnya di Tokyo, Senin (10/4/2023).
Uniknya, ia mampu menjalankan puasa hampir sebulan penuh hanya untuk memenuhi rasa penasarannya.
“Saya berpuasa 90 persen dari sebulan itu. Waktu itu saya belum punya iman atau keyakinan Islam. Itu hanya untuk tahu bagaimana menahan lapar dan haus,” ujarnya.
Namun, sejak ia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan menjalankan puasa, persepsi akan puasa itu sendiri berubah.
Menurut CEO Career Diversity itu, puasa adalah momentum untuk melihat ke dalam diri, yakni terkait mentalitas dan keyakinan.
Menurut dia, seorang Muslim yang berpuasa harus memiliki visi dapat memperbaiki diri lebih baik dari hari kemarin.
“Ketika kita berbicara tentang puasa, kita cenderung berbicara tentang makanan. Kita harus melihat lagi mengapa kita berpuasa dan membuat niat kita jelas. Ini yang kita harus jaga dalam pikiran kita untuk beribadah puasa,” katanya.
Kendati demikian, Kaiji tidak terlepas dari berbagai tantangan dalam menjalankan ibadah puasa terutama di negara minoritas Muslim, seperti Jepang.
“Tidak seperti di Indonesia, kita tidak melihat suasana Ramadhan di Jepang karena sebagian populasi Jepang adalah non-Muslim. Jadi, harus terus memotivasi diri dan menjaga iman dari diri sendiri,” katanya.
Momentum yang ia tidak lupa dalam berpuasa Ramadan setiap tahunnya adalah durasi puasa dan perjuangan pergi ke masjid untuk berbuka bersama dan shalat tarawih.
“Seperti sahur pada pukul 2 dini hari dan berpuasa sampai pukul 6-7 sore. Untuk pergi ke masjid, butuh setidaknya 30 menit berjalan kaki dan naik kereta. Tidak mudah, tapi saya merasakan semacam prestasi saat saya menyelesaikan semua itu dalam sebulan penuh,” katanya.
Untuk itu, Kaiji memiliki kiat dalam berpuasa, terutama dalam menentukan menu berbuka dan sahur agar tetap semangat berpuasa hingga berbuka.
Dia selalu mengawali buka puasa dengan air putih dan tiga butir kurma untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan menyantap natto, makanan khas Jepang dari kedelai, karena mudah diolah dan mengandung banyak protein.
Ia juga pernah menjalankan puasa di Indonesia di mana nuansa Ramadhan sangat kental, mulai dari banyak yang berjualan takjil di pinggir jalan, diskon Ramadhan dan Lebaran di berbagai pusat perbelanjaan, hingga jam kerja yang disesuaikan selama bulan suci tersebut.
Meskipun di Negeri Sakura tidak ada hal-hal semacam itu, keluarga dan teman-temannya tetap mendukung dengan tidak mengadakan pertemuan yang diikuti makan bersama selama Ramadhan.
Kaiji berpesan kepada sesama Muslim, terutama mualaf, di manapun berada untuk tetap semangat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
“Siapapun kalian, dari negara manapun kalian berasal, kita tetap berpuasa Ramadhan. Mari kita sebarkan berbagai informasi, pengalaman dan inspirasi baik bersama. Ini yang memotivasi kami siapapun kalian. Bismillah,” katanya.
Diaspora Muslim Indonesia bagikan donasi kepada tunawisma Jepang
Sementara itu, Diaspora Muslim Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Perawat Muslim Indonesia atau IPMI Jepang dan Masjid As-Sholihin Yokohama membagikan donasi kepada tunawisma Jepang pada Ramadan tahun ini.
Pengasuh Masjid As-Sholihin Yokohama Arif Junaidi mengatakan, pihaknya memberikan total 15 paket dalam kegiatan yang bertajuk “Tebar Paket Bahagia” kepada tunawisma Jepang di Stasiun Kannai, Yokohama.
“Melalui program kemasjidan ‘Tebar Paket Bahagia’ ini, kami pengasuh Masjid As-Sholihin Yokohama adalah bagian dari makhluk sosial. Makhluk sosial yang harus punya sifat peduli sesama,” ucapnya di Tokyo, Senin.
Paket itu berupa handuk wajah, sikat gigi, pasta gigi, makanan ringan halal, kopi dan teh kepada para tunawisma yang menempati rumah-rumah kardus di stasiun pusat kota tersebut.
Menurut data Pemerintah Kota Yokohama, para gelandangan saat ini mengalami penurunan dari 477 orang pada tahun lalu menjadi 285 orang pada tahun ini.
Sementara itu, merujuk pada data Survei Nasional Realitas Tunawisma, bahwa orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal itu bukanlah yang berada di bawah garis kemiskinan sejak lahir melainkan sebagian besar pernah bekerja, tetapi kemudian terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau tidak bisa bekerja karena sakit.
Arif mengatakan dari hasil komunikasi bersama para tunawisma bahwa mereka juga kerapkali mengalami pelecehan atau diskriminasi.
Untuk itu, Pemerintah Yokohama berupaya untuk membantu para tunawisma tersebut untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat.
“Peduli sesama adalah jalan interaksi antara manusia satu dengan lainnya dan juga sebagai salah satu cara agar manusia saling melengkapi,” katanya.
Donasi tersebut terselenggara dari hasil infak jamaah Masjid As-Sholihin Yokohama dalam program kegiatan Ramadhan 1444 Hijriah.
“Semoga masjid ini terbangun bukan hanya dari infak jamaah melainkan juga dari sedekah melalui program-program kemasjidan,” katanya.
Ditemui terpisah, Penanggung Jawab Kegiatan Ramadan IPMI Hida mengatakan pihaknya membagikan 30 paket makanan dan alat kebersihan dalam kegiatan baksi sosial kepada tunawisma di Shinjuku, Tokyo, Jumat (7/4/2023).
“Salah satu tujuan kami adalah memperkenalkan makanan halal orang Muslim,” katanya.
Kegiatan itu dilanjutkan dengan tausiyah dan buka puasa bersama anggota IPMI Jepang guna menjalin silaturahmi.
“Terutama teman-teman yang baru datang, belum lama ke Jepang untuk mengadakan kajian darat dan bakti sosial,” katanya. (*)