Sorong, Jubi – Dewan Adat Wilayah III Domberai menuntut transparansi dari aparat keamanan terkait insiden kekerasan yang menelan korban Abner Karet di Kota Sorong. Ketua Dewan Adat, George Ronald Konjol, mendesak pihak berwenang untuk mengungkap identitas anggota yang terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap warga sipil.
Konjol menegaskan bahwa aparat yang bertanggung jawab atas kematian Abner Karet, harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Mereka juga menuntut agar TNI membayar denda adat sebagaimana diatur dalam hukum adat Beliadati Jadwabirai, khususnya di Maybrat.
“Dewan Adat meminta pihak TNI menyelesaikan masalah ini dengan adil. Pelaku kekerasan harus dihukum setimpal, dan denda adat harus dipenuhi sesuai aturan yang berlaku di masyarakat Papua,” katanya, di Sorong, Kamis (20/2/2025).
Peristiwa tragis yang menewaskan Abner Karet ini bermula pada Jumat malam, 14 Februari 2025, di Jalan Watim, Distrik Aimas. Perselisihan antara seorang anggota TNI dan warga memicu eskalasi setelah anggota tersebut menghubungi rekan-rekannya. Tak lama kemudian, sekitar 40 anggota TNI tiba di lokasi dengan kendaraan roda dua.
Dalam suasana tegang, Abner Karet, yang tidak terlibat dalam konflik awal, justru menjadi korban salah sasaran. Ia diduga diculik, dianiaya, dan dikembalikan dalam kondisi kritis. Meski sempat mendapat perawatan, nyawanya tak tertolong dan ia dinyatakan meninggal dunia pada Minggu pagi, 16 Februari 2025.
Sebagai bagian dari penyelesaian konflik di tanah Papua, keluarga korban menempuh jalur adat selain proses hukum. Berdasarkan hukum adat Maybrat, pihak keluarga menuntut denda adat sebesar Rp2 miliar dari keluarga perempuan yang dianggap sebagai pemicu konflik. Setelah musyawarah, nilai denda disepakati sebesar Rp1,75 miliar.
Selain meminta keadilan bagi korban, Dewan Adat juga menyoroti disiplin aparat TNI di Papua Barat Daya. Mereka menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap prajurit, termasuk pemeriksaan kehadiran dan keterlibatan mereka di luar tugas kedinasan.
“Kami melihat insiden ini sebagai bukti kurangnya disiplin di tubuh TNI. Panglima TNI harus memastikan bahwa prajurit yang bertugas di Papua lebih memahami kondisi sosial dan budaya setempat,” ujar Konjol.
Selain itu, Dewan Adat menekankan pentingnya pendekatan berbasis kearifan lokal. “TNI harus memahami bahwa Papua sangat erat dengan adat dan budaya. Jika ada masalah dengan masyarakat, sebaiknya dilaporkan kepada kepala suku atau Dewan Adat sebelum mengambil tindakan sepihak yang berujung pada tragedi,” katanya.
Kematian Abner Karet bukan satu-satunya kasus kekerasan yang melibatkan aparat di Papua Barat Daya. Sebelumnya, seorang perempuan bernama Kesya Irena Yola Lestaluhu (20) menjadi korban pembunuhan di Pantai Saoka, Kota Sorong. Kasus ini melibatkan anggota TNI AL, Kelasi ASWP.
Jajaran Polisi Militer Angkatan Laut (PM-AL) Lantamal XIV/Sorong telah merilis kronologi kejadian. Menurut Mayor (PM) Anton Sugiharto, pelaku menjemput korban di rumahnya pada Minggu (13/1/2025) pukul 01.00 WP, sebelum akhirnya ditemukan tewas.
Kasus demi kasus yang melibatkan aparat keamanan ini menambah keresahan masyarakat Papua. Dewan Adat menegaskan bahwa kejadian serupa tidak boleh terulang. Mereka mendesak pemerintah dan institusi militer untuk lebih tegas dalam menindak pelanggaran hukum yang dilakukan aparat di Papua.
“Kami tidak ingin kejadian seperti ini terus berulang. Indonesia adalah negara hukum. Jika ada kejahatan, pelaku harus diproses sesuai hukum, baik hukum negara maupun hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” kata Konjol.
Sementara itu, LBH Kaki Abu Leonardo Ijie menegaskan bahwa proses hukum pidana terhadap para pelaku tetap harus berjalan terlepas dari adanya penyelesaian secara adat. “Kami berharap proses hukum tetap berjalan secara transparan. Harus jelas siapa saja anggota yang terlibat dalam penganiayaan dan siapa yang hanya ikut menyaksikan di lokasi,” ujarnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!