Manokwari, Jubi – Kejaksaan Tinggi Papua Barat menggelar pelatihan internal mengenai penanganan perkara narkotika. Pelatihan bertujuan meningkatkan pemahaman para jaksa dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika di Papua Barat.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat Muhammad Syarifuddin mengatakan pecandu narkotika tidak semata dipandang sebagai pelaku tindak pidana. Mereka juga merupakan korban sehingga harus direhabilitasi sebagai sanksi pidananya.
“Korban penyalahgunaan narkotika, terutama di kalangan muda cenderung meningkat [di Indonesia]. Komitmen dan sinergi seluruh penegak hukum serta pemangku kepentingan dibutuhkan untuk menyikapi permasalahan ini,” kata Syarifuddin, Rabu (4/12/2024).
Dia mengatakan sekitar 131 ribu dari sekitar 272 ribu tahanan dan narapidana di Indonesia berasal dari kasus penyalahgunaan narkotika. Sekitar 15 ribu dari seluruh tahanan dan narapidana kasus narkotika tersebut merupakan pengedar dan bandar narkotika. Adapun sebagian besarnya ialah pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.
“Sebanyak 116.117 tahanan dan narapidana kasus penyalahgunaan narkotika ialah pecandu atau korban. Jadi, sebagian besar atau 90 persen penghuni lembaga pemasyarakatan [di Indonesia] ialah pecandu narkotika,” kata Syarifuddin.
Dia mengatakan peredaran narkotika sebagian besar terjadi di Indonesia bagian barat. Namun, itu bukan berarti Kejati Papua Barat lengah dalam mencegah peredaran narkotika di wilayah penegakkan hukum mereka. “Kami lakukan pencegahan agar Papua Barat tidak menjadi daerah penyebaran narkotika.”
Pelatihan internal Kejati Papua Barat juga diikuti polisi, paramedis, dan personel Badan Narkotika Nasional (BNN) Papua Barat. Adapun narasumber pelatihan berasal dari BNN, Balai Rehabilitasi Narkotika Papua Barat Daya, dan Wakil Kejati Papua Barat Muslikhuddin.
Muslikhuddin menyatakan keberadaan jaksa dari Orang Asli Papua (OAP) berperan penting dalam mendorong regulasi lokal untuk menyelesaikan permasalah sosial setempat. Inisiatif penyelesaian permasalahan secara nonligitasi dan keadilan restoratif tersebut diakomodasi dalam Undang Undang Kejaksaan.
“Saya berharap jaksa-jaksa OAP mendorong peraturan daerah tentang hukum adat. Kalau tidak, buat apa kehadiran kalian [sebagai jaksa]. Masak saya yang bukan OAP berteriak-teriak mendorongnya?,” kata Muslikhuddin.
Dia menjelaskan tujuan hukum ialah memenuhi rasa keadilan, dan menjamin kepastian, serta kemanfaatannya bagi masyarakat. Karena itu, kearifan lokal memiliki arti penting untuk mengakomodasi perkembangan hukum nasional. Muslikhuddin menyebut kearifan lokal merupakan sebuah keadilan yang hidup di masyarakat. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!