Sorong, Jubi – Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI Komisariat Hukum Cabang Sorong dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau IMM Cabang Sorong, bersama Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Universitas Muhammadiyah Sorong, menggelar nonton bareng atau nobar dan bedah film dokumenter “Pesta Oligarki” karya WatchDoc, pada Senin (11/11/2023) malam, di halaman kampus Universitas Muhammadiyah Sorong.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu, Leonardo Ijie SH, saat diskusi mengatakan nobar film seperti ini penting, untuk memahami bahwa negara ini sedang digerogoti oligarki.
“Oligarki adalah bagaimana negara ini dijadikan sebagai lahan bisnis kapitalis. Sedangkan kami rakyat kecil, hanya sebagai objek. Oligarki ini berlangsung dari era Soeharto sampai hari ini,” ujarnya.
Menurutnya, kaitannya dengan Tanah Papua yakni tidak terlepas dari sejarah politik yang disebut dengan aneksasi atau bahasa awamnya “kawin paksa”. Orang Papua dimasukkan ke bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Munculnya kekuasaan oligarki di Indonesia pada masa jabatan Presiden Soeharto, dimulai dengan penandatanganan kontrak karya PT Freeport Indonesia di Mimika, Papua.
“Sistem kekuasaan di Tanah Papua hari ini, masih erat kaitannya dengan saat itu [era kekuasaan Soeharto), akhirnya Papua hari ini menuju situasi yang semakin kabur,” ujarnya.
Ketua HMI Komisariat Hukum Zainudin Narwawan menyampaikan, tujuan pemutaran dan bedah film ini untuk menyajikan kepada publik, bahwa dalam setiap momentum pemilihan umum (pemilu) selalu ada hal yang relevan dan ikut tumbuh subur yaitu oligarki.
“Maka itu kami mencoba untuk mengedukasi teman-teman mahasiswa serta masyarakat, yang terlibat dalam agenda nobar malam ini,” ujarnya.
Selain itu, sekarang ini bukan hanya masalah politik yang terjadi di Papua tetapi juga perusakan hutan, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Seperti PSN di Merauke yang menghancurkan hutan Papua. Dalam data Yayasan Pusaka tahun 2024, menganalisis peta perizinan perkebunan tebu dan bioethanol, yang diberikan kepada sepuluh perusahaan GPA Group dan melakukan kajian cepat aspek penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup, ditemukan sebagian besar izin yang diberikan kepada perusahaan seluas 541.094 ha, berada pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sebesar 47 persen,” katanya.
Selanjutnya, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 32 persen, dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL) 21 persen. Kawasan hutan dimaksud belum terdapat aktivitas produksi pemanfaatan hasil hutan, dan alih fungsi kawasan hutan dalam skala luas.
Terindikasi areal perizinan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, serta menjadi objek moratorium izin atau berada pada Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha (PIPPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 173.785 hektare, terdiri dari PIPPIB Primer seluas 149.016 ha dan PIPPIB Gambut seluas 24.768 ha.
“Proyek ini mempunyai risiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Demikian pula, ditemukan lokasi perizinan perusahaan GPA Group bertentangan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Merauke, terindikasi areal perizinan sembilan perusahaan sekitar 44% berada di Kawasan Lindung dan sisanya 56% berada di Kawasan Budi Daya,” ujarnya.
Salah satu mahasiswa, Eskop Wisabla, juga mengatakan bahwa penting bagi pemerintah untuk memperhatikan perusakan hutan atas nama kesejahteraan masyarakat adat, atau masyarakat secara umum.
“Karena menurut kami, hutan adalah dapur dan hutan adalah apotek terbaik di seluruh dunia, semua hasil hutan dari makan minum sampai mati juga kembali ke tanah, maka itu kita perlu menjaga tanah adat ini bersama pemerintah, jangan karena gila uang dan kekuasaan terus main hakimi masyarakat adat dengan cara paksa, contoh seperti yang kita lihat saat ini di Merauke,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!