Manokwari, Jubi – Reaksi penolakan empat suku penghuni pesisir, dataran, hingga pegunungan Tambrauw terhadap musyawarah adat versi Lembaga Masyarakat Adat Tambrauw atau Musdat Lemata terus disuarakan untuk menghindari perpecahan di antara sesama anak adat wilayah itu.
Hal ini ditegaskan Dominggus Baru, pemuda suku Mpur, dalam keterangan pers kepada Jubi di Manokwari, menindaklanjuti hasil musyawarah empat sub suku wilayah Tambrauw, yakni suku Abun, Miyah, Mpur, dan Irires.
“Hasil musyawarah empat sub suku penghuni pesisir, dataran, hingga pegunungan Tambrauw keberatan dengan pelaksanaan Musdat Lemata di Distrik Fef, ibukota Kabupaten Tambrauw, karena tidak melibatkan tua-tua adat empat sub suku,” ujar Dominggus, Rabu (18/1/2023).
Ia menyatakan bahwa tidak ada mandat tetua adat empat sub suku asli Tambrauw untuk menyetujui pelaksanaan Musdat Lemata yang terkesan dipaksakan oleh kelompok tertentu tanpa restu para tua adat yang berperan penting dalam musyawarah besar masyarakat adat Tambrauw.
“Aksi penolakan sudah dilakukan sejak 16 hingga 17 Januari, menindaklanjuti kesepakatan penolakan dalam musyawarah adat empat sub suku yang digelar di sejumlah distrik di wilayah Tambrauw,” katanya.
Ia berharap Musdat Lemata tidak buru-buru digelar karena akan memicu kesalahpahaman di antara sesama anak adat hanya karena kepentingan sekelompok orang. Perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh agar para tua adat empat suku wajib dilibatkan.
“Musdat Lemata untuk siapa, kalau tua-tua adat empat sub suku asli Tambrauw sendiri tidak mengetahui tujuan agenda itu. Kami berharap, pihak pelaksana agar memperhatikan aspirasi penolakan hasil musyawarah masing-masing sub suku,” ujarnya.
Penolakan juga dideklarasikan masyarakat adat suku Abun dalam musyawarah yang digelar pada 17 Januari di Sausapor, Kabupaten Tambrauw.
Dalam pernyataan bersama, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Suku Abun, Nelwan Yeblo, menyebut pembentukan Lemata tidak memiliki latar belakang kultur dan adat di wilayah hukum adat suku Abun, sehingga keberadaan Lemata dinilai ilegal.
“Kami menolak keberadaan lembaga masyarakat adat Tambrauw atau Lemata yang dibentuk dan mengatasnamakan lembaga adat masing-masing suku yakni, Mpur, Miyah, Irires, dan Abun. Pembentukan Lemata tidak berdasarkan persetujuan bersama empat suku pribumi Tambrauw,” ujar Nelwan.
Masyarakat adat suku Abun, kata Nelwan, juga mendesak Pemerintah Kabupaten Tambrauw agar tidak mendukung dan memfasilitasi apapun kegiatan yang dilakukan oleh Lemata.
“Kami berharap Pemda Tambrauw memperhatikan aspirasi penolakan masyarakat adat suku Abun, sehingga tidak terlalu jauh memberikan dukungan terhadap kegiatan Lemata tersebut,” kata Nelwan.
Di tempat terpisah, Kepala Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Amatus A Bame, mendorong semua pihak agar menahan diri dan tetap memelihara kebersamaan yang sudah tercipta selama ini.
Hal ini dikatakan Bame untuk menghindari berbagai potensi yang dapat menciptakan ketidak nyamanan warganya di wilayah Distrik Abun maupun seluruh masyarakat Kabupaten Tambrauw.
“Sebagai wakil pemerintah daerah dan mitra lembaga adat, saya juga berharap agar siapapun yang hadir di wilayah Tambrauw, wajib menghargai kearifan lokal masyarakat adat, sehingga ada keseimbangan dalam pembangunan,” ujarnya. (*)