Jakarta, Jubi – Dewan Pers dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau Mabes Polri menandatangani perjanjian kerja sama atau PKS tentang perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum dalam kaitan dengan penyalahgunaan profesi wartawan. Kerja sama ini tertuang dalam surat Nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022.
Penandatanganan dilakukan oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol. Agus Andrianto dan Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli yang disaksikan Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya beserta jajaran Dewan Pers dan sejumlah direktur dari satuan kerja Bareskrim Polri.
More Read
“Penandatanganan perjanjian kerja sama ini tindak lanjut turunan dari MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri,” kata Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya dalam rilis pers yang diterima Jubi, Jumat (11/11/2022).
Dewan Pers dan Kapolri telah menandatangani MoU tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan pada 2017 dan setiap tiga tahun sekali diperbarui.
Menurut Agung, penandatanganan PSK dengan Bareskrim ini sebagai langkah konkret terkait menjamin kerja jurnalistik yang selama ini sering terjadi, seperti melakukan kegiatan jurnalistik dari tulisan dianggap merugikan para pihak bisa perorangan, lembaga atau institusi yang berpotensi untuk dilaporkan ke polisi.
“Ini sudah konkret Bareskrim menjelaskan dalam perjanjian kerja sama,” kata Agung.
Secara rinci Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli menjelaskan hal penting dari PKS adalah kesepakatan bersama apabila ada pengaduan masyarakat menyangkut kerja-kerja jurnalistik ke Polri dikembalikan ke Dewan Pers.
“Polisi enggak boleh tangani, (aduan) itu ke Dewan Pers untuk diperiksa,” katanya.
Ia mencontohkan aduan yang diterima polisi terkait kerja-kerja jurnalistik diteruskan kepada Dewan Pers setelah diterima akan dikaji atau diperiksa benarkah karya jurnalistik tersebut sudah sesuai kaidah-kaidah jurnalistik yang diatur dalam UU Pers.
“Kalau iya karya jurnalistik mungkin ada pelanggaran etis itu diselesaikan di Dewan Pers lewat mekanisme etis, yaitu minta maaf, memuat hak jawab bahkan sampai tahap tertentu mungkin meng-‘take down’ (menurunkan) sebuah berita, tapi tidak boleh ada kriminalisasi terhadap pers,” terang Arif.
Menurut Arif, PKS ini penting untuk mencegah kriminalisasi jurnalistik karena Dewan Pers menerima banyak aduan masih terjadinya kriminalisasi terhadap kerja jurnalistik, seperti misalnya kasus di Kalimantan Selatan, Palopo, dan menghalang-halangi kerja jurnalistik di Surabaya yang dialami Nurhadi.
“Diharapkan dalam PKS ini tidak terjadi lagi kejadian-kejadian seperti itu,” katanya.
Setelah penandatanganan PKS ini, lanjut Arif, dilakukan sosialisasi bersama kepolisian maupun Dewan Pers dilanjutkan dengan pelatihan ke satuan polisi di wilayah yang secara teknis dilakukan Lemdiklat Polri dengan memasukkan elemen Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik dalam pelatihan kepada para penyidik.
“Jadi penyidik punya prespektif melindungi kerja jurnalistik,” kata Arif. (*)