Jayapura, Jubi- Max Mahuze, mantan aktivis LSM dan pendiri Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan (Yapsel) di Merauke Provinsi Papua Selatan, mengatakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi pertanian termasuk persawahan di Kabupaten Merauke, adalah perubahan iklim dan cuaca yang sangat ekstrim.
“Saya tidak mau berkomentar soal persawahan dan perkebunan di Merauke karena itu bukan wilayah adat saya tetapi saya hanya ingatkan bahwa cuaca dan iklim di Merauke selalu berubah-ubah,”kata saat dihubungi jubi.id melalui WhatsApp Minggu (29/9/2024).
Mahuze, yang juga tokoh masyarakat adat Malind Bian itu menambahkan, kalau di daerah dataran tinggi di Merauke cocok untuk tanaman jangka panjang. Sementara di wilayah dataran rendah bisa dibuat persawahan. “Hanya saja di Merauke perubahan cuaca sangat ekstrim karena saat ini sulit diduga antara musim kemarau dan hujan. Hal ini jelas sangat berpengaruh dalam merencanakan sebuah usaha pertanian. Berbeda kalau tanaman jangka panjang,”kata pria yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Merauke itu .
Setelah Mahuze menyelesaikan pendidikan sarjana muda di jurusan agronomi, Akademi Pertanian Nasional (Akpernas) Tanjungpura, Sumedang Jawa Barat, dia pulang ke Merauke dan mendirikan LSM bernama Yapsel dan anggota DPRD Kabupaten Merauke dari Partai PAN pulang ke Muting. Dia juga mengelola kebun tanaman jangka panjang antara lain buah rambutan, durian dan tanaman karet.
Salah satu kendala tanaman karet di Merauke terutama masalah pemasaran, dikutip dari jubi.id melaporkan bahwa kebun karet banyak diterlantarkan di Kampung Kindiki, Distrik Muting Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan warga enggan menggarap karet karena sulit dipasarkan hasil sadapan.
Sophia Mahuze, warga lain mengaku terakhir kali menyadat karet pada 2015 atau sekitar sembilan tahun lalu. Saat itu harga jual lateks karet sebesar Rp10 ribu sekilogram.
“Pada tahun berikutnya kami tidak pernah lagi menyadap karet. Persoalaannya ialah tidak ada pembelinya,” katanya.
Karet yang ditelantarkan warga tersebut rata-rata berusia produktif atau siap disadap. Luas kebunnya sekitar 1-3 hektare setiap keluarga.
Pemerintah Kabupaten Merauke telah memberi bantuan peralatan dan melatih warga menyadap karet. Sayangnya, sejumlah peralatan itu kini menganggur karena warga meninggalkan usaha budi daya karet. Berbeda dengan buah rambutan dan durian bisa dipasarkan di seputar Papua. Bahkan buah rambutan pernah pula dipasarkan sampai ke kota Jayapura dan sekitar.
Walau demikian Max Mahuze, tetap bertekun menjadi petani kebun hingga saat ini.
Max Mahuze juga menjalankan usaha menanam ribuan pohon karet yang sudah mulai disadap getahnya sekaligus diproduksi. Dia juga membuka usaha lain, pencetakan batu bata. Usaha tersebut sudah dijalankan dalam beberapa tahun terakhir.
Tak heran kalau ia selalu memotivasi kepada orang Marind dengan bertujuan agar orang Marind bisa mandiri dan sukses untuk kedepan. Memang harus diakui bahwa potensi sumber daya alam di Provinsi Papua Selatan hanya saja harus dikelola secara baik demi kesejahteraan warga setempat.(*)